1 1. Topeng

Mungkin saat ini, bisa saja orang menganggapnya turut bahagia. Mungkin saat ini orang akan menganggapnya begitu antusias dengan acara pernikahan sederhana ini. Mengingat sedari pagi buta Ia sudah sibuk dengan semua pekerjaan-pekerjaan untuk persiapan hingga keberlangsungan sebuah pernikahan yang sebenarnya sangat tidak ingin Ia lihat.  Semua kesibukan yang Ia lakukan hanyalah sebuah alibi agar dirinya tidak terlalu terlihat mengenaskan dan juga agar fokusnya teralihkan dari sepasang pengantin yang baru saja melangsungkan ijab qabul itu. Karena nyatanya hatinya pun tidak bisa berbohong, bahwa rasa sakit itu memang ada di saat Ia menatap sepasang pengantin yang tersenyum bahagia di atas pelaminan itu.

Tidak mau menyalahkan takdir Allah. Ia hanya manusia biasa yang terkadang merasa iri. Termasuk saat ini, Ia sangat iri kepada si pengantin pria. Mengapa bukan dirinya saja yang ada di posisi itu?. Bukankah Ia yang lebih dulu mengenal sang perempuan?. Tapi apakah jodoh bisa di tentukan dengan seberapa lama Ia mengenal? Tidak.

Ia melangkah gontai tatkala sepasang pengantin itu memanggilnya dan memintanya untuk berfoto bersama. Kakinya membawa melangkah mendekat, namun hatinya berteriak untuk menjauh. Ingin sekali Ia lari dan menjadi seorang pengecut saja, tapi nyatanya Ia tidak bisa. Karena sekeras apapun hatinya berteriak, nyatanya kakinya tidak pernah mengindahkan. Ia terus berjalan sembari memasang senyum indah di wajahnya. Senyum yang menampakkan beribu-ribu kepalsuan. Senyum yang Ia gunakan sebagai topeng penutup penderitaannya.

Tubuhnya kaku, seolah menolak untuk di ajak bersikap baik-baik saja tatkala Ia berdiri tepat di samping mempelai perempuan. Perempuan itu cantik seperti biasanya. Ditambah senyum manis yang menghiasi bibirnya seakan menambah lipat ganda kecantikannya.

Namun, ketika Ia melirik pada sosok pria yang juga berdiri di samping perempuan itu, Ia hanya bisa menelan kepahitan. Sekali lagi dalam hatinya berujar 'seharusnya aku yang disana'.

"Semoga keluarga kalian menjadi keluarga yang bahagia, ya." Ucapnya tulus walau di hati menyimpan segala luka.

"Jadi istri yang sholeha. Aku selalu bahagia jika kamu bahagia." Ucapnya membohongi diri sendiri. Karena nyatanya sekarang, Ia tidak merasa bahagia saat melihat perempuan bergaun putih ini bahagia.

"Siap boss!" Jawab perempuan itu yang membuatnya tersenyum di tengah-tengah keperihan hatinya. Langkahnya kini membawanya ke arah si pengantin pria, menjabat tangan pria itu seolah menyerahkan segalanya. "Jaga sahabat Gue, kak. Sekarang dia tanggung jawab Lo."

Pengantin pria itu tersenyum, lantas menariknya untuk memberikan pelukan.

"Jangan buat dia terluka. Dia sangat berharga buat Gue."

Pengantin pria itu mengangguk mantap "Pasti."

Dan setelah mendengar jawaban itu Syam langsung melepas pelukannya dan memilih berpamit untuk kembali.

**

"Gue pulang dulu ya.. capek." Syam mengambil sapu tangan untuk mengelap wajahnya yang basah akan keringat.

Ia berjalan mendekati beberapa temannya sembari menyampirkan tas di pundaknya. "Gue pulang."

"Baru juga jam 8, Syam." Rendi yang masih asik memainkan bola menatap Syam yang sudah siap untuk pulang.

"Besok gue ada meeting pagi. Dan malam ini gue harus prepare dulu." Jelas Syam.

"Oh. Ya sudah sono kalau lo mau pulang. Gue masih mau main."

"Terserah lo sih. Ya sudah ya, gue pulang dulu."  Syam melangkahkan kakinya menuju pintu keluar lapangan futsal, meninggalkan teman-temannya yang tampaknya masih  akan melanjutkan permainan.

Selain hobi, untuk saat ini futsal menjadi salah satu pelampiasan Syam agar dirinya tidak terus menerus terjebak dalam kesedihan setelah penikahan Ara. Bagaimanapun Ara adalah sahabat baiknya.

Seharusnya, Syam bahagia karena akhirnya sahabatnya menemukan pendamping hidup. Tapi bagi Syam, pernikahan Ara adalah sebuah kesedihan, karena siapa sih yang tidak sedih jika orang yang kita cintai menikah dengan orang lain?. Tentu sakit bukan?. Begitu pula Syam. Terlebih saat Ia mengingat hari di mana Ia menyatakan perasaan namun ternyata sahabatnya itu memilih orang lain.

Sakit, Sedih, Hancur, semua bergabung menjadi satu. Tapi di saat itu juga, Syam tidak bisa menyalahkan Ara. Terlebih saat Ia tahu bahwa dulu Ara sempat mencintainya dan Ia malah menyia-nyiakan Ara. Rasa sakit dan kecewa itu kian bertambah besar, terutama kecewa terhadap dirinya sendiri. Syam membelokkan mobilnya menuju taman kecil yang letaknya tidak jauh dari kompleks rumahnya, sebuah taman yang sejak dulu menjadi tempat Ia bermain serta tempat pelarian saat Ia ingin menenangkan pikiran. Mendadak Syam membutuhkan ketenangan, mungkin dengan menghirup udara malam, pikirannya bisa sedikit jernih dan perihal meeting masih bisa Ia urus nanti.

Setelah memarkirkan mobil, Syam duduk di sebuah bangku yang menghadap ke sebuah gedung perkantoran. Lalu kepalanya mendongak menatap langit malam yang malam ini tampak suram karena tidak ada satupun bintang yang terlihat. Berbicara masalah bintang, Syam jadi rindu. Rindu pada seseorang yang dulu selalu menemaninya menatap bintang.

"Kamu tau dari sekian banyak benda langit, kenapa aku paling suka lihat bintang?" Tanya seorang gadis berjilbab hitam yang tengah menengadahkan kepalanya menatap bintang.  Syam yang saat itu masih berseragam putih abu-abu pun menggeleng.

"Kenapa?"

Gadis berjilbab itu tersenyum sembari menatap Syam. Gadis itu masih terlihat lugu, sangat ceria dan selalu membuat Syam nyaman.

"Kenapa, Ra? Sudah ditungguin, nih." tagih Syam karena Ara tidak kunjung memberi tahu alasannya.

Gadis itu tampak tersipu. "Karena.. apa ya? Mungkin karena aku lihatnya bareng kamu. Jadi aku punya teman buat lihat bintang."

"Lah, enggak jelas banget alasannya."  Syam tergelak mendengar alasan lucu sahabatnya.

"ahh.. aku tahu.. atau jangan-jangan sebenarnya kamu suka kan, berdua sama aku? Bintangnya cuma sebagai alasan??" Syam menggoda Ara, Ia bisa melihat Ara yang tetsipu dan salah tingkah. Pemandangan itu sangatlah lucu bagi Syam.

"Ngarang banget! Siapa yang bilang kayak gitu?"

"Aku yang bilang, barusan."

"Ih.. Kamu tuh bisa nggak sih, nggak usah kepedean gitu?. Siapa juga yang suka sama kamu. Udah keringetan. Bau, belum mandi pula." Cibirnya yang membuat Syam tertawa. Malam itu memang Syam belum mandi selepas selesai sparing futsal.

"Tapi kamu suka kan?" Godanya lagi. Entahlah sejak kecil Syam memang senang sekali menggoda Ara. Bagi Syam, Ara akan terlihat sangat lucu dan cukup manis ketika salah tingkah. Pipinya mendadak akan berubah menjadi merah yang menjadi penanda jelas bahwa dia salah tingkah.

"apa sih.. sana kamu mandi dulu yang wangi. Baru nanti aku pikirin mau suka atau enggak. Kalo kamu jelek gini yaaa aku sih ogah lah." Ucapnya lalu mengusir Syam. Mendorong jauh-jauh Syam yang terus mencoba menggodanya.

Syam tersenyum mengingat kejadian itu. Kejadian dimana saat Ia dan Ara masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Saat itu belum pernah terpikirkan akan sebuah rasa yang tiba-tiba hadir dalam persahabatan mereka. Semua berjalan apa adanya. Indah dan menyenangkan yang tanpa sadar membuat Syam merasa rindu. Rindu dengan Ara juga rindu dengan kenangannya.

Syam menghela nafasnya tatkala tersadar bahwa ia telah kembali terjebak dalam kenangan masa lalu. Masa lalu yang terus membayanginya hingga saat ini. Syam beristrigfar, Ia mencoba untuk mengingatkan dirinya sendiri agar tidak terus mengingat masa lalu tentang persahabatannya dengan Ara. Karena dengan Ia mengingat, sama saja Ia telah menambah luka dalam hatinya.

***

avataravatar