2 My Past

Lantunan lagu-lagu hardcore dari radiotape di kamarku mendentum keras. Mama berteriak padaku, "Pake headseetttt Mikaaaa, berisikkk!!"

Aku tertawa, karena aku tahu mama pasti akan ngomel panjang seperti biasanya. Orang-orang di rumah sepertinya memang terganggu dengan selera musikku. Aku mewarisi bakat menggemari lagu-lagu keras yang menghentak jantung itu dari Papa. Namun seiring berjalannya usia Papa, kini Papa lebih menyukai melodi yang bertempo pelan, mungkin tertular dari kebiasaan Mama. Selain itu, Mbak Nia kakakku dan Leo adikku, tergolong biasa saja, terkadang selera musik mereka juga tak tentu genre-nya.

Di tengah hingar bingar suasana kamarku, aku berharap, tape tua ini tak segera rusak. Puas rasanya bisa menyetel di volume maksimal. Meski pita suaraku tak sanggup menjangkau nada demi nada yang ber-oktaf tinggi, aku tetap percaya diri ikut menyanyi, hingga terbatuk-batuk dan serak.

Tiba-tiba, pintu kamarku dibuka oleh adikku, Leo. Aku mengira adik kecilku ini akan protes padaku, seperti Mama ku tadi. Tapi ternyata tidak, syukurlah, hehe..

"Kak, aku lihat binder kakak donk"

"Gak, ngapain."

Aku langsung menyembunyikan binderku yang tadinya ku letakkan di meja belajar. Aku berharap jangan sampai Leo tahu isi binderku karena masih ku simpan beberapa foto mantanku disitu. Bisa panjang urusannya.

"Aku mau lihat kata-kata mutiara yang kemarin di lembaran kuning itulo kaaakkk."

Leo berusaha merebut binderku dengan sekuat tenaga.

"Enggaakkkk, udah gak adaa!"

Aku berbohong sembari menutup binderku dengan tumpukan buku latihan soal.

"Mamaaa... kak Mika ngumpetin foto pacarnya," teriak adikku seolah menggodaku.

Kurang ajar anak ini, lemas tanganku seketika.

Beruntung mama tidak mendengar teriakan Leo karena volume lagu Linkin Park, lebih keras daripada teriakan adikku. Akhirnya aku menyodorkan binder oren itu dengan sedikit ancaman pada Leo.

"Awas kamu macem-macem, habis kamu!" ucapku sambil memicingkan mata.

Sesuai perkataannya, dia langsung membuka lembaran kuning dan menyalin kata-kata mutiara yang aku tuliskan disitu, ke buku PR bahasa Indonesia-nya. Sungguh pintar akalnya, batinku. Aku berdiri hendak mengecilkan volume tape, karena aku tak ingin mengusik Leo yang belajar, atau lebih tepatnya mencontek dari binderku.

Tak butuh waktu lama untuk Leo menyalin beberapa kalimat mutiara itu. Kemudian tanpa sepengetahuanku, rupanya Leo membalik lembar demi lembar isi dari binderku. Ditemukannya harta karun yang ku rahasiakan.

"Kak, ini pacar kakak kan?"

"Dia ikut lomba apa ini kak?"

"Mayan cakep deh"

"Dia tinggi seperti kakak?"

"Satu sekolah nggak?"

Leo mencecarku dengan beberapa pertanyaan sekaligus. Seketika aku menoleh kaget. Tapi sudah terlambat. Leo sudah menamatkan lembar demi lembar foto Rio, yang kujadikan kliping di binderku.

"Udah mati dia, dek," jawabku singkat.

Leo mengangguk, "Ooh mati? Kasian ya kak."

Dia mempercayai perkataanku. Polos sekali siswa SD ini. Aku tertawa dalam hati. Leo mengemasi buku sekolahnya dan mengembalikan binderku ke meja belajar.

Tiba-tiba telepon rumahku berdering, lalu mama memanggilku.

"Mika, telpon. Dari Boy."

[WHAAAATT]

Kok bisa Boy tiba-tiba telp aku. Tahu darimana dia nomer telpon rumahku. Aku berusaha menyembunyikan rona wajahku yang terkejut. Aku berjalan perlahan menuju letak telepon, diam ragu menerima telepon darinya. Bukannya tiap hari ketemu di sekolah, batinku. Mungkin sebaiknya aku beralasan sedang mengerjakan PR. Akhirnya aku paksakan diri menyapa Boy via telepon malam itu.

"Halo... halo Mika lagi apa?" sapa Boy di ujung sana.

Sejak pertemuan di kantin waktu itu, beberapa kali Boy menyapaku dan berusaha menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Tapi semua tawaran Boy, selalu aku tolak dengan halus.

"Lagi santai aja," jawabku singkat sembari berpikir keras, bagaimana jika Mama menguping pembicaraan kami.

"Mik, aku tadi dipanggil guru BK lagi. Sampe 2 jam aku diceramahin, hahahaa."

Boy memulai ceritanya. Detik demi detik dan menit berlalu. Nyaris setengah jam Boy bercerita, dan aku menanggapi seadanya. Aku hanya tak ingin Mama menaruh curiga padaku, jika aku menanggapi Boy secara berlebihan.

"Boy, besok ketemu lagi di sekolah ya. Aku udah ngantuk ini," ucapku menyudahi pembicaraan.

"Oke Mika, mau ku jemput besok pagi?"

"Oo ndak usah, aku berangkat bareng sepupu aku."

"Ya udah. Ketemu besok di sekolah ya. Nite Mika."

Telepon ditutup. Suara Boy yang berat dan terkesan cool, berakhir disana. Aku kembali masuk kamar. Aku tersenyum sendiri membayangkan Boy yang tinggi dan wajah tampannya itu berusaha membuatku tertawa dengan cerita lucunya. Dia seperti meletakkan seluruh image perkasanya sebagai anggota genk Roxette demi menyenangkan hatiku.

Tiba-tiba aku sedih lagi. Ada Boy yang kini berusaha dekat denganku. Seharusnya aku senang karena bisa dekat dengan salah satu "anak terkenal" dari genk populer itu. Tapi apa aku tak salah jika berteman dengan anggota genk brutal di sekolah. Lalu bagaimana dengan Rio, yang kini statusnya sebagai mantanku.

Aku membuka lembar demi lembar foto Rio di binderku. Meski sudah beberapa bulan kami tak bertemu, Rio sering datang ke dalam mimpiku. Sering aku berharap Rio datang menemuiku, meski sekedar menjemputku sepulang sekolah. Namun hari demi hari, anganku tak pernah terwujud. Hatiku perlahan menutup dari pintu harapan untuk Rio. Andai kau tahu, Rio. Tidak semudah itu melupakanmu.

***

KAMIS PAGI, DI PARKIRAN MOTOR SEKOLAH

Teman-teman anggota eksul paskibra berkumpul di dekat mushola sekolah. Dengan membentuk barisan berupa lingkaran, kami memulai diskusi singkat. Bulan depan akan diadakan lomba formasi paskibra di sekolah rival kami, SMA 6 Kota Baru. Kami berembuk, siapa aja calon-calon peserta yang akan diikutsertakan dalam lomba. Kita bertekad harus menang agar nama ekskul paskibra Smasa Amerta kian dikenal masyarakat luas. Waktu untuk berlatih tidak banyak. Aku mengikuti diskusi itu dengan mata masih mengantuk, karena semalam aku berkelana kemana-mana. Mengkhayalkan tentang Rio dan Boy. Aku tertidur nyaris di pukul 2 dinihari.

Aku berucap lirih di dekat telinga Yohan, "yang jelas nih kita ikut serta, entah di posisi mana, di barisan mana, terserah aja." Yohan mengangguk tanda setuju dengan ucapanku. Tiba-tiba tas slempangku ditarik dari arah belakang. Reflek aku ikut tertarik dan menoleh, "Boy!" pekikku kaget dengan rona muka memerah. Kejahilannya dimulai.

"Mik, pulang sekolah nanti ikut nongkrong yuk!"

"Ha.. sama temen-temenmu?"

"Iya. Biasanya kita ke kedai es jus di daerah tatasurya situ. Kamu bonceng naik motorku ya," ajak Boy. Aku terdiam. Dalam hati ku ingin pergi, tapi aku harus menahan diri untuk lebih dekat dengan Boy.

"Maaf Boy, aku ada latihan paskibra pulang sekolah." Aku beralasan seadanya, lagi-lagi menolak ajakannya untuk duduk berboncengan di motor Boy.

Ku tatap Boy dengan senyum manis. Kemudian aku berjalan masuk kelas meninggalkan Boy yang berdiri di dekat motornya yang diparkir. Dia pun mengangguk, dan membalas tatapan mataku dengan senyum pula.

June berlari menghampiriku, dan menepuk bahuku perlahan. Kami berjalan beriringan menaiki tangga menuju kelasku yang berada di lantai 2. Setibanya di balkon kelasku, aku menengok ke bawah, mengedarkan pandangan untuk mencari Boy. Tampak Boy masih mengobrol dengan beberapa temannya di tempat yang sama.

Terpikirkan olehku, bagaimana perasaan Boy tiap kali aku menolak ajakannya. Kita sudah saling mengenal beberapa bulan, dan lumayan dekat. Aku pun sering meminjam bukunya. Kita sering saling menelepon ketika malam, bercanda, bercerita tentang banyak hal. Tak jarang, dengan Boy, aku sering tertawa lepas dibuatnya.

Kedekatan kami tak banyak diketahui oleh teman-teman kami di sekolah. Entah mengapa, aku justru merasa kurang nyaman ketika Boy semakin sering meneleponku. Mungkin Boy menginginkan kedekatan yang lebih dari sekedar teman, namun aku belum memberikan lampu hijau untuk itu. Sebaik itu Boy padaku. Bahkan bisa jadi, karena Boy, teman-temannya yang bebal itu tak pernah menjahiliku. Bahkan sekedar catcalling pun tak pernah.

Di sisi lain, aku masih terlalu sering memikirkan Rio. Rio, pacarku dulu, yang biasanya tiba-tiba datang dengan motor modifnya berwarna hitam dof, menungguku di gerbang sekolah. Rio yang bersama denganku sejak awal aku masuk SMP, namun dia memutuskan pindah sekolah karena keinginan ayahandanya agar dia dapat bersekolah di sekolah keagamaan.

Sejak awal berhubungan dengan Rio, kami jarang bertemu karena berbeda sekolah. Kini aku merindukan Rio, pacarku dulu yang penuh kejutan. Kini aku merindukan Rio, meski aku yang meminta putus waktu itu.

***

SIANG, JELANG PULANG SEKOLAH

Jam terakhir pelajaran, guru kelasku rapat. Kami sekelas hanya disuruh mengerjakan beberapa tugas hingga bel pulang berbunyi. Kami pun dilarang membuat keributan apalagi jalan-jalan keluar kelas.

Secara kebetulan aku hendak ke toilet. June menolak ketika aku ajak dia untuk ikut. Akhirnya setelah tak berhasil memaksa June ikut, aku pun berjalan sendirian ke toilet. Menyusuri balkon, menuruni tangga, lanjut melintasi area laboratorium sepanjang 15 meter yang rimbun tertutup daun dan ranting pohon beringin, lanjut melewati lorong ruang guru, dengan langkah yang ku seret dan kemudian belok kiri ke arah toilet perempuan.

Selepas dari toilet, aku mengambil jalan pintas agar lekas kembali masuk kelas. Aku menyintas di tengah lapangan basket. Sambil menundukkan kepala, karena aku tak mau wajahku terpapar panas matahari. Tiba-tiba aku menabrak seseorang. Bruk!

"Mas... anu... maaf." Seseorang yang ku tabrak, justru mengulurkan tangannya.

"Mika ya? Kenalin." Dia berkata singkat.

Ha... Kok dia tau namaku, aku terkejut sembari membalas uluran tangannya dan mengangkat kepala.

Pandanganku nanar akibat terik panas siang itu. Seseorang yang kutabrak, perawakannya tinggi dan besar. Penampilan seragamnya lebih acak-acakan daripada Boy. Rambutnya terbilang panjang untuk patokan siswa Smasa Amerta. Dia agak berkeringat, tampak jelas area bahu dan sekitar dadanya basah. Badannya tegap, dan tinggiku setara di bawah telinganya. Aku sering melihatnya bergerombol bersama Boy dan genk roxette. Tapi aku tak pernah tahu nama satu persatu lainnya. Hanya Boy yang ku kenal. Hanya Boy yang menyapaku. Selain itu, aku tak pernah menanyakan apapun pada Boy tentang teman-teman genk nya itu.

"Oh iya mas, maaf aku jalan gak liat depan tadi."

Dia tersenyum. Sorot matanya teduh ketika ku lihat dari dekat. Meski sebelumnya aku berpikir bahwa anggota genk roxette ini rata-rata berwajah garang dan brutal, mirip anak punk di perempatan jalan raya. Kurasakan panas di kepalaku akibat sekian detik berhenti di tengah-tengah lapangan basket. Dia melanjutkan langkahnya, berlalu dariku dan segera masuk kantin. Aku pun setengah berlari menuju kelas.

***

avataravatar
Next chapter