25 Diantara Mika dan Doni

Sabtu malam minggu, aku mengeluarkan motor dari garasi rumah. Berteriak aku memanggil Erika agar lekas bersiap, aku pun menunggunya di luar. Kali itu aku mengenakan atasan tanpa lengan berwarna abu muda, dan celana pendek berwarna hitam dengan stripe kuning. Tak lupa ku kenakan sepatu basketku, yang lama tak kukeluarkan dari box-nya.

"Eeerr... ya Tuhan.. berapa jam lagi sih!"

"Yaa.. yaa.. Mika! Meluncur.."

Napas Erika tersengal menyusulku yang berjalan perlahan menuntun motor hitamku.

"Mikaa.. serius mau main? Kan udah lama gak latian," tanya Erika sembari memandangiku dari atas hingga bawah.

"Yee.. daripada gabut di rumah. Stres mikirin Doni. Gak ada benernya tuh anak!" aku menjawab dengan nada setengah kesal.

Kami berdua berkendara menuju lapangan basket di suatu pusat kebugaran yang jaraknya tak jauh dari Smasa Amerta. Kemarin, Rio tiba-tiba meneleponku.

***

Buk.. Buk.. Plak.. Jediaasss!

Yeee... Wooohoo...

Ciit.. Cit..

Buk.. Buk.. Jediasss!

Suara alas sepatu kami saling beradu di lantai, menimbulkan suara nyaring dan decitan yang keras. Teriakan kami terdengar menggema di seluruh ruangan. Sesekali terdengar bunyi bola memasuki ring. Diantara kami tak saling mengenal namun kami bertanding dengan solid.

"Lama gak latian, aku melipir dulu, Mik."

Erika hanya mampu bermain 1 set. Napasnya kembang kempis tak karuan. Dia memilih duduk meluruskan kakinya di tribun paling bawah dekat garis tepi lapangan. Dipijitnya perlahan kakinya dengan sedikit meneguk air mineral yang dibawanya dari rumah.

Aku menyusul Erika, duduk di sebelahnya, dengan meluruskan pula kedua kakiku.Keringatku lumayan bercucuran. Rambut ku ikat ekor kuda agar tak mengganggu pandangan.

"Mika.. Mik... " Erika menyenggol tanganku. Pandangannya tertuju pada seseorang berjarak beberapa meter dan membelakangi kami.

"Iyaaa, selow, aku tahuuu..." jawabku sembari meneguk air mineral dalam botol minum Erika.

"Kita lanjut main gak?" tanya Erika.

"Kayaknya jaim aku, Er.. haha.."

Lama kami duduk di tribun bawah. Menonton pertandingan basket dari tim putri dengan pemain yang rata-rata sudah profesional. Kemampuannya melebihiku ataupun Erika saat bermain basket. Namun karena hari itu hanya sekedar latihan tanding, maka bukan masalah dengan siapa mereka bermain.

Seseorang di kejauhan itu menyapaku. Tangannya diangkat dengan tinggi, dan melambai menyuruhku agar datang mendekat menghampirinya. Nampak dia sedang sibuk berdiskusi tentang suatu hal, dengan beberapa orang lelaki di sekitarnya.

Aku hanya mengangguk menjawab sapaannya. Tanganku turut membalas lambaiannya dengan maksud 'iya, silahkan selesaikan dulu urusanmu, aku menunggu disini'.

***

Rio. Malam itu meneleponku. Lama tak kudengar kabarnya, aku pun mulai melupakan lebih dari setengah kenangan kami. Dan malam itu, via telepon, diantara kita sungguh tak ada perasaan yang tersisa. Banyak yang kita bicarakan, terutama tentang sekolah, teman lama kami, dan kegiatan basket Rio tentunya.

Mungkin karena aku telah memiliki Mas Doni, maka aku kini menganggap Rio tak lebih dari teman. Tak ada perasaan berharap lebih padanya seperti kemarin. Totally, I'm move on.

Itu sebabnya, aku menerima tawaran Rio untuk latih tanding bersama dengan teman-temannya sesama pebasket putri. Momen yang tepat pula, karena hubunganku dengan Mas Doni sedang mengalami krisis kepercayaan. Aku hanya berharap menemukan kesibukan lain yang mampu membuatku terhibur.

Rio datang menghampiri kami. Dia mengenakan kostum basket berwarna oren dengan nomor punggung 11. Tulisan nama RIO terpampang di atas angka tersebut.

"Mik, thanks udah mau dateng. Kalo kamu gak ikut, temen-temen kurang jumlah soalnya."

"Hai, sama-sama. Santai aja. Aku banyak waktu luang sekarang."

Rio kemudian duduk tepat di sampingku berjarak sekitar satu meter di sebelah kananku. Seketika Erika berdiri dan berjalan menjauh. Pasti Erika menduga akan ada sesuatu hal yang private hendak Rio sampaikan untukku.

"Gimana kabar, Mik?" tanya Rio. Tangannya disatukan dan berpangku pada lututnya.

Pertandingan tim basket putri masih berlangsung. Tatapan mata Rio terus memperhatikan ke arah bola terlempar.

"Mm.. never better. And You?" tanyaku pada Rio.

"Ya.. feels good," jawabnya singkat.

Kami terdiam.

Ciitt.. ciittt... plak.. jediasss...

"Woo... good job Lou!" soraknya kegirangan ditujukan untuk seseorang bernama Louisa.

"Siapa dia?" tanyaku.

"Temenku satu sekolah," Rio menjawab dengan intonasi datar.

"Temen atau temen...?" Aku menggoda Rio tentang Louisa.

"Haha... yaa kita lagi dekett.. Hei, what about you?"

"Apanya? Aku kenapa emang?" tanyaku seolah tak mengerti maksud Rio.

"Pacaarr... udah.. dapet gantinya aku belom?"

"Haha.. jelas sudaahhh dong."

"Ooh, yang malem itu anterin kamu pulang habis Smasa Cup. Ya kan?"

".. Boy? No! Bukan Boy."

"Lah? Terus sama siapa kamu sekarang?"

"Kakak kelas, yaa temennya cowok itu sih. Emang perlu aku kasi tau kamu?"

"Haha.. gak mau juga gak papa kok."

"Ya.. rumahnya di sekitaran Jalan Ambarawa. Deket sama rumahmu."

Rio seketika terdiam. Ekspresi terkejut jelas nampak di raut mukanya. Dia menatap dalam mataku seolah mencari kebenaran yang hakiki namun dia tak sanggup mengutarakannya.

"Mik.. kayaknya aku kenal deh.."

"Idiihh.. sok tauuuu!"

"Doni? Iya bener, kamu sama Doni?"

Kini giliranku yang terkejut. Rio dapat menebak dengan benar siapa yang menjadi pacarku sekarang. Aku hanya tersenyum kemudian mengangguk, mengiyakan jawabannya.

"How..." Rio menggumam. Dia seolah berbicara dengan dirinya sendiri. Rasanya dia sulit mempercayai kenyataan itu.

"Napa kamu?" tanyaku keheranan.

"Kamu yakin, sama Doni?"

"Emang napa? Doni kenapa?"

"Gaakk.. gak papa. Dia baik. Setauku dia anaknya sopan, penurut, punya tanggung jawab.. tapi.."

"Setau kamu? Kamu tahu Doni.. sejauh apa memangnya?"

"Kita berteman sudah lama, Mika. Aku dan Doni. Kita bestfriend. Kan kita tetanggaan juga, rumahku sama dia selisih dikit aja."

Aku sungguh terkejut. Mulutku terbuka lebar dan spontan ku tutup dengan tangan kananku. Lalu Rio melanjutkan perkataannya..

"Serius.. dia anak baik. Aku kenal Doni sejak kecil, Mik. Kita dulu main gundu, main layangan, sampe kita pernah nyasar ke kuburan bareng malah."

"Lantas.. kamu bilang 'tapi'.. Tapi apa?"

"Ya.. tapi dia sering ganti-ganti cewek. Haha.."

Rio tertawa untuk mencairkan suasana. Aku pun ikut tertawa meski itu sebenarnya tengah mempermalukan diriku sendiri.

"But, Mika. I'm sure. Ketika Doni bersamamu, dia pasti serius sama kamu. Why? Karena aku tahu, karakter kalian sama. Doni adalah tipe cowok yang suka mengalah. Aku tahu ketika dia di Smasa bagaimana. Suka cari masalah, ya kan. Tapi dibalik itu, kamu perlu tahu bahwa dia itu gentle man, wise man, humble man. Pertahankan Doni, Mik. Banyak hal baik dalam dirinya. Aku yakin, Doni gak bakal nyakitin kamu seperti aku."

Aku tak pernah mengira, Rio menyampaikan hal yang mengejutkan bagiku. Kenapa perjalanan cintaku berputar pada warga Jalan Ambarawa ya, batinku. Semoga apa yang dikemukakan oleh Rio itu, semua benar adanya. Meski sebenarnya kini tengah ada nama Vivi diantara aku dan Mas Doni, aku enggan menceritakannya pada Rio.

***

LARUT MALAM, DI KAMAR MIKA

Hentakan lagu hardcore dari band kenamaan asal Amerika terdengar pelan. Aku belum bisa tertidur hingga larut malam. Volume radiotape kukecilkan hingga hanya aku seorang yang mendengarnya di kamar.

Teringat akan apa yang dikatakan Rio tentang Mas Doni. Kesimpulan akhir yang paling merasuk kalbuku adalah pernyataan bahwa Mas Doni tidak akan menyakitiku.

Sejauh ini tak ada yang perlu ku sangsikan. Mas Doni memang memperlakukanku dengan baik. Aku yakin, diantara mantan Mas Doni yang berderet itu, hanya akulah yang paling istimewa di hatinya.

Terbersit dalam anganku, bahwa semua kabar yang beredar tentang kedekatan Mas Doni dengan Vivi itu hanya bualan Vivi. Bukankah Vivi memang cewek penggoda. Mas Doni hanyalah salah satu laki-laki yang sedang tidak beruntung karena harus pergi ke Bandung bersama Vivi. Begitu pintar Vivi mencari celah agar hubungan kami mudah dipecah belah.

Memang hingga saat ini, tak ada penjelasan apapun dari Mas Doni tentang rumor yang beredar. Aku tahu Mas Doni pasti telah mengetahuinya, berita itu tersebar luas dengan cepat. Aku tahu, namaku sering menjadi bahan pembicaraan di kalangan adik kelas, kakak kelas, bahkan teman seangkatanku sendiri.

Kenapa Mas Doni tak menjelaskan apapun tentang Vivi, tentang kejadian di Dago, itu karena kabar itu tidak benar. Mas Doni pasti mempercayaiku. Perasaanku pun berkata demikian. Hatiku seakan begitu tenang. Tak ada yang perlu aku kejar dari Mas Doni.

Seandainya..

Seandainya suatu hari rumor itu benar adanya, maka bukan aku yang dirugikan. Itu artinya waktuku dengan Mas Doni memang tak boleh terlalu lama. Aku pasti siap, jika memang kedekatan Mas Doni dan Vivi terbukti benar. Untuk apa aku memaksa jika Mas Doni hanya berniat mempermainkanku.

Sembari menunggu, aku memilih terus menikmati saat-saat terakhirku bersama Mas Doni. Kita mungkin akan terpisah dan tak dapat bertemu dalam waktu lama. Untuk itu aku ingin mengumpulkan jutaan kenangan untuk bekal rinduku di kemudian hari.

***

avataravatar
Next chapter