17 Tahun Baru

"Hai Mika. Apa kabar?"

Aku terhenyak dan langkahku terhenti seketika saat ku sadari, di depanku ada Mas Doni berdiri menghalangi jalanku menuju ke kelas. Bermula menatap ujung sepatuku, lalu beranjak naik menatap mataku.

"Mika, Ibu nanyain kamu."

"Ibuku bilang, kapan ajak Mika datang lagi karena kemarin belum sempat ngobrol banyak sama kamu."

Mulutku terkunci. Tak sepatah katapun ingin aku ucapkan untuk menjawab sapaannya. Aku hanya terus menatap matanya. Setelah merenung berhari-hari, emosiku semakin dapat ku kendalikan dengan baik. Lama aku berpikir, apa yang hendak aku katakan padanya.

Pancaran mata yang berbeda. Tak berbinar seperti saat kemarin aku melihatnya. Tak ada cahaya yang memancar dari wajahnya. Senyumnya sirna. Hanya raut tegang, ketika berbicara denganku.

"Terus mau mu apa? Berdiri disini seenaknya."

"Aku, mau minta maaf," jawab Mas Doni.

"Kok basi ya, minta maaf sekarang!"

"Kamu menghindar terus, Mik. Aku pikir kamu butuh waktu..."

"Minggir, aku males ngeladenin kamu, Mas!"

Mas Doni berusaha meraih jari jemariku. Wajahnya memelas memohon agar aku memaafkan dirinya. Perasaan putus asa tergambarkan dengan jelas. Namun aku tak akan semudah itu membuka pintu maaf.

Dibalikkan badannya hendak menyusul langkahku. Tak diperdulikannya tatapan siswa lain menyaksikan bagaimana Mas Doni merendahkan ego nya demi aku. Dia seolah merelakan harga dirinya jatuh hanya untuk mengejar seorang Mika.

"Mikaaa... please... Mikaaaa...," nadanya merengek seperti bocah sedang meminta permen.

Kali ini dia tidak menyerah. Setiap kali Mas Doni berusaha meraih ujung jariku, ku hempaskan sahutan tangannya. Berulang kali dia mencoba, agar aku bersedia mendengarkan penjelasan darinya. Setengah berlari dia berusaha mengejarku karena aku berjalan kian cepat.

Aku menggaruk rambutku yang sebenarnya tidak gatal. Terpaksa menghentikan langkahku karena risih diikuti suara rengekan bocah yang merajuk manja.

"Terus mau mu bagaimana?" tanyaku dengan datar.

"Aku minta maaf. OK?"

"Iya. OK. Aku maafin. Udah. Apalagi?"

Mengejutkan bagiku karena Mas Doni tiba-tiba meraih tanganku. Layaknya adegan putri dan pangeran, Mas Doni berlutut dengan satu kakinya, merendahkan badannya lalu mencium tanganku. Sungguh di luar dugaan atas apa yang dilakukannya.

Beberapa siswa bersiul dan meneriaki kami, namun Mas Doni tak memperdulikannya.

"Ciiieee..."

Ramai suara bersahutan dari para siswa. Aku sontak menarik tanganku, dan mengerjapkan mata. "Kamu gak perlu kayak gini. Bangun!" seruku pada Mas Doni.

"Mika, kita gak putus beneran kan?" tanya Mas Doni. Hatiku bergetar. Rupanya Tuhan masih memberikan kesempatanku untuk merasakan cinta melalui Mas Doni. Mungkin sikapku kemarin terlalu berlebihan. Seorang Mas Doni, yang menurut June dan kebanyakan siswa adalah anak berandalan, tengah tak berdaya kini di hadapanku.

Aku menahan senyumku. Begitu polos wajahnya menatap memohon maafku. Tak ada Mas Doni yang bebal. Jurus mata teduhnya ditujukan untuk meluluhkan aku. Sekali lagi.

"Mikaa.. kita gak putus, kan?" tanyanya sekali lagi masih dengan nada memelas.

"Iya, kita baikan." Senyumku mengembang.

Mas Doni melompat kegirangan dan nyaris memelukku. Seketika diurungkan niatnya, karena dia sadar, itu belum mungkin untuk dilakukan sekarang.

"Yes! Nanti aku antar pulang sekolah."

Aku hanya tersenyum geli melihat tingkahnya yang mirip anak kecil. Begitu bahagia seolah mendapat permen yang disukainya. Sama sekali tidak sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi besar, dan rambut gondrongnya.

"Mas, sini deh. Duduk sini." Sebelum masuk ke kelas, aku menyuruhnya duduk sebentar di bangku panjang tempat favoritnya. Dia menuruti arahanku. Mas Doni duduk menghadap ke arah lapangan basket. Terik matahari pagi tak dihiraukannya.

Aku berdiri tepat di belakang Mas Doni duduk. Dengan hanya menggunakan jari, aku menyisir rambutnya agar sedikit rapi. Ku kumpulkan dan ku jepit dengan tangan kiri ku, sedangkan tangan kananku merogoh karet rambut pada saku depan seragamku.

"Yahh.. kok aku bawa pink," gumamku lirih.

"Ha.. apanya yang pink, Sayang?" tanya Mas Doni penasaran.

"Ooh, langsung panggil 'Sayang' ya sekarang," godaku.

"Haha.. kan memang pacarku," sahut Mas Doni dengan begitu bahagia.

Aku mengikat rambutnya menyerupai kuncir ekor kuda. Mas Doni tak tahu jika aku mengenakan karet rambutku yang berwarna pink padanya. Dipasrahkan dirinya untuk aku sentuh sesuka hatiku. Namun aku hanya berani menggapai rambutnya, sesekali menggenggam tangannya. Belum lebih.

"Mas, ini jenggot udah tumbuh panjang. Gak pingin dicukur? Kumismu udah mirip bapak-bapak, juga. Potong ya?" pintaku dengan terus mengedarkan pandangan ke tiap sudut wajahnya.

"Temeniiinnn..." rengeknya manja.

"Haha.. ya ampun. Tapi lebih cakep gini." Aku tersenyum mengagumi keindahan parasnya. Ku belai lembut jambangnya yang tumbuh tipis. Dengan posisiku berdiri di belakangnya, Mas Doni menyandarkan kepalanya mengenai bawah dadaku. Mas Doni seperti begitu nyaman dalam rengkuhan tanganku.

***

Sepulang sekolah Mas Doni mengajakku makan siang di kedai siomay langganannya. Akang siomay masih mengingatku.

"Siomay dan telur ya, gak pake pare."

"Haha.. bapaknya masih ingat ya," candaku.

Sembari menikmati siomay di bawah rindangnya pohon, aku memulai percakapan dengan Mas Doni. Mungkin karena berhari-hari kami saling diam, maka siang itu aku menanyakan segalanya pada Mas Doni.

"Mas biasanya pulang sekolah kan keliling dulu sama anak Roxette. Kok sekarang udah enggak?"

Mas Doni tak menjawab. Hanya mengangkat bahunya dengan tetap menyuap siomay ke dalam mulutnya.

"Mas, kemarin ngapain aja sama Vivi?"

Sekali lagi Mas Doni enggan menjawab. Hanya melirikku sejenak lalu kembali fokus pada sepiring siomay di hadapannya.

"Mas.. sebel gak sama Mika waktu Mika marahin Mas kemarin?"

Mas Doni tetap saja tertunduk mengaduk-aduk siomay dan bumbu pada piringnya.

"Mas Doni budek ya jangan-jangan.." godaku dengan kesal karena tak satupun pertanyaanku mendapat jawaban darinya.

Mas Doni membenahi posisi duduknya, sedikit dimiringkan badannya menghadapku. Diraihnya beberapa helai rambutku lalu disibakkan ke belakang telinga. Bibir Mas Doni mendekat ke telingaku. Sempat bulu kudukku berdiri, membayangkan apa yang hendak dilakukannya. Badanku terasa membeku. Aliran darah ditubuhku serasa berhenti mengalir.

"Sayangku, bawel ya!" bisiknya mesra tepat di telingaku.

***

Beberapa menit berlalu. Aku mulai dapat menguasai diri. Cara Mas Doni memperlakukanku dengan manis telah membuatku serasa melayang dan terbang. Selalu ada tingkahnya yang sulit ditebak. Tidak, semua rasa sayang Mas Doni itu tulus. Tidak dibuat-buat.

Tak berapa lama, Mas Doni menyodorkan dompet kulit berwarna coklat tua padaku. Dompet lipat yang selalu dibawa Mas Doni dalam saku belakangnya. Seharusnya itu menjadi privacy diantara kami, sehingga untuk apa Mas Doni memberikan dompetnya padaku.

"Ngapain dompet Mas diberikan ke Mika?"

"Mika yang bayar. Sono gih buruan!"

Demi apa, sumpah aku terkejut mendengar permintaan Mas Doni. Begitu cepat dia memberikan rasa percaya kepada Mika, hingga salah satu benda pribadinya diserahkan padaku. Lalu bagaimana jika aku bukan seorang yang jujur? Bagaimana jika aku mencuri beberapa lembar uangnya? Bagaimana jika aku membawa kabur dompet itu?

"Udaaahh, Mika yang bayar.. Sanaa.."

Mas Doni mendorongku agar berjalan menuju Akang siomay dan segera membayar pesanan kami. Dengan penuh keragu-raguan, aku membuka lipatan dompetnya. Ku ambil sehelai uang kertas berwarna biru muda dan menyerahkan pada Akang siomay. Tanpa banyak berkata, aku pun menerima uang kembalian dan segera ku masukkan kembali ke dalam dompet Mas Doni.

Aku berjalan menuju tempat dimana motor Mas Doni terparkir dengan tetap memegang dompet coklat itu. Mas Doni membawakan tas ku, dan memakainya menyilang melintasi dadanya. Sekilas ku lihat kancing seragam Mas Doni terbuka di bagian atasnya sehingga dadanya yang ditumbuhi bulu halus terlihat olehku.

"Mas Don, ini dompet Mas. Kembaliannya...," kalimatku terpotong.

"Mika pegang aja dulu. Ayo naik." seru Mas Doni.

Entah mengapa aku begitu gugup ketika berada di atas jok motor bersama Mas Doni saat itu. Tanganku yang melingkar di pinggangnya, ku arahkan sedikit naik ke atas. Sedetik kemudian jariku mulai nakal mempermainkan bulu halus di dada Mas Doni.

***

avataravatar
Next chapter