26 Bab 26: Emosi

Pagi setelah Ginnan menghabiskan malam dengan Yuki. Mereka kembali ke klub panahan sepulang kuliah. Tak seperti hari sebelumnya, klub itu sepi. Sasana Kyudo kosong, tak ada satu pun mentor yang berjaga, dan hanya sekitar 15 orang yang berlatih di dalamnya.

"Kenapa bisa..." kata Ginnan. Dia menoleh ke Yuki yang buru-buru mengecek ponsel. "Kau belum mengecek apapun hari ini?"

Yuki diam, tapi kerutan di keningnya cukup menjelaskan segalanya.

"Bagaimana? Di grup ada pengumuman?"

Seperti baru mencicip kopi kurang gula, wajah Yuki langsung terlihat sangat masam. "Gawat..."

"Kenapa?"

"Hari ini ada latih tanding antar prefektur!" seru Yuki. Dia langsung mengguncang-guncang bahu Ginnan sangking paniknya. "Klub memang diliburkan karena yang naik tingkat akan maju. Jadiiiiiii... otomatis aku harus ikut astaga!"

Ginnan balas meremas kedua bahu Yuki. "Oke... oke... aku paham. Tapi pertama tenang dulu, hm?"

"Tidak bisa! Tempat latih tandingnya sangat jauh, Nan-kun!" jerit Yuki. Makin panik. "Sekarang aku harus bagaimana?!"

Mendengar kebisingan mereka berdua, beberapa peserta latihan sampai menoleh dengan wajah susah dijelaskan. Ada yang mendengus, ada yang mendumal, bahkan ada juga yang sampai menyudahi latihannya. Sebab Kyudo memang identik dengan ketenangan. Tapi karena hari ini harusnya libur, mau protes pun mereka tak pantas.

"Apa itu Yuki-chan?" tanya sebuah suara tiba-tiba. Ginnan dan Yuki pun serentak menoleh kesana. Itu Aoki. Dia baru keluar dari toilet dengan penampilan lengkap berseragam.

"Aoki-kun?"

Ginnan langsung meneliti lelaki muda itu. "Dia sangat berkeringat. Pasti sudah berlatih disini lama sebelum kami datang..." batinnya.

Aoki mendekat. "Kenapa kau masih disini?" tanyanya. "Dan pacarmu juga..."

Yuki langsung tertawa hambar. "Ahaha... yeah... aku lost info. Baru tadi sempat mengecek grup klub," katanya jujur. "Aku harus bagaimana, Ki-kun? Semua temanku pasti sudah dalam perjalanan sekarang..."

Aoki menatap pasangan kekasih di depannya satu per satu sebelum menghempas nafas panjang. "Hahh... susah..." desahnya jujur. "Tapi bisa saja sih aku mengantarmu pakai mobilku. Mau?"

"Eh? Mobil?"

Aoki mengangguk. "Hm... hari ini aku bawa mobil karena ramalan cuacanya agak buruk," katanya. "Bagaimana?"

Ginnan justru menatapnya selidik. "Dia umur berapa sebenarnya," batinnya lagi. "Junior Yuki tapi sudah bawa mobil?"

"Ya! Please..." kata Yuki. Dia sampai menangkupkan kedua tangan di depan Aoki karenanya. "Kalau menunggu kereta pasti terlambat, Ki-kun..."

Aoki justru mengalihkan pandangan ke Ginnan saat itu. "Pacarmu bagaimana? Diizinkan?"

"Apa?"

Aoki menyilangkan lengan. "Kau akan pergi bersamaku, Yuki-chan. Tapi kemarin kelihatannya dia bermasalah..." katanya frontal. "Aku jadi merasa dia kurang suka padaku atau bagaimana..."

Yuki pun menoleh ke Ginnan.

Ginnan langsung menggeleng dengan senyuman yang dibuat secepatnya. "Ah aku... tidak juga," katanya gugup. "Mungkin kau cuma salah paham. Aku tidak masalah kok..."

Aoki menatap Ginnan dari atas ke bawah, lalu kembali ke atas lagi. Dia diam sampai mendesahkan satu kata. "Baiklah..." katanya. "Aku ganti baju dan ambil kunci dulu..."

Begitu Aoki pergi lagi ke belakang, Yuki langsung memeluk Ginnan seeratnya. "Astaga... Nan-kun maaf ya... aku bertingkah lagi," katanya menyesal. "Tapi aku janji kok. Tidak akan ada apa-apa diantara kami, mengerti?"

"Hm..." gumam Ginnan. "Kan sudah kubilang tak masalah. Lagipula dia berniat membantumu."

"Yakin?" bisik Yuki . "Cemburumu mengerikkan, tahu."

"Haha..."

"Serius..."

"Iya aku juga serius," kata Ginnan. "Sana pergi. Semangat bertandingnya buat nanti."

"Mn.."

CKLEK!

BRAKH!

Bantingan pintu mendadak itu langsung membuat seisi klub kehilangan ketenangan. Ginnan dan Yuki bahkan sampai melepaskan pelukkan mereka tanpa sadar. Siapapun belum sempat mengatakan sesuatu sampai seorang pria paruh baya berkumis gugup-gugup masuk ke dalam.

"Nakama-Sensei!" seru seluruh ruangan bersahutan.

Nakama langsung memburu loker seragam tanpa memedulikan mereka. "Ya! Ya! Lanjutkan saja yang latihan! Aku kesini cuma mau mengambil seragam!" serunya dengan jari tak berhenti memencet password lokernya. "Astaga... bagaimana bisa hal sepenting ini lupa! Aku memang sudah pikun!"

Brakh!

Seragam diambil, pintu kembali di-password seperti semula.

Yuki tahu ada kesempatan datang. Dia pun langsung mendekat sebelum Aoki keluar lagi."Sensei! Apa kau kembali dari sana?"

"Sana mana?!" teriak Nakama, tapi langsung diam melihat wajah siapa yang mendekat. "Ya tuhan... kenapa kau masih di sini, Yuki-chan?"

Yuki tersenyum kecut. "Ceritanya panjang, Sensei. Yang pasti aku ketinggalan. Jadi, daripada merepotkan Ki-kun, boleh aku ikut denganmu saja?"

"Tentu!" kata Nakama cepat. "Cepat ambil seragam dan alatmu!"

"Baik!" seru Yuki segera.

"Kutunggu di luar!" balas Nakama tanpa berhenti berlari.

"Baik!" sahut Yuki lagi.

Siang itu, Yuki sudah pergi bersama Nakama ketika Aoki baru selesai berganti. Lelaki muda itu tampak santai ketika berpakaian biasa. Ginnan sampai silap sebentar melihatnya.

"Dimana Yuki-chan?" tanya Aoki.

Ginnan mengangkat tas Yuki yang dibawanya. "Pergi."

"Dengan siapa?"

"Guru kalian," kata Ginnan. "Tadi ada satu yang kembali."

Aoki diam sebentar sebelum melempar kuncinya kasar.

Prakh!

"Merepotkan..." kata Aoki jengkel. Lalu mengambil tas selempang dan botol minuman dari kursi tunggu. Peka, Ginnan pun segera memungutkan kunci mobilnya dari lantai sebelum diambil sendiri.

"Ini. Maaf..." kata Ginnan. Langsung menyodorkannya di depan muka Aoki. "Pacarku tak bermaksud mempermainkanmu."

Dari kunci, Aoki beralih menatapnya. "Ya. Terserah..." katanya. Lalu menyambar benda itu dan berjalan melewati Ginnan. Seolah-olah dia adalah orang yang berbeda dari yang Yuki ceritakan.

"Astaga... benarkah dia yang ingin berkenalan denganku?" batin Ginnan. "Kenapa rasanya tidak samasekali?"

"Tunggu!" seru Ginnan. Dia segera mengejar Aoki dan menyambar tangannya sebelum masuk mobil. "Kubilang tunggu kan?!"

Aoki berbalik. Tatapannya tajam. "Mau apa."

"Kau belum sungguhan memaafkan."

"Memang," kata Aoki. "Pacarmu sangat menyebalkan."

"Apa?"

"Kau dengar kata-kataku?"

Ginnan diam sebentar. "Bukankah kalian berteman baik..." katanya. Lalu melepaskan tangan itu.

"Hmph... dia bilang begitu?" kata Aoki retoris. "Mimpi."

"Hei..."

Ginnan lagi-lagi menyambar tangan itu. Masih tak terima.

"Apa lagi."

"Lalu kenapa kalian tampak sangat akrab?" tanya Ginnan. "Kalau bukan berteman baik apa namanya? Kau bahkan bohong bilang pernah menembaknya. Katakan saja maumu daripada mengganggu dengan cara tidak jelas."

Tak disangka, Aoki justru tersenyum. "Mauku?"

"Ya."

"Kau."

DEG

"Apa?"

"Tidak bisa berikan? Ya sudah lupakan..." kata Aoki. Dia menghempas tangan Ginnan sebelum masuk ke mobil.

Ginnan pun tertegun beberapa saat. Dia berusaha mencerna kejadian apapun yang baru-baru ini dialami. Mulai dari kesalahpahaman ringan kemarin, cerita-cerita dari Yuki, lalu ucapan Aoki yang masih hangat di telinga.

Kau.

Kau.

Kau.

Ginnan sampai menggeleng beberapa kali sangking tak habis pikirnya mendengar satu kata itu.

"Aku?" gumam Ginnan. Lalu menatap bemper mobil Aoki yang sudah bergulir menjauh. Dalam hitungan detik, kendaraan itu semakin mengecil sejauh mata memandang. Dan karena jalan raya sedang ramai, kilau putihnya langsung tenggelam hilang. "Bagaimana bisa? Aku pasti salah dengar..."

Ginnan pada masa lalu masih sangat-sangat naif. Dia sering tak peduli apapun selain menuntaskan rasa tidak beres dalam dada. Gemas, dia pun masuk ke dalam klub lagi untuk meminta alamat Aoki dari teman-temannya yang masih berlatih. Jujur, Ginnan penasaran. Sebelumnya bertemu tidak pernah, kenal juga tidak, bagaimana bisa Aoki mengatakan hal-hal tidak wajar kepadanya?

Sungguh-sungguh konyol.

"Astaga..." kaget Ginnan. Begitu turun dari taksi, mulutnya nyaris menganga lama jika tak segera sadar diri. "Apa ini benar rumahnya..."

Ginnan melihat catatan yang dia bawa sekali lagi. Disana tertulis alamat jelas Aoki Ken. Dan benar. Tak ada yang keliru sedikit pun. Plang marga lelaki muda itu terpampang di kanan kiri gerbang. Bentuknya dari ukiran kuningan huruf kanji yang memisahkannya dari halaman luas sebuah bangunan mewah ala Eropa kuno.

Ginnan sampai berpikir negatif seketika. "Apa ini seperti di komik-komik?" gumamnya pelan. "Dia bukannya keturunan Yakuza atau apa kan..."

Bel di pencet, suara dentingan menggaung seketika.

Ting Tung!

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter