8 Sekarang itu Kita

"Mika, aku kesiangan, ketinggalan sopir. Jemput aku yaa cepetan, aku tunggu di ujung gang!", ucap June di sambungan telepon, pagi sekitar pukul 06.50. Bahkan aku belum sempat berkata Halo, dia sudah berucap sepanjang itu dan telepon terputus. "Ha, kesiangan? Aku bahkan belum sarapan", gumamku lirih. Lalu ku raih ponselku dan membawanya ke meja makan, sarapan bersama Papa. Aku mengetik beberapa kata pada June, "Aku jemput jam 7, ini masih sarapan".

"Pa, motor aku bawa, boleh?" tanyaku pada Papa dengan mulut penuh nasi. Aku tergesa sarapan karena aku yakin akan terlambat, ditambah aku harus menjemput June terlebih dahulu. Memang aku terbiasa datang terlambat, paling tidak 4 - 5 menit dari jam masuk sekolah. Jika aku menjemput June terlebih dahulu, itu artinya aku terlambat sekitar 15 menit. Ya, semoga saja dimaklumi oleh penjaga gerbang karena ini hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang kemarin.

"Bawa aja, Mik. Tapi jangan ngebut. Jangan lebih dari 40 km/jam," jawab Papa. Yes, dalam hatiku bersorak. Sebenarnya aku belum cukup usia untuk memiliki SIM, sehingga Papa begitu berhati-hati memberiku ijin untuk membawa motor sendiri. Aku segera berdiri, dan mencium tangan Mama Papa. Setengah berlari, aku menarik kunci motor dari tempatnya tergantung. Helm dan jaket aku kenakan dengan terburu-buru. Mesin motor menyala, aku tancap gas menuju rumah June.

Sesuai perkiraan, kami tiba bersama di sekolah pukul 07.15. Penjaga gerbang tersenyum penuh kelicikan, "Masuk, cepetan mbak! Semoga ketauan Pak Pri ya, kalian!". Aku menyapanya dengan senyum manis yang palsu dan sedikit mengangkat alis. Aku dorong motorku, diikuti June dari belakang. Beberapa siswa masih berlalu lalang di lapangan dan depan kantin. Guru-guru masih tampak di kantor dengan memegang buku dan beberapa bersiap memasuki kelas. Aku memarkir motor di dekat bawah tangga. Setidaknya hanya disitu tempat yang tersisa, karena parkiran sudah penuh dengan motor teman-temanku lainnya.

"Cepetan Mik!". June menarik tas ku, dan salah satu kakinya sudah menapak anak tangga pertama. Pandanganku sempat teralihkan pada pintu kelas 3 IPA 1, yang berada di sebelah tangga. "Hai, tumben bawa motor?" Mas Doni menyapaku sembari bersandar pada daun pintu kelasnya dan tangannya dilipat.

Aku tak sempat menjawab pertanyaan Mas Doni. Badanku ikut tertarik ke atas ke arah June mulai naik. Yang aku dapat lakukan hanya melambaikan tangan. Sekilas aku lihat, Mas Doni tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Terlambat lagi," ucapnya lirih namun aku sempat mendengarnya.

***

JAM ISTIRAHAT

June mengajakku turun ke kantin untuk sarapan namun aku menolaknya. Aku lebih tertarik membolak-balikkan buku Akuntansi yang ku pinjam dari Hadi, temanku. Bab tentang Neraca dan Jurnal ini membuatku pusing. Meski kubaca berulang kali, aku tak kunjung paham. June pun terpaksa menemaniku duduk di kelas sepanjang jam istirahat, karena dia baru saja tersadar, jika dompetnya tertinggal di rumah.

Secara mengejutkan, ada yang mengetuk jendela, di sebelah tempatku duduk.

Tuk.. tuk.. tuk...

Aku dan June menoleh bersamaan.

"Mas, ngapain?" tanyaku keheranan karena ternyata itu Mas Doni yang menghampiriku melalui jendela kelasku. Aku pun berdiri.

"Aku cari kamu. Gak turun?" tanyanya.

Aku menggeleng sambil mengangkat buku milik Hadi. Lagi-lagi dia tersenyum lalu menyodorkan sebatang coklat berbungkus merah untukku.

"Apa ini?" aku menerima pemberian pertamanya, namun tangannya belum terlepas dari bungkusan itu.

Mas Doni menatapku dalam-dalam. Akupun balas menatapnya meski aku sadar, bahwa June menyaksikan semua itu dengan penuh keheranan. "Buat kamu, siapa tau laper." Akhirnya dia melepas tangannya dari bungkusan itu. Mas Doni langsung pergi begitu saja meninggalkan aku dari balik jendela.

June memegang pergelangan tanganku. Terasa hangat, karena sedari tadi aku hanya memperhatikan Mas Doni berjalan pergi.

"Mikaaa.. what happen?" June dipenuhi rasa ingin tahu atas apa yang terjadi. Aku terduduk lemas. Rasa ini menyenangkan, batinku.

"Mik, do you hear me?" June meyakinkan apakah aku baik-baik saja.

Aku menoleh perlahan, mulutku masih terbuka, tak tahu apa yang hendak aku katakan pada June. "Makan, Jun". Aku menyodorkan coklat yang sudah ku buka bungkusnya setengah untuk June. Tingkahku canggung di hadapan sahabatku sendiri. Dalam hatiku berbunga-bunga. Namun June tak seketika menerima pemberianku, masih saja menatapku keheranan.

"Kamu.. gak jadian sama anak berandal itu kan?" tanyanya penuh selidik. Tatapan matanya seolah mencari jawaban dari ekspresi wajahku yang masih belum terkontrol dengan benar.

Aku terkejut mendengar June berkata bahwa Mas Doni adalah anak berandal. Raut mukaku berubah marah, namun aku menyembunyikannya. Aku meluruskan badan, dan menghadap kembali ke depan, menatap buku milik Hadi. Ku letakkan coklat di meja.

"Kenapa kamu bilang begitu?" aku bertanya dengan menunduk. Pikiranku menjadi kacau. June nampaknya tidak menyukai Mas Doni. Jadi, bagaimana bisa aku berkata jujur tentang yang sebenarnya, saat ini.

Kami saling diam hingga jam pelajaran berikutnya. Coklat dari Mas Doni, aku masukkan dalam kantong terluar dari tas ku. Biasanya ada saja keusilan yang kami lakukan selama pelajaran, tapi tidak hari itu. Aku belum bisa jujur pada June, karena takut mempertaruhkan persahabatan kami.

***

SEPULANG SEKOLAH

June tergesa mengemasi buku-bukunya. Memeriksa laci meja, dan memasukkan botol air minum pada kantong di samping tas ranselnya. Seolah ingin segera pergi dari hadapanku, tanpa berpamitan dan menoleh sedikit pun, dia setengah berlari keluar kelas. Aku menahan tangannya seketika, "Aku antar pulang, tunggu bentar." ucapku datar.

June terhenti. Dia hanya terdiam. Hingga akhirnya, dengan menurunkan ego, dia bertanya kembali padaku, pertanyaan yang sama. "Jadi bener, kamu sama dia?"

Aku memasukkan buku ke dalam tas, saat June bertanya demikian. Sepersekian detik, gerakan kami terhenti. Hanya nafas yang tersisa. Pikiranku cemas membayangkan jika June marah mengetahui faktanya. Lalu aku hanya mengangguk perlahan dengan senyum terpaksa. "Yuk pulang". Ku lingkarkan tanganku pada bahu June dan mengajaknya berjalan keluar kelas. June pasrah karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Di bawah tangga, aku melihat Mas Doni dan teman-teman satu genk-nya berkumpul. Mereka duduk di sekitaran bangku panjang seperti kebiasaan hari-hari sebelumya. Tampak mereka tertawa seru, dan sesekali Mas Doni juga tertawa. Tak jauh dari situ, motor ku parkirkan. Untuk mencapai motor, aku harus melewati mereka terlebih dahulu, dan aku merasa enggan untuk itu.

Sejenak aku terdiam. June berjalan dengan Yohan mendahuluiku menuju pintu gerbang. Hingga salah satu dari mereka menyadari keberadaanku yang tengah berdiri mematung.

"Don, tuh dicariin!" ucap salah seorang dari mereka seraya memberi tanda untuk menoleh ke arahku. Tak nampak Boy diantara mereka.

"Ambil motor kah, Mik?"

"Oi, minggir semua! Tuan puteri mau lewat! Ayo minggir. Syuhh.. syuh..!"

Mas Doni mendekatiku dan berteriak ke arah teman-temannya agar memberiku jalan untuk lewat mengambil motor. Dalam hati aku yakin, teman-teman Mas Doni sudah mengetahui status kami yang sekarang. Terbukti dari gesture teman-temannya yang seketika menyegani ku, memberiku jalan, membantu mengeluarkan motorku dari barisan parkiran yang rapat, hingga sempat membersihkan jok motorku dari debu tipis. Namun aku sendiri belum dapat berkata jujur pada para sahabatku.

Lalu aku bertanya dalam hati, apakah selama ini aku dan sahabatku dapat disebut sebagai sahabat sejati jika tak dapat saling menerima keadaan satu sama lain? Apakah sahabat berhak melarang dan masuk dalam ranah pribadi sahabat lainnya? Apakah sahabat berhak mengatur apa yang harus dilakukan sahabat lainnya? Apakah sahabat hanya untuk bersenang-senang?

Berada di tengah kerumunan Mas Doni dan teman-temannya, aku merasa asing dengan sahabatku sendiri. Hingar bingar antara tawa dan teriakan genk Roxette menjadi satu dalam kepalaku, aku berjalan menuju gerbang, sementara Mas Doni mendorong motorku.

"Boleh ku temani pulang, Mika?" tanyanya padaku. "Boleh Mas, tapi aku antar June dulu ya, mau ikut?" aku balik bertanya. Mas Doni mengangguk mengiyakan. "Tunggu ya, aku ambil motor".

Sepanjang perjalanan pulang, June hanya diam. Di belakang kami, Mas Doni mengawal dengan kecepatan yang nyaris menyamaiku. Sesekali aku melihatnya dari spion sebelah kiri. Tangan June memegang ujung jaketku. "Mika, kapan mau cerita?" Tiba-tiba June memecah ketegangan diantara kami. Aku menatap jalanan yang panas siang itu. Dalam hati, sebaiknya June segera ku beri tahu, agar aku tak terkesan menyembunyikan sesuatu darinya.

Dari balik helm, setengah berteriak, aku berkata, "Besok ya Jun, besok sama Al dan Yohan, haha." Aku berusaha tetap tenang menjawab pertanyaan June. Dalam pikiranku masih terngiang kata-kata June tentang anak berandalan. Mas Doni jelas bukan anak berandalan. Mas Doni sangat baik, hanya saja kamu belum mengenalnya June, batinku.

Selepas mengantar June hingga pagar rumahnya, aku menuju rumahku. Mas Doni tetap mengawalku. Sesekali dia menyalip dan berkendara di sebelahku, sesekali mundur dan mengambil posisi di belakang motorku agar bisa tetap mengawasiku. Perjalanan dari rumah June menuju rumahku sekitar 5 menit, karena jalanan siang itu lumayan sepi.

***

"Assalamualaikum.."

"Kok sepi, Mama kemana sih, pintu dikunci segala," gumamku.

Aku mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan sama sekali. Mas Doni turun dari motornya dan mendekatiku, "Gak ada orang?" tanyanya dengan sesekali mengintip melalui jendela.

"Iya, apa palingan belanja ke supermarket ya. Biasanya sih gitu mas."

Aku duduk di kursi teras, melepas helm dan jaket lalu ku letakkan di meja. Mas Doni pun mengikutiku, duduk di kursi sebelahku. Helm nya diletakkan di stang motornya. Ku lihat badannya yang tinggi besar itu berkeringat kegerahan di balik jaket black and white bertuliskan MITSUBISHI.

"Mika, yang kemarin itu serius gak sih?" tanya Mas Doni memecah keheningan diantara kami.

Aku menoleh kaget padanya. "Ya Mas, gimana maksudnya?" Aku berbalik menghadap Mas Doni.

Secara spontan, tanpa ku duga, Mas Doni mengulang kembali permintaannya, "Mika beneran mau jadi pacarku?" Raut mukanya serius.

Aku mengangguk dan tersenyum, "Iya.. Iya.. Mas.. mau kok. Mika mau jadi pacar Mas." Aku tertawa kecil, melihat ekspresi Mas Doni yang tegang penuh kecemasan.

"Kenapa Mika mau? Mika kan belum kenal Mas." Mas Doni bertanya lagi padaku.

Deg.

Aku tak bisa menjawabnya.

"Kita bisa saling mengenal setelah ini kan?"

jawabku singkat. Aku berdiri teringat sesuatu. Mama biasanya meletakkan kunci cadangan di atas penyangga kayu dekat pot bunga yang menggantung di teras. Ku ulurkan tanganku dengan mengangkat kaki. Tanganku tak mampu menjangkaunya. Kayu itu terlalu tinggi. Aku biasanya akan memanjat melalui tumpukan bata di dekat kran. Namun, itu tak mungkin terjadi sekarang. Ada Mas Doni di dekat situ, dan aku masih menggunakan rok sekolah. Alih-alih ada angin kencang lalu hembusannya menyibak rok ku, bagaimana?

Melihat kegusaranku, Mas Doni berdiri dari tempatnya, "Ambil apa? Kunci?" Dia menyuruhku untuk sedikit minggir dari tempatku berdiri. Dengan sekali rogoh, tanpa mengangkat kaki, Mas Doni meraih kunci cadangan yang disembunyikan Mama sebelumnya.

"Kok gak daritadi sih, Mik." Mas Doni tersenyum menyerahkan kunci itu padaku.

"Hehe, baru keinget, makasi ya," sahutku sembari menerima kunci dan memasukkan ke lubang kunci pintu rumah.

"Aku pulang kalo gitu, kamu istirahat aja." Mas Doni mengambil helm dan menghampiri motornya. "Mas, gak masuk dulu? Minum dulu?" tanyaku mempersilahkan masuk.

Dia menggeleng. "Aku langsung pulang aja."

Motornya dipacu kencang ke arah jalan raya, meninggalkan aku di teras rumah.

avataravatar
Next chapter