49 Semua tentangnya, kini juga tentangku.

Akhirnya Boy dan Richi mengantarku menuju gedung kuliahku, FISIP. Aku harus tetap mengikuti perkuliahan, meski sebenarnya aku tak mau. Mereka menungguku di parkiran, berjaga agar tak ada lagi gangguan dari Bas.

Mia dan Tika, dua orang mahasiswa yang juga dari luar kota, kini menjadi teman dekatku. Kami bertiga biasanya terlibat proyek tugas bersama. Kepada mereka berdua, aku menceritakan apa yang baru saja terjadi.

"Sudah, gak perlu dipikir. Mika, ini kota besar. Hal semacam itu sudah lumrah terjadi."

Tika berusaha menenangkanku. Cara berbicaranya memang lebih dewasa daripada kami berdua. Cara dia menyikapi sesuatu pun lebih bijak. Dia terlatih mandiri sejak kecil, karena kedua orang tuanya harus berpisah.

"Tik, menurutmu kejadian itu sudah biasa, gitu? Berarti banyak orang sakit jiwa dong, berkeliaran di luar sana?" tanya Mia.

Tika mengangguk mengiyakan.

"Mungkin bukan sakit jiwa, Mi. Yang seperti diceritakan Mika itu penyimpangan seksual. Aku pernah baca artikel itu.."

"Oiya bener kata Tika. Aku pernah baca berita, itu tuh namanya ekshibisionisme."

"Aduh, amit-amit jangan sampe ketemu yang begitu lagi."

"Amin. Kamu kali kurang sedekah, Mik! Haha.."

"Haha, ya mungkin. Aku balik dulu deh. Bodyguard ku nungguin daritadi. Wah harus belikan mereka rokok nih, haha.."

Ketika bersama teman-teman, aku seperti baik-baik saja. Aku dapat tertawa, melepas rasa takutku, dan melupakan begitu saja. Namun ketika aku sendiri di kamar, pikiran buruk selalu menghantuiku. Pengalaman pertama yang tidak menyenangkan, tentunya tak bisa kulupakan begitu saja.

Beruntung, setelah peristiwa kemarin, aku tak lagi mendapat gangguan atau teror apapun. Meski Mas Doni masih marah pada Rena karena tak dapat mengendalikan pacarnya yang sudah melampau batas.

Beberapa hari kemudian, Rena datang ke Malang berniat menemuiku untuk meminta maaf. Mas Doni yang memaksanya. Hingga berkumpullah kami semua di rumah Boy.

"Mik, jauh-jauh aku kesini, tolong maafin aku dan Bas ya."

Rena menangis dan memelukku. Aku hanya bisa diam, tak mengiyakan dan tak menolak pula. Ku biarkan Rena menumpahkan semua kekesalannya.

Tak lama, Mas Doni datang. Dia menyuruh agar Rena menjauh dariku, dan menghentikan tangisnya.

Bbbrm. Mas Doni turun dari motornya, dan mendapati kami semua dalam suasana haru. Menyaksikan kesedihan dan kekecewaan Rena. Berulang kali dia tampak menyeka airmatanya.

"Sudaahh, sudah, gak pake akting gitu, Ren," kata Mas Doni tiba-tiba.

"Mas.. Sst.. gak etis kamu nih. Baru datang, udah marah-marah kayak gitu!" Aku berusaha menegurnya.

"Itu nangisnya, nangis palsu. Bilangnya putus sama Bas, tapi liat aja besok. Halah, udah hafal aku sama dia."

"Ya, Mas.. tapi kasian.."

"Ren, mulai sekarang, kita gak perlu temenan lagi. Kurang kerjaan apa Bas itu, ngatain Mika, ndatengin Mika.. Gitu masih kamu belain! Aku aja gak pernah ngapa-ngapain Mika. Kok bisa Bas begituin dia. Jadi sekarang jelas ya!"

Mas Doni menegur Rena tepat di hadapanku. Dia begitu marah, karena Rena juga sempat menyalahkanku. Setelah puas Mas Doni mengungkapnya semua amarahnya, aku putuskan untuk memaafkan semuanya, memeluk Rena, dan menyudahi semua perdebatan ini.

***

Masih sore, namun langit mulai gelap. Aku dan Mas Doni duduk di teras rumah Boy. Semua urusan Bas, aku harap sudah usai. Lalu aku mengeluarkan ponsel Mas Doni, dan ku kembalikan padanya.

"Mas. Dituker balik, ya."

Dia hanya tersenyum, dan menolak uluran tanganku.

"Kayaknya Mika lebih pantes pegang yang itu. Mas gak masalah kok pake HP Mika yang ini."

"Tapi, kalo nanti Ibu Mas Doni tanya.. gimana?"

"Ya, aku tinggal jawab, kalo kita tukeran HP. Gak papa, kan."

"Tapi ini HP mahal, Mika takut nanti jatuh, trus pecah, trus.."

"Dijaga makanya, jangan dijatuhin, biar gak pecah. Seperti kamu menjaga hatiku. Haha.. Nggombal lagi!"

"Haha. Paling bisa becandain aku!"

"Serius, aku udah enak aja sih pake HP kecilmu. Muat di saku, jadi langsung kantongin kalo kemana-mana, gak ribet. Kalo itu kan kegedean. Lagipula aku gak suka foto-foto, jadi gak butuh kameranya juga."

"Hm, Mas.. padahal HP Mika jelek. Itu kan bagus karena casingnya aja yang baru. Kemarin diberi hadiah ulang tahun sama Gill dan Tria itu.."

"Oh, ya ampun! Aku sampe lupa! Bentar."

Mas Doni mencari sesuatu dari dalam tasnya. Dia membuka satu persatu kolom tas ranselnya yang tertutup resleting.

"Naah.. ini dia. Tapi.. gak pake dibungkus gak papa ya kan."

Mas Doni menyerahkan bungkusan plastik padaku. Dia menyuruhku untuk segera membuka selotipnya. Sesaat aku merasa bersalah, karena tak memberinya hadiah apapun di hari ulang tahunnya kemarin.

"Mas, tapi Mika.. gak kasi apa-apa."

"Haha, gak papa, Sayang. Tahun depan, kadonya dobelin tapi."

Dia memeluk kepalaku, dan menciumi rambutku. Baginya, bisa terus bertemu dan bersama, itulah hadiah terindah. Ya, dia anak orang berada, apalagi yang dibutuhkannya. Semua tentu telah dimilikinya.

"Taraaa.. itu buat Mikaaa..."

Aku berhasil membuka selotip yang menempel pada plastik pembungkus benda itu. Kudapati sesuatu berwarna ungu muda. Aku menoleh ke arahnya dengan sedikit menahan tawaku.

"Mas, mas ini beli untuk Mika, atau untuk Mas sendiri sih?"

"Ya buat Mika lah! Masak aku pake begituan. Malu sama badan, haha.."

"Tapi.. ini kan dipasangnya di.. punyamu.. haha.."

"Kan sekarang jadi punya Mika, haha, bener gak?"

"Eh gak serius gitu kali. Kita oper-operan aja."

"Haha.. kenapa jadi sungkan gitu ih, males Mas jadinya. Pokoknya buat Mika!"

Mataku berbinar. Benda mungil berwarna ungu muda itu ku letakkan di meja. Lalu ku ambil ponsel Mas Doni. Terlebih dahulu ku matikan dayanya. Setelah kupastikan ponsel itu mati, ku lepas perlahan satu persatu bagian luarnya. Ku bersihkan terlebih dahulu dengan tisu agar tak ada debu yang menempel.

Hadiah ulang tahun pemberian Mas Doni yang begitu lucu. Entah darimana ia mendapatkannya, karena setahuku memang itu adalah keluaran yang jarang dijual bebas. Jika ia mampu mendapatkannya, tentu bukan perkara mudah.

Triiing.. Ponsel Mas Doni kembali ku nyalakan. Tulisan 'Nokia Connecting People' dengan dua tangan yang saling bertautan, menghiasi layar.

"Sayang, apa yang jadi punyaku, itu artinya punyamu juga. Kamu gak perlu sungkan gitu. Kayak kita baru kenal, aja."

"Mas, tapi ini mahal lho. Aku takut nanti orang tua kamu marah kalo kamu pake ngasal kasi-kasi barang ke aku. Dikira juga, aku matre. Huh."

"Kan itu punyaku. Terserah aku dong, mau aku buang, aku lempar, aku kasi kamu. Bebas. Gak ada masalah."

"Ya sih. Anyway, makasih banyak ya."

"Mau Mika jadi matre juga gak papa. Kan memang cewek itu banyak kebutuhannya. Tapi, Mika enggak begitu kok."

Saat itu juga aku bersyukur pada Tuhan, karena dipertemukan dengan sesosok laki-laki yang teramat peduli, pengertian, dan luar biasa menyayangiku. Aku berada di titik kelemahanku, bahwa aku tak bisa kehilangan Mas Doni. Cara dia memperlakukanku, sangat berbeda dengan tampilan fisiknya. Dia rela melakukan apapun, demi aku.

Entah sejak kapan, dia menyukaiku. Yang ku tahu, dia tiba-tiba saja datang dengan sejuta kasih yang tak pernah putus. Meski dulu sempat aku menolak kehadirannya di hatiku, karena aku terlalu dibutakan oleh Rio.

Mungkin ini hukuman dari Tuhan. DiberikanNya aku rasa cinta yang teramat dalam ketika menatap kedua mata teduhnya. DiberikanNya aku rasa nyaman, hingga tak dapat jauh darinya. Perlahan aku menyadari, jika selama ini aku hanya malu mengakui isi hatiku yang sebenarnya. Aku terlalu angkuh merendahkan egoku di hadapan Mas Doni.

Di luar sana banyak perempuan yang lebih cantik, dan lebih sexi daripada aku. Banyak perempuan yang lebih manja dan tidak tomboy seperti aku. Tapi Mas Doni justru memilihku.

Aku selalu berdoa, agar bisa mendapatkan hati Rio kembali. Aku tak pernah berpikir, ada yang lain yang lebih pantas untukku selain Rio. Namun aku salah. Tuhan menjawab doaku dengan cara lain yaitu menghadirkan Mas Doni yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Sungguh, Tuhan Maha Besar.

"Mas."

"Ya?"

"Nothing, but.. I love you."

Mas Doni tersenyum. Aku tak lagi malu mengungkapkan perasaanku padanya. Aku rasa, dia berhak tahu bahwa aku benar-benar menyayanginya. Bahwa dia berhasil memiliki hatiku. Sedikit terkejut, dia lalu kembali mencium rambutku.

"No, I love you, more.." sahutnya cepat.

***

"Sayang, ini beli dimana? Yang begini bukannya gak ada di toko ya?" tanyaku.

"Adaa.. aku keliling cari toko yang jual. Aku masuk, tanyain satu persatu."

"Hehe. This is too cute."

"Mika suka?"

Aku mengangguk mengiyakan. Ponsel Mas Doni yang semula berwarna biru tua, sesuai dengan kepribadiannya, kini berubah menjadi ponsel imut berwarna ungu muda. Dia mengganti casing-nya sesuai warna kesukaanku. Semua tentangnya, kini juga tentangku.

***

avataravatar
Next chapter