19 Dia dan Aku Tak Mungkin Bersatu (9)

Translator: Wave Literature Editor: Wave Literature

"Kak Chen, apa kau sudah gila?"

Masih enggan untuk menjawab, He Jichen dengan santai menikmati tehnya.

"Kak Chen, memangnya apa yang menjadi pertimbanganmu?"

Perlahan He Jichen meletakkan cangkirnya di atas meja, mengangkat poci teh, dan kembali menuang teh ke dalam cangkirnya.

"Kak Chen, mengapa kau lakukan itu?"

Mengapa?

Saat pertanyaan itu meluncur dari mulut Li Da, He Jichen terlihat tenang dan santai. Kedua alisnya berkedut sembari memandangi cangkir teh yang ada di hadapannya.

Cahaya dari lampu kandil kristal yang menyinari tubuhnya membuat warna kulitnya terlihat sempurna, mempesona.

Tidak terlihat adanya emosi di raut wajahnya, namun perlahan rasa penyesalan yang membuatnya frustasi mulai tampak.

Frustrasi? Adakah saat dimana He Jichen bisa merasakan frustrasi?

Meskipun Ji Yi telah berusaha keras untuk bertingkah seolah He Jichen tidak ada, ia tidak dapat menahan rasa ingin tahunya begitu merasakan emosi negatif dari pemuda itu. Ia menoleh ke arah He Jichen.

He Jichen dapat merasakan tatapan gadis itu, maka kedua pasang mata mereka bertemu untuk sesaat. Seolah baru saja melihat sesuatu yang menjijikkan—sesaat matanya berubah dingin, lalu ia tiba-tiba berdiri, menendang kursinya ke belakang, dan bergegas ke luar.

...

Semua yang berada di ruangan itu tidak menyadari saat He Jichen dan Ji Yi bertukar pandang, jadi terasa aneh jika laki-laki itu tiba-tiba saja pergi dengan marah.

Suasana di ruangan itu menjadi canggung, semua orang saling melihat satu sama lain dengan was-was untuk beberapa saat lamanya. Orang pertama yang kembali menguasai dirinya adalah Li Da, yang kemudian memecah keheningan dalam ruangan itu. "Kenapa semuanya bengong? Yuk, makan."

Mendengar suara Li Da, satu persatu dari mereka mulai mengangkat sumpit masing-masing.

Meskipun semuanya merasa penasaran akan apa salah mereka sampai membuat He Jichen marah, mereka sepakat dalam diam untuk mengesampingkan masalah itu.

Saat He Jichen masih di dalam ruangan makan, Ji Yi terus minum cangkir demi cangkir teh agar dapat tetap bertingkah normal. Selama makan malam, ia keluar masuk kamar kecil beberapa kali.

Ketika ia hendak keluar dari kamar kecil untuk yang ketiga kalinya, ponsel di dalam kantongnya berdering.

Ibunya menelepon.

Ji Yi berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan terlebih dahulu, lalu menerima panggilan itu sembari berjalan keluar.

Lorong yang menghubungkan antara kamar kecil dan ruang makan di Pavilion Peoni terasa lengang. Selain suara sepatu hak tingginya, ia hanya mendengar suaranya sendiri yang berbicara pelan kepada Ibunya di telepon.

Pembicaraan telepon itu berakhir bahkan sebelum satu menit. Kemudian Ji Yi menyimpan kembali ponsel ke dalam sakunya. Saat Ia mengambil dua langkah ke depan, ia merasakan kehadiran seseorang yang berdiri di samping tong sampah, tak terlalu jauh darinya.

Gadis itu otomatis mendongak.

Rupanya orang itu adalah He Jichen.

Ia bersandar dengan santainya pada tembok. Sebatang rokok di sela jari-jarinya mengepulkan asap tipis.

Rokoknya sudah pendek, jadi ia pasti telah berdiri di lorong itu cukup lama.

Jari-jari kaki Ji Yi langsung mengkerut karena takut sembari gadis itu memandang lurus ke depan dan berjalan melenggang seolah-olah He Jichen tidak ada di sana.

Saat hampir melewati He Jichen, Ji Yi hendak menghela napas lega. Akan tetapi sebelum ia sempat melakukan hal itu, He Jichen mendadak mematikan rokoknya. Setelah membuang puntung rokok ke dalam tong sampah, pemuda itu menegakkan tubuhnya. Sebelum Ji Yi bisa bereaksi, He Jichen telah mencengkram pergelangan tangannya.

avataravatar
Next chapter