21 Bab 21: Masa Lalu

"Sama-sama..."

Pramugari itu pun berlalu.

Renji mendadak mendengar suara bersin. Disebelahnya Ginnan menggosok hidung pelan sebelum memeluk dirinya sendiri. Tak seperti saat di ruangan, ini mungkin pertama kali Ginnan duduk di pesawat. Dia pasti belum terbiasa dengan suasana dan suhunya. Seberapa luas pun kendaraan ini pasti ada yang berbeda. Meski malas, Renji pun melepas mantelnya untuk menutupi tubuh itu. Rerasanya baru kemarin dia melakukan ini.

"K-Kau... menjauh saja tidak bisa, ya?" bentak Ginnan ketika Renji mencumbunya di taman.

Dulu, Renji terbiasa dijauhi. Di sekolah dia terkenal tidak ramah meski multitalenta dan sangat menarik hati. Bagusnya tak ada yang berani macam-macam meski ingin. Justru menjadi dekat dengannya adalah sesuatu yang terasa nyaris mustahil. Sampai Haru dan Jean mengisi kekosongan itu meski dengan cara yang berbeda.

Haru yang berpura-pura tak peduli sifat anehnya, sementara Jean justru terbiasa dengan keanehan sebelum bertemu dengannya. Ingatan Renji mungkin buruk jika sudah menyangkut sosialisasi, tapi dia tak pernah lupa tentang pertemuannya dengan kedua orang itu.

Saat itu, tahun kedua Junior High. Haru menjadi siswa pindahan. Dia ramah. Dia langsung bisa berbaur dengan baik di hari pertama. Saat teman-teman sekelas meminta nomor ponsel, dia bahkan tak segan menyebar akun sosial medianya sekalian. Renji jelas menjadi yang paling tak peduli saat itu. Dia menghindari kerumunan Haru, berjalan keluar kelas dengan headphone di leher, dan menyeret buku bacaannya menuju kantin. Makan sendirian di pojokan sambil mengisi soal-soal adalah kebiasaannya dulu. Sampai Haru mendadak duduk di depannya, tersenyum lebar, lalu memberi satu kaleng softdrink dingin.

"Hadiah untuk calon temanku," kata Haru waktu itu.

Haru yang dulu tak jauh berbeda dengan hari ini. Dia terbiasa berpakaian rapi, memakai setelan seragam dengan benar, dan berkacamata baca. Bagi Renji yang memiliki penilaian tinggi pada visualisasi, pria itu jelas bukan hal menarik. Anehnya, keberadaan Haru tak pernah benar-benar hilang. Semakin diacuhkan, semakin ingin mendekati. Kadang memakai alasan tugas sekolah, tempat tinggal yang sejalur, memancingnya dengan berbagai topik obrolan, bahkan juga memberinya hadiah ulang tahun.

"Hadiah lagi untuk teman terbaikku," kata Haru waktu itu. Dia bahkan berani memakaikan syal rajut itu ke leher Renji. Tepat di hari liburan sekolah yang pertama. "Ini buatan ibuku. Dia memberiku dua karena terlalu bersemangat. Katanya, jika punya teman, aku harus memberikan ini kepadanya."

"..."

"Selamat ulang tahun..."

Renji diam saja saat itu. Dia menatap ke sekitar. Begitu banyak teman sekelas mereka yang menatap dengan heran. Mereka sampai berhenti memberi ucapan selamat liburan ke yang lain hanya karena kejadian itu.

Entah setebal apa muka Haru, pria itu tetap tak peduli diabaikan. Dia memberi isyarat dengan kepala dan tersenyum sangat lebar. "Ayo pulang," ajaknya. "Jalur rumah kita akan tertutup salju jika tidak cepat-cepat."

Renji tidak pernah berniat pulang dengan Haru. Jika Haru gugup, dia tetap melangkah seperti biasa. Matanya menatap langit. Membayangkan sesuatu sambil mendengar musik klasik dari headphone. Anehnya, Haru tetap sabar menunggu hingga mereka berjalan berdampingan lagi.

Biasanya Renji tidak berkata apa-apa, tapi siang itu dia mengaku sesuatu.

"Aku biseks."

Haru sampai beku di tempat mendengarnya. "..."

"Aku bisa menyukai siapapun. Perempuan atau laki-laki," kata Renji lagi. "Mendekat berarti sanggup bercinta denganku. Jika tak bisa, pergi saja."

Sejujurnya Haru bukan yang pertama bagi Renji. Tapi Renji adalah pengalaman pertama pria itu. Sebelum dekat dengan Haru, Renji sering menerima ungkapan isi hati dari gadis-gadis di sekolah. Mereka jelas tak akan melewatkan pesona Renji saat baru pertama berkenalan.

Siapa yang tak tertarik dengan wajah tampan itu? Perawakan tinggi itu? Terlebih darah Nana yang berasal dari Belanda juga mengalir di nadinya. Membuat wajah eksotis Renji lebih menarik dari bocah Jepang lain. Tapi setelah mengetahui yang sebenarnya, mereka terlalu takut untuk melangkah lebih jauh.

Saat itu, mereka hanyalah gadis umur 12 yang penasaran. Jadi Renji adalah porsi yang sulit mampu mereka terima. Sampai suatu hari ada satu yang masokis melayani, tapi justru pindah sekolah setelahnya. Bahkan kabar gadis itu tak terdengar lagi dan menghilang.

Itu terjadi di tahun pertama. Beritanya menyebar, hingga menjadi pembicaraan di mana pun. Renji hanya ditegur guru BK dan diskors dua minggu. Katanya, kesalahan Renji adalah terlalu jujur memperlihatkan orientasi seksnya. Mereka menganggap tabu, setidaknya di kalangan bocah seumuran Renji waktu itu.

Haru yang pindah di tahun kedua jelas tidak tahu. Dan anehnya tak ada yang memberitahu. Mungkin mereka memiliki ketakutan tersendiri jika menyangkut tentang Renji. Sebab Haru lebih sering di sekitar pria itu setelah menyebutnya 'calon teman'.

"Apa?"

Jari-jemari Haru gemetar. Matanya memburam pelan-pelan. Dunia jadi hilang begitu saja. Dia tak bisa berpikir jernih seketika.

Renji seolah tahu reaksi Haru akan seperti itu. Wajahnya tetap datar saja. "Selamat tinggal..." katanya. Lalu berjalan melewati.

Haru terpekur disana sangat lama. Renji bahkan sudah menunggu bis selanjutnya di halte dan dia masih diam saja. Otaknya mungkin berantakan seketika. Sulit digunakan untuk berpikir. Hingga saat Renji melangkah masuk ke kendaraan itu—Haru mendadak refleks mengejarnya!

Haru seperti kehilangan akal. Dia naik ke dalam bis saat rodanya nyaris jalan. Dia menabrak Renji hingga jatuh berlutut di depannya. Orang-orang di sekitar sampai heboh bertanya apakah dia tak terluka.

Saat itu, Renji tak melanting. Haru pun berdiri sendiri dan menatap wajahnya yang sekeras dinding batu. Mata emas itu menatap ke luar jendela. Mengabaikan apapun. Tak peduli Haru atau gunjingan samar di sekitar.

"Ren, aku... tidak bisa," kata Haru. "Kau harus menjelaskan lebih banyak nanti."

Seperti anak itik, Haru pun mengekori Renji saat itu. Tak seperti biasanya. Dia bisa menebak tempat tinggal mereka tak jauh karena selalu pergi ke jalur yang sama, namun dia sungguh tak menyangka penthouse mewah itu adalah tujuan mereka.

Renji membiarkan Haru melangkah masuk dan melihat segalanya. Kehidupan Renji yang begitu luar biasa, namun penuh kekosongan. Penthouse itu terletak di lantai tertinggi salah satu Hotel Miyami Kurikawa. Tingginya menjulang 150 meter di atas tanah. Isinya sangat luas, diliputi kemegahan warna emas perabotan, dan berisi rak-rak buku koleksi Renji.

Ralat, buku koleksi dan karya-karyanya yang diterbitkan. Saat itu sudah ada 13 novel. Tentu, dengan nama pena samaran sebab usianya masih muda. Renji baru debut dengan nama asli setelah lulus Senior High.

Dramatis, Haru sampai menjatuhkan tasnya tanpa sadar.

"Aku tinggal sendiri," kata Renji. "Kau tak perlu menebak karena alasan apa."

"Apa?" tanya Haru kebingungan.

Renji yakin Haru langsung paham jika tidak terlalu terguncang. Dia pun menjelaskan meski malas. "Orientasiku. Ayah tak menerima, tapi ibu bisa mengerti. Aku pindah kesini karena persetujuannya." katanya lamat-lamat.

Bibir Haru seketika gemetar. "Jadi kau..." katanya tak habis pikir. Tak sanggup lagi melanjutkan. Bukannya kasihan, Renji justru mendekat saat itu. Dia mengurung Haru di dinding dan menyentuhnya tanpa berpikir dua kali.

Haru yang terlalu syok menjelma menjadi batang kayu. Dia diam seperti tak bernyawa, hanya berpegangan ke lengan Renji hingga merosot jatuh duduk di lantai.

Renji mencelupnya tanpa ampun di sana, saat itu juga. Dia tak berniat ingin pindah sekali pun. Dia bahkan tak meminta maaf saat melihat Haru meneteskan air mata kesakitan. Pikirnya, itu lebih baik. Haru pasti akan trauma seperti gadis tahun lalu. Agar kemudian menghilang dan tak lagi mengganggunya.

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter