42 Gunung Trip

Mika tidak lagi berstatus sebagai siswi Smasa Amerta. Dia dan semua sahabatnya telah lulus dan kini masing-masing dari mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selama sebulan menjelang tes seleksi perguruan tinggi, Mika begitu sibuk belajar mengulang semua materi yang pernah ia pelajari semasa SMA.

Fokusnya untuk menghadapi SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) membuatnya sering lupa waktu. Sepulang dari bimbel, dia masih mengulang materi yang diterangkan oleh mentornya. Hingga dia tertidur di meja belajarnya.

Pukul 6 pagi, Mika terbangun. Lehernya terasa kaku. Sejenak dia menguap dan meregangkan otot-ototnya, dilihatnya jam dinding lalu dia segera melompat dari tempat duduknya. Matahari sudah bersinar, dia harus segera bersiap.

"Ma, Papa mana?"

"Sudah berangkat, barusan. Ada acara keluar kota. Ada apa pagi-pagi cari Papa?"

"Ma.. Mika hari ini mau pergi dengan Mas Doni. Boleh?"

"Doni? Ooh, dia lagi pulang? Iya boleh."

Mika tak melanjutkan pembicaraannya dengan Mamanya. Dia ragu untuk meminta izin dengan terus terang. Mama pasti akan melarangnya jika ia berkata akan pergi ke gunung Bromo bersama Doni, ditambah Papanya sudah berangkat kerja terlebih dahulu.

"Emang Mika mau kemana sama Doni?" tanya Mamanya lagi.

"Belum tau, Ma. Paling ke..."

Mika mengalungkan handuk di lehernya. Dia bersiap menuju kamar mandi, kemudian Mama memotong ucapannya.

"Kalian pacaran?"

Langkah Mika terhenti tepat di pintu kamar mandi. Nafasnya tercekat. Mika tahu, diantara dirinya dan Doni belum resmi berbaikan, tapi pertemuannya kemarin dengan Doni sudah cukup menjawab bagaimana status mereka kini.

"Enggak, Ma. Temen aja."

Mika segera berlalu dari hadapan Mamanya dan tergesa memasuki kamar mandi. Dia berbohong pada Mamanya. Tapi sebenarnya Mika tidak sepenuhnya berbohong, karena memang kini dia dan Doni hanya sebatas teman dekat.

Bbbrmm..

Doni turun dari motornya. Mika mendengar suara Doni memanggilnya, lalu segera berlari menyongsong Doni yang sedang menunggu duduk di kursi terasnya.

"Pagi.. Mas.."

Mika menyapa Doni dengan tiba-tiba dari balik jendela. Sengaja ia tak membukakan pintu, karena Mika hanya berbalut handuk selepas mandi.

"Mika sudah si..."

Doni membalikkan badannya menoleh pada asal suara. Didapatinya bayangan Mika hanya menggunakan handuk dari balik jendela. Doni pun terkejut, lalu kembali membalikkan badannya lagi, agar tak dapat melihat Mika yang sedang tanpa busana.

"Mas. Jadi? Tapi Papa gak ada di rumah. Terus gimana ini?"

"Udaahh, pake baju dulu! Baru keluar."

"Haha.. baiklaahh.."

Beberapa menit lamanya Mika memilih baju di lemari. Akhirnya dia putuskan mengenakan celana dan jaket jins senada, dengan kaos putih bergambar hati. Dia berharap pakaiannya cukup hangat untuk berkendara ke tempat dataran tinggi. Rambutnya diikat tinggi ke atas. Lalu diraihnya tas slempang dan dimasukkannya dua botol air mineral.

"Ma, Mika jalan dulu ya."

"Kok pagi sekali, Mika? Doni sudah datang?"

"Sudah Ma. Itu nunggu di depan."

"Suruh masuk, sarapan dulu."

"Ha..?"

Mika terkejut mendengar perkataan Mamanya untuk menyuruh Mas Doni masuk dan sarapan bersama. Semoga Mama tidak menanyakan suatu pertanyaan tentang mereka, batin Mika. Kemudian Mika berjalan ke depan memanggil Doni.

"Mas, disuruh Mama sarapan. Masuk dulu."

Mika melangkah ke dalam terlebih dulu dengan badan lesu. Pikirannya begitu cemas. Doni mengikutinya dari belakang dengan sedikit gugup. Ini pertama kalinya dia memasuki bagian dalam rumah Mika. Rumah yang begitu luas dengan lima kamar tidur, dan beberapa ruangan lainnya.

Doni berjalan menunduk memperhatikan tegel rumah Mika. Lantai marmer berwarna krem dengan totol coklat muda, begitu kuno dan antik. Barang-barang di dalam rumah Mika juga tak kalah antik, sebagian besar terbuat dari kayu jati dengan ukiran yang unik.

Langkah Doni terhenti pada pintu kamar yang terbuka. Cat dindingnya berwarna ungu muda. Terdapat lampu gantung dan begitu banyak tempelan poster salah satu band rock dari Amerika. Dia langsung menebak, bahwa itu adalah kamar Mika. Meja belajarnya rapi, dan terdapat bingkai foto Mika bersama teman-temannya saat mengenakan seragam SMA.

Mika menoleh lalu menarik tangan Doni.

"Meja makannya di sanaaa.."

Doni pun tersadar bahwa sedari tadi dia mengamati kamar Mika.

"Rumahmu besar ternyata."

Doni merasa salah tingkah, karena dilihatnya Mama Mika sedang menyiapkan piring untuk sarapan mereka bersama.

"Doni, sarapan dulu ayo. Ambil sendiri, nasinya, lauknya, sayurnya."

"Iya, Ma. Terima kasih."

"Emang mau pergi kemana kalian? Kok pagi sekali sudah mau berangkat.

"Mau ke Bbr..."

Disaat yang sama, Mika melotot ke arah Doni dan mengangkat jari telunjuknya tepat di bibir. Mika menggeleng perlahan, memberi tanda agar Doni tidak berterus terang kemana mereka akan pergi. Beruntung Mika berada di belakang Mamanya sehingga Mamanya tidak mengetahui apa yang dilakukan Mika.

"Mm.. mau ber...jalan-jalan ke pelabuhan, Ma."

Ya, Doni berbohong pada Mama Mika, demi Mika. Doni tahu, bahwa mungkin saja Mama Mika tak akan memberi izin pada mereka berdua jika harus pergi terlalu jauh.

Setelah sarapan, Mika terlebih dahulu berdiri dari kursinya. Diangkatnya piring makan Doni lalu dibawanya ke tempat cuci piring. Dari arah belakang, sayup Mika mendengar perkataan Mamanya pada Doni.

"Jangan jauh-jauh ya, Mika nanti sore ada bimbel. Nanti dia kecapean."

"Iya, Ma. Sebelum jam 12 siang, Doni antar Mika pulang."

"Ya udah ati-ati di jalan."

Doni menyalami tangan Mama Mika dan menciumnya. Mika pun berpamitan dan mencium pipi Mamanya.

***

Perjalanan menuju Bromo tak memakan waktu lama. Semua anggota genk Roxette berkumpul di simpang empat yang berada di perbatasan Kota Amerta. Doni segera melajukan motornya menyusul teman-temannya. Berada di simpang empat, semua merapatkan jaket dan helm. Mika mengikat ulang tali sepatunya, begitu pula dengan Doni.

"Kita akan melewati banyak tikungan tajam dan jalanan bakalan naik turun curam banget, kalo kamu gak nyaman, kita bisa berhenti menepi sebentar."

Doni berusaha memberi tahu Mika tentang kondisi jalanan yang akan mereka hadapi setelah ini. Mika mendengarkan dengan seksama sembari menggunakan masker penutup hidung. Di saat yang sama, Doni memasukkan jari-jarinya ke dalam sarung tangan berbahan kulit berwarna coklat tua.

"Kanan kiri jalan bakalan keliatan jurang, jadi kalo takut mending merem aja, sandaran disini, hehe.."

Doni menepuk bahunya. Dia memeluk pinggang Mika dan memberi tanda pada teman-temannya bahwa mereka sudah siap berangkat.

"Mas, yakin aman? Kok dengernya aja udah ngeri duluan ya?" sahut Mika.

"Aman, kita semua udah pernah kesana kok," jawab Doni menenangkan hati Mika.

Tak lama barisan motor-motor melaju rapi di jalanan yang tak terlalu lebar. Tak ada yang mendahului, semua tetap berada dalam formasi awal. Tak ada mesin menderu kencang, semua berjalan senada dengan hembusan angin.

Pemandangan yang disuguhkan sungguh di luar dugaan Mika. Sebagai anak kota, ini pertama kalinya ia melihat deretan pohon pinus menjulang tinggi sepanjang jalan. Disusul kabut tipis yang mulai memudar seiring naiknya matahari lebih tinggi. Suara kicauan burung bersahutan dan Mika berpikir terdapat puluhan jenis burung yang saling bersahutan mengiringi perjalanan mereka. Hawa dingin mulai terasa, Mika mempererat pelukannya pada Doni.

"Mika, kenapa? Pusing? Mual?" tanya Doni dari balik kemudi motornya.

"Enggak, Mas. Dingiiinn.."

Mika memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket Doni. Jalanan berkelok-kelok, dan sesekali ada turunan yang curam. Doni mengendarai motornya dengan lihai. Setiap hentakan giginya, begitu pelan terasa hingga Mika seperti melesat melayang diantara pepohonan.

Tiba di Pos 1. Mereka sejenak melepas lelah. Genk Roxette rupanya telah menyiapkan bekal makanan untuk mereka semua. Beberapa dari mereka sedang berfoto, yang lainnya tengah meneguk kopi hangat.

Mika dan Doni duduk di sebuah bale panjang dan menikmati makanan mereka yang beralaskan selembar kertas coklat. Tak ada sendok, mereka dengan lahapnya makan menggunakan tangan. Sesekali Doni menyuapi Mika dengan potongan daging yang ia pegang.

Setelah makan, Doni melihat jam tangannya. Pukul sembilan lewat. Dia tak yakin akan meneruskan perjalanan karena teringat janjinya pada Mama Mika.

"Gaes. Kalo naik, aku sama Mika kayaknya gak bisa deh. Nanti turunnya bisa kesorean."

"Yahh.. Doni! Terus gimana? Kamu balik?"

"Mm.. Aku lupa juga, keretaku berangkat jam 5 sore, gaes. Gimana dong."

"Haais.. gak asik lo cuma nyampe sini."

"Ya gimana lagi, ini waktunya mepet sih. Aku habis ini turun aja, ya?"

Doni melirik ke arah Mika. Dia melihat raut kekecewaan di wajah cantiknya karena batal untuk naik menuju Gunung Bromo.

"Sampe sini aja, aku janji next time kita bakalan balik kesini.. Eh bukan, ke sana..!"

Doni mengarahkan tangannya, menunjuk ke arah pemandangan indah nan eksotis di kejauhan sana.

***

avataravatar
Next chapter