48 Mika Bertemu Bas

Mas Doni sering berkata bahwa, rasa sayangnya tumbuh begitu saja. Seiring berjalannya waktu, dan timbulnya kecocokan diantara kami. Mas Doni adalah sosok yang penyabar, lapang dada, dan tak mudah dikecewakan oleh keadaan. Namun semua itu akan berbalik, jika sesuatu hal buruk menimpa Mika, yaitu aku.

Cenderung bersifat overprotektif, Mas Doni tak ingin sesuatu yang sudah ia bangun, atau ia capai, hilang musnah begitu saja. Itu sebabnya Mas Doni begitu ingin menjagaku meski jarak memisahkan kami. Pencapaian tertingginya saat ini adalah memilikiku, pacarnya yang menawan dan mampu menenangkan hatinya.

Ibarat kendaraan yang melaju kencang, tentulah membutuhkan pengendali agar tak hilang arah. Begitulah makna kehadiranku bagi Mas Doni. Karena adanya aku, Mas Doni dapat merubah sifatnya yang egois. Karena adanya aku, Mas Doni dapat menahan diri melakukan suatu hal yang buruk seperti misalnya hobi berkelahi dan sering abai terhadap peraturan.

Sifatku yang tomboi, tak bisa diam bila ada sesuatu yang menurutku tak benar, selalu melawan jika itu tidak sesuatu hati nuraniku, dan tak suka berlaku seperti layaknya perempuan lain yang manja dan gemar berdandan, memiliki pembawaan yang acuh, mungkin itu yang menyebabkan Mas Doni tertarik padaku. Meski memiliki badan yang ceking, Mas Doni pernah berkata bahwa dalam diriku terdapat kepribadian yang tangguh. Itu sebabnya, aku lebih senang mendengarkan lagu beraliran keras dan lebih tertarik pada tontonan action laga dibandingkan drama.

Aku, seorang Mika, yang tegar. Aku nyaris tak memiliki ketakutan terhadap apapun di luar sana. Aku satu-satunya anak Papa yang harus tinggal di luar kota, jauh dari orang tua dan harus bisa survive dengan segala problema sebagai anak rantau.

Meskipun begitu, bagiku hidup sendiri itu cukup menyenangkan. Lama terpisah dari Rio, membuatku memahami bagaimana caranya untuk dapat membahagiakan diri sendiri. Kemudian Tuhan mempertemukanku dengan Mas Doni, yang semakin melengkapi kebahagiaanku. Love is simple. Antara mengerti dan dimengerti, antara mempercayai dan dipercaya.

***

Dua hari Boy dan Richi menjemputku bergantian di kos untuk mengantarku kuliah. Ya, aku tak dapat menolak karena mereka telah menungguku di balik pagar. Mas Doni memberitahukan jadwal kuliahku pada mereka. Selebihnya, aku tak ingin dijemput, dengan alasan ada tugas kelompok yang harus aku selesaikan dengan teman-teman kampusku.

Tak ada lagi teror dari Bas. Sesuai anjuran Mas Doni, aku tak serta merta menghapus semua pesan dari Bas, hingga Mas Doni datang dan membacanya secara langsung dari ponselku. Belakangan aku tahu dari Boy dan Richi, Bas adalah kekasih dari Rena, teman perempuan Mas Doni yang dulu sempat mencibirku ketika SMA karena aku berhasil mendapat perhatian lebih di mata Mas Doni.

Mas Doni datang di hari berikutnya menjemputku untuk bersama pulang ke Amerta. Kami berkendara beriringan dengan Boy dan Richi. Tak banyak percakapan di antara kami, pun ketika posisi kami berhenti bersama di lampu merah. Aku merasakan hangatnya tubuh Mas Doni dari balik jaket tebal dan helm fullface-nya. Bukan, bukan hanya kehangatan, tapi juga amarah yang membakar hatinya.

Tiba di Amerta, Mas Doni tak langsung mengantarku pulang ke rumah. Aku dibawa ke rumahnya, dan ternyata disana telah berkumpul semua anggota genk Roxette yang sedari tadi menunggu kami. Dia memegang tanganku, menuntunku naik ke lantai dua.

Mas Doni meminta ponselku, dan ku serahkan begitu saja padanya. Dihadapan teman-temannya, dia membacakan semua isi pesan Bas, mulai dari awal hingga akhir. Satu hal yang ku kagumi dari mereka adalah solidaritas dan persahabatan mereka yang kuat. Setelah Mas Doni menjelaskan duduk perkaranya, dia kembali menatapku lekat.

"Mulai sekarang, kamu bawa HP ku, dan aku yang bawa HP mu."

Ya, bertukar ponsel menjadi ide terbaik sejauh ini agar aku tak lagi terganggu dengan teror dari Bas. Tak lupa aku salin terlebih dahulu beberapa nomor kontak teman kampusku, begitu pula Mas Doni. Segera Mas Doni mengantarku pulang, tanpa aku tahu, apa yang akan dia lakukan beserta teman-temannya terhadap Bas.

***

KEESOKAN HARI DI RUMAH RENA DI PERBATASAN AMERTA

Mas Doni tak pandang bulu dengan siapa dia harus berhadapan. Jika sesuatu itu menggangguku, maka akan segera diselesaikan dengan tangannya sendiri. Dia tak ingin teror Bas semakin berlarut-larut.

Tanpa sepengetahuanku, semalam Mas Doni ternyata menemui Rena di suatu tempat, ditemani beberapa temannya. Mas Doni melabrak Rena, memarahinya karena Bas, pacarnya telah berbuat suatu tindakan yang mengusik ketenanganku. Bas sendiri menghilang, bahkan Rena tak dapat menghubunginya.

"Ren! Sini, aku mau ngomong!"

"Apaa sih, Don.."

"Kamu gak bisa ya jaga pacarmu. Suruh diem! Gak mainin cewek gitu. Bisa gak!"

"Heh. Maksudnya apaan? Dateng, marah-marah!"

"Perlu kamu tahu ya Ren! Bas! Cowokmu! Yang sangat kamu cintai.. dia SMS Mika, nanyain tarif! Pake ngatain Mika itu lonte!"

"Huh. Mana mungkin. Dapat nomor Mika darimana lagian!"

"Kamu tanya pa.. car.. mu..! Suruh dia jauh-jauh dari Mika, atau.."

"Atau apa hah? Gak mungkin Bas kayak gitu. Dia gak kenal Mika!"

"Kamu masih ngelak ya Ren? Mereka semua saksinya. Mereka udah tau semua isi SMS Bas ke Mika."

"Ya cewekmu kegatelan juga kali. Jangan salahin Bas mulu dong."

Plak! Sebuah tamparan dari tangan Mas Doni, mendarat di pipi Rena.

"Jaga bicaramu, Ren! Mau aku gampar lagi?"

"Don.. Don.. tahan!"

Boy menahan lengan Mas Doni.

"Mana Bas sekarang! Suruh dia kesini. Aku tunggu!"

"Oke, kita buktikan siapa yang salah!"

"Kalo sampe Bas gak dateng, kamu bisa menilai, cowok macam apa dia!"

Tuutt.. Tuut.. Tuutt..

Berulang kali Rena menghubungi Bas, namun tak ada jawaban. Rena yang putus asa, dilanda ketakutan.

Rena begitu terkejut karena tak menyangka bahwa kekasihnya berniat menggangguku. Bas, seorang laki-laki yang doyan bermain perempuan. Entah, Rena menjadi perempuan keberapa yang pernah tertipu janji manisnya. Rena mengira Bas telah berubah semenjak bersama dirinya karena Bas berjanji akan menikahi Rena. Janji yang sama yang diucapkan pada semua perempuan yang didekatinya.

Tak cukup satu perempuan untuk Bas. Kekayaan orang tuanya menyebabkan dia bergaul di luar batas kewajaran. Harus ada satu perempuan baru tiap pekan untuk menemani dia tidur. Herannya, darimana Bas bisa tahu nomor kontakku?

***

HARI BERIKUTNYA DALAM PERJALANAN MENUJU KAMPUS

Biasanya aku memang berjalan kaki untuk berangkat kuliah. Jarak gedung fakultasku dengan kos dapat ditempuh hanya dalam waktu sepuluh menit. Suasana hatiku sedang bahagia, aku memasang earphone di ponsel dan ku dengarkan chanel radio favoritku sepanjang perjalanan.

Kali ini aku memilih rute yang agak jauh, melintasi gedung rektorat terlebih dahulu. Jam kuliahku dimulai tiga puluh menit lagi, aku rasa masih banyak waktu untuk berjalan berkeliling kampus, menikmati sejuknya hawa kota Malang dan pohon-pohon tinggi di sepanjang joging track yang ku lalui.

Aku menolak saat Boy hendak mengantarku ke kampus. Aku merasa segan karena terlalu banyak merepotkan Boy dan Richi selama beberapa hari kemarin. Sebagai gantinya, aku berjalan kaki saat berangkat, dan mereka bisa menjemputku ketika aku akan pulang.

Kebetulan sekali, lagu kesukaanku terus diputar selama aku berjalan kaki. Tanpa ku sadari, aku turut bernyanyi lirih mengikuti alunan lagu penyanyi aslinya. Aku menikmati pemandangan, dan ku langkahkan kakiku perlahan. Beberapa orang berlalu lalang di sekitarku.

Berada di tikungan terakhir menuju gedung tempatku belajar, aku melihat dari kejauhan ada seorang laki-laki menggunakan jaket hitam sedang duduk di atas motornya. Dari jarakku berdiri, aku bisa mengetahui, orang itu seperti sedang gelisah menunggu sesuatu atau seorang yang melintas. Tanaman bougenville yang berbunga lebat dengan pot besar menghalangi pandanganku sehingga aku tak dapat melihat wajahnya.

Semakin dekat langkahku pada tujuan, semakin dekat pula jarakku dengan orang tersebut. Dia masih nampak gelisah, menoleh ke sana kemari, lalu menunduk, dan menghentakkan kakinya. Aku dekati dia, karena aku pikir mungkin dia sedang tersesat dan membutuhkan bantuan.

"Mas? Mas baik-baik aja?"

Aku ucapkan pertanyaan sewajarnya. Ku lihat wajahnya masih muda. Rambutnya berantakan, pakaiannya kusut, celananya terlipat sebelah. Dia nampak seperti orang mabuk namun memaksakan diri untuk tetap tersadar.

"Aahh.. kamu.. datang juga!"

Tangannya tiba-tiba menunjuk ke arahku. Aku tak tahu siapa dia, tapi sepertinya dia telah menunggu dan mengawasiku sejak awal.

"Mas kenal saya? Mas ini siapa memang?" tanyaku lagi.

"Haha.. Mika, kan? Aku boleh minta tolong?"

Deg! Dia tahu namaku.

Aku sedikit mundur beberapa langkah darinya. Orang-orang menghilang begitu saja. Sekitarku mendadak sepi. Jika aku berlari, tentu dia akan mengejarku dengan motornya. Secepat kilat, aku berusaha menghubungi Boy atau Richi, tanganku merogoh ke dalam tas, berusaha menggapai ponsel.

"Aku menunggumu daritadi, sayang.. Aku lihat kamu bakalan lewat sini. Kenapa lama sekali jalannya?"

"Kamu siapa?"

Jemariku menekan tombol-tombol yang sudah ku hafal letaknya. Panggilan terakhir berasal dari Boy, sehingga tak sulit bagiku untuk menghubunginya. Aku hanya perlu menekan dua kali pada tombol yang sama, lalu terhubunglah panggilanku pada ponsel Boy.

"Lho, kamu gak ingat aku? Aku Bas, sayang.. Aku Bas!"

Earphone-ku berganti suara, bukan lagi suara alunan lagu melainkan suara Boy yang berat terdengar. Aku berusaha tetap tenang dan tidak memperlihatkan kepanikan di hadapan orang asing itu.

"Oh.. jadi kamu Bas? Mau apa?"

Di seberang sana Boy mendengar percakapanku dengan orang yang kutemui, dan ternyata dialah Bas.

"Aku minta tolong, Mik.. Akkuuu menunggu mu lamaa.."

Nada bicara Bas memang sedang mabuk. Sorot matanya pun tampak lesu dan memerah. Aku diam tak menyahuti.

Tiba-tiba tangan Bas membuka resleting celananya. Dia tak nampak mengenakan celana dalam, hingga aku bisa melihat alat kelaminnya disana. Tangannya mengulur mencoba meraih tanganku untuk mendekat. Aku sudah tahu apa yang hendak ia lakukan. Aku hanya diam, tak berucap apapun. Perlahan aku berjalan mundur.

Dadaku bergemuruh tak karuan. Teleponku masih tersambung dengan Boy. Aku mendengar suaranya bertanya 'kamu dimana' namun aku tak mampu menjawabnya. Aku terus saja diam.

Bas semakin menceracau tak jelas apa yang dia katakan. Aku tinggalkan dia, ku ambil langkah memutar kembali melewati jalan semula. Aku tahu, dia sedang mabuk saat menghadangku, jadi tak mungkin dia mampu berpikir waras.

"Mik.. halo.. Mik.. kamu dimana?"

Suara Boy terus saja memanggilku. Setelah jarakku cukup jauh dari Bas, aku mencari tempat duduk terdekat.

"Aku di FE, di bangku taman. Jemput aku Boy, aku gemeteran."

Klik.

Boy datang sepuluh menit kemudian. Dia berlari menemuiku dengan cemas. Richi datang, tak lama kemudian.

"Bas? Dia disini? Ketemu dimana?"

Boy menatapku dengan duduk bersila di bawahku. Aku ketakutan, gemetar, dan ingin menangis, tapi bukan di depan Boy. Richi mengelus pelan bahuku. Menenangkan emosiku yang tak menentu.

Aku belum dapat menghilangkan rasa syok-ku, lalu Boy menelepon Mas Doni.

"Don.. cewek lu lagi syok. Nih dia abis ketemu Bas. Saking syok-nya, mukanya pucet, ga bisa ngomong apa-apa sekarang. Nih.. kamu aja yang bicara."

Boy memegang ponselnya lalu diarahkan ke telingaku. Tanganku seperti tak bertulang.

"Halo.. Sayang..?" sapa Mas Doni padaku.

Aku seperti kehilangan kekuatan untuk bicara. Suaraku berhenti di tenggorokan. Gambaran kejadian itu terus berputar di kepalaku. Bagaimana bisa, Bas memperlihatkan kemaluannya padaku, di tempat umum. Segila itukah dia dengan seks?

***

avataravatar
Next chapter