5 5. Kecupan Di Pipi

Perundungan ternyata berdampak sangat buruk bagi seseorang bahkan sampai seusia Milly. SMP telah berlalu belasan tahun yang lalu. Tapi sakit hati akan selalu berbekas untuk selamanya.

Milly yang malang. Nick tidak akan pernah membiarkannya terlarut dalam kepahitannya. Wanita itu berhak untuk bahagia. Dan dirinyapun berhak untuk merasakan kebahagiaan yang sama.

Tekadnya sudah bulat. Selamanya ia akan mengubur perasaannya pada Rissa dan sekaranglah saat yang tepat untuk bergerak maju. Seseorang seperti Milly jelas layak untuk diperjuangkan.

Sedari tadi wanita itu terus menerus bersikap defensif seolah-olah ada sesuatu yang disembunyikannya. Tangan Milly tampak gemetaran. Wajahnya diliputi ketegangan. Sikapnya kaku.

Tapi di antara semuanya, Nick paling penasaran dengan ekspresi terkunci Milly saat ia menatap langsung ke matanya. Wajahnya memerah nyaris demam.

Milly seolah berusaha menghindarinya setengah mati. Tapi itu hanya membuat Nick semakin penasaran padanya.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi," kata Milly.

"Oh ya? Yang mana?"

"Pertanyaan yang sama seperti yang sebelumnya kamu tanyakan padaku."

"Oh. Apa ya?"

Milly mendengus perlahan. "Tadi aku bertanya, apa kamu... Ah sudahlah. Lupakan saja." Milly menggelengkan kepalanya sambil memejamkan mata.

"Apa maksudmu, kamu bertanya apa aku sudah punya pacar?" Hening. Milly tidak menjawab. Wanita ini membuat Nick semakin gemas. Nick berdeham. "Saat ini aku sedang dekat dengan seseorang."

Orang itu adalah Milly, tentu saja, siapa lagi? Nick berseri-seri. Seharusnya Milly tahu itu.

"Oh." Milly mengangguk kemudian memalingkan wajahnya ke arah jendela. Sikapnya seolah menunjukkan kekecewaan.

Mungkinkah... Sepertinya Milly berpikir bahwa ada orang lain selain dirinya. Ya bisa saja. Bukan salah Milly. Nick tidak menjelaskan apa-apa. Nick bisa saja membuatnya penasaran. Tapi entah sejauh apa ia akan berhasil membuat Milly tertarik padanya.

"Milly." Suara Nick membuatnya menoleh. "Besok kamu ada acara? Aku mau mengajakmu ke suatu tempat."

Nick bisa merasakan tatapan Milly menguncinya. Ia melirik sekilas. Milly masih terus memandanginya, seolah tak percaya, mulutnya terbuka sedikit.

"Kamu mengajakku berkencan?"

"Bisa jadi." Nick mengedikkan bahunya. "Tergantung bagaimana kamu menanggapinya."

Milly menghembuskan napas dengan berat. "Entahlah. Rencananya besok aku akan mengecek pesanan bunga klienku dan beberapa referensi fotografer untuk sesi pemotretan prewedding."

"Oh. Sepertinya kamu akan sibuk sekali besok."

Milly mengangguk. "Maafkan aku. Bukan maksudku menolak ajakanmu."

"Kalau aku mengantarmu besok, boleh?"

Tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu Nick masih bisa punya kesempatan untuk berkencan dengan Milly karena lusa ia akan segera kembali ke Malaysia.

Milly tampak tersenyum sambil terperangah. "Kamu serius?"

"Tentu saja aku serius. Apa aku akan mengganggumu jika aku ikut?"

"Tidak juga sih. Hanya saja..." Milly terdiam, tidak meneruskan kata-katanya. Pipinya merona. Sungguh rona yang cantik. Nick mengklaim bahwa rona itu disebabkan oleh dirinya. Ia pasti berhasil merayu Milly.

"Kenapa, Mil?"

Milly melebarkan matanya, lalu mengerjap-ngerjap sambil menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu. Rasanya ada sesuatu yang aneh."

Nick tertawa pelan. "Apanya yang aneh? Memangnya salah jika aku bersenang-senang sejenak bersama teman SMP ku? Kita kan sudah lama sekali tidak bertemu. Lagipula kamu tidak mengijinkanku untuk membayar perbaikan mobilmu. Apalagi yang bisa kulakukan?"

Milly tersenyum. Dan senyum itu begitu manis. Nick sering melihat foto-foto bule di Instagram atau di televisi, tapi sungguh, bukan karena Milly berwajah bule Eropa, tapi senyumannya memang benar-benar mempesona. Bibirnya yang sensual melengkung ke atas, membentuk senyuman lebar yang membuat Nick sulit untuk mengalihkan pandangannya. Demi Tuhan, ia harus tetap fokus menyetir.

"Kamu mungkin akan merasa bosan?"

Nick mengerutkan dahinya. "Tidak mungkin. Aku tidak pernah bosan melihat-lihat bunga."

Entahlah. Nick tidak pernah ke toko bunga sebelumnya. Ia biasa membeli bunga tabur di dekat pemakaman saat sedang nyekar ke makam ibunya. Jadi pasti ini akan menarik sekali. Apalagi jika ia pergi bersama Milly. Mungkin tidak ada salahnya jika ia membelikan sebuah buket bunga untuk Milly besok.

Segera Nick menepis ide itu. Sebaiknya ia jangan bertindak terlalu cepat. Sejauh ini mengantar pulang Milly dengan mobilnya (secara paksa), membuat Milly agak resah. Bergerak sedikit lebih pelan sepertinya akan jauh lebih baik.

Milly tampak tersipu. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Nick hanya bisa menilai bahwa saat ini Milly sedang dalam mood yang sangat baik.

Setelah itu mereka tidak banyak bicara. Nick bersikap santai, membahas lagu yang sedang diputar di radio, ikut bernyanyi sedikit. Tapi aura ketegangan masih bisa Nick rasakan dari Milly. Wanita itu beberapa kali mencuri-curi pandang. Gestur tubuhnya kaku. Seolah Milly sedang disupiri oleh dosen yang galak, yang siap menerkamnya kapan saja.

Kalau memang Milly selalu sendiri tanpa kekasih, berarti momen seperti ini pasti membuatnya tidak nyaman. Sepertinya perjuangan untuk mendapatkan hati seorang Milly butuh usaha ekstra. Untuk membuatnya santai saja agak sulit. Bagaimana Nick bisa membuatnya nyaman di dekatnya?

Ah, Milly sama sekali tidak tahu apa-apa. Ia akan membuat Milly nyaman dalam pelukannya. Betapa ia adalah pria yang hangat dan menyenangkan.

Bukan berarti ia sombong. Ia pernah berhasil membuat seseorang yang habis mengalami trauma akibat diculik, disiksa, dan ditusuk pisau, kembali mendapatkan hidupnya. Rissa tampak begitu nyaman saat tidur dalam pelukannya. Kakak tirinya tidak menyadari bahwa saat mereka tidur bersama, Nick membelai wajahnya, pipinya yang habis terkena sayatan pisau. Nick juga memeluknya hingga wanita itu terlelap hingga pagi dan terbebas dari mimpi buruk.

Meskipun rasa cintanya pada Rissa perlahan pudar, tapi ia tidak benar-benar melupakan wanita itu. Rissa akan selalu mendapatkan tempat yang spesial di hatinya.

Akan tetapi setelah pertemuannya dengan Milly... tempat spesial itu sepertinya harus dirubah sedikit. Milly membuatnya seolah menemukan sebuah berlian yang sudah lama sekali terpendam. Ia begitu terpesona dan penasaran akan segala sesuatu tentang Milly.

Milly menyuruhnya untuk berbelok dan kemudian mereka tiba di depan rumahnya. Nick memarkirkan mobilnya ke dalam garasi. Lalu mereka turun.

"Terima kasih sudah mengantarku pulang. Sebenarnya ini sama sekali tidak perlu."

"Tentu saja ini perlu. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau kamu sampai mengalami kecelakaan lainnya."

"Apa? Aku tidak pernah mengalami kecelakaan selain ditabrak olehmu kemarin." Milly mengernyitkan dahinya seolah hendak marah.

Nick menyeringai. "Sebenarnya terima kasih saja sudah cukup."

Milly terdiam. Nick jadi tidak enak hati. Apa mengantarnya pulang adalah sebuah kesalahan?

"Aku hanya ingin memastikan kalau kamu selamat sampai rumah. Aku sungguh minta maaf karena menabrakmu waktu itu. Kamu tidak mengijinkanku untuk mengganti biaya perbaikan mobilmu..."

"Aku sudah memaafkanmu," potong Milly.

"Apa mobilnya memakai asuransi?"

"Tidak."

"Berarti biayanya cukup mahal. Aku harus menggantinya, Mil."

"Nick, sebaiknya kita tidak perlu membahas tentang ini lagi," ucap Milly tegas. Ia memalingkan wajahnya.

Nick menghela napas. "Ya sudah. Setidaknya biarkan aku mengantarmu pulang."

"Kamu sudah mengantarku pulang." Milly tampak bingung.

Nick terkekeh. "Iya memang." Ia meringis dalam hati. Apa memang sejak dulu Milly selalu berkata setajam ini? Sepertinya tidak. Wanita itu selalu bersikap ramah dan mereka memang sejak dulu tidak banyak bicara. Jadi Nick memang tidak benar-benar mengenalnya.

"Bagaimana caranya kamu pulang?" tanya Milly.

Belum apa-apa Milly sudah menyuruhnya untuk pulang. Baiklah. Ini memang sudah malam. Tapi setidaknya Milly mengajaknya untuk masuk dulu sebentar, sehingga ia bisa melihat-lihat ke dalam kamarnya. Oops.

"Aku bisa pulang naik kendaraan umum."

"Tapi ini sudah malam."

"Apa sekarang kamu mengkhawatirkanku?" Nick menatapnya sambil tersenyum jahil.

Milly gelagapan. "Aku... aku... Em... Bukan begitu..."

Nick tertawa. "Tenang saja. Aku akan baik-baik saja."

Milly menggigit bibirnya. Tidakkah wanita itu sadar bahwa ia melakukannya dengan sangat imut?

"Ngomong-ngomong besok aku harus menjemputmu jam berapa?"

"Apa?"

"Bukankah besok kita akan ke toko bunga? Bertemu klien? Foto prewedding?" Nick mengangkat alisnya sebelah.

"Oh. Iya. Besok kamu jemput aku jam tujuh pagi."

"Oke. Kalau begitu aku pulang dulu. Goodnight, Milly."

Milly tersenyum ragu-ragu. Dengan cepat Nick mendaratkan ciumannya di pipi Milly.

"Sampai bertemu besok."

Nick tersenyum lebar. Ia berjalan meninggalkan Milly yang terkejut. Mungkin lebih tepat disebut syok. Pipinya yang lembut berubah memerah.

avataravatar
Next chapter