33 Breaking Point

Hari Senin, kegiatan belajar mengajar dimulai kembali. Kebanyakan siswa dan siswi saling membahas tentang lomba di hari akhir yakni lomba fashion show. Sesuai prediksi, pasangan Mika dan Arya-lah juara umum lomba tersebut. Beberapa siswa memperbincangkan hubungan diantara keduanya. Namun ada pula yang melontarkan sanggahan bahwa keduanya hanya sebatas teman.

Kegiatan hari itu berlangsung seperti hari biasanya. Di sela jam pelajaran, baik Hadi ataupun Arya sering berbuat jahil kepada Mika dan June yang duduk di depan mereka. Sesekali menyembunyikan bolpoin Mika. Sesekali memanggil June namun ketika June menoleh, mereka berpura-pura sibuk mengerjakan tugas.

Jam kosong di pelajaran terakhir, mereka berempat justru bermain kartu domino yang sebelumnya dibawa oleh Hadi dan disembunyikan di laci mejanya. Awalnya Mika dan June tak tertarik untuk bergabung, namun karena desakan Arya, akhirnya mereka pun ikut bermain kartu domino.

Tak terasa, jam kosong selama 45 menit pun berakhir. Diiringi dering bel berbunyi panjang, menandakan saatnya untuk pulang sekolah. Secepat kilat Hadi dan Arya meninggalkan kelas, sedangkan Mika dan June nampak masih berbincang dari tempat duduk mereka sembari perlahan memasukkan peralatan sekolah mereka.

"June, ikut aku ke warnet yuk.." ajak Mika pada June.

Ada tugas sekolah yang mengharuskan mereka mendapatkan materi melalui internet. Jarak sekolah dengan warnet begitu dekat, karena letaknya berseberangan terpisahkan jalan raya pantura. Bilik warnet biasanya akan penuh di jam pulang sekolah. Kebanyakan siswa Smasa Amerta akan berselancar di dunia maya, membuka sosmed, chatting, lalu kemudian mencari materi untuk mengerjakan tugas mereka.

"Aku udah dijemput kayaknya, Mik. Kamu sih gak ajak daritadi.." jawab June menolak ajakan Mika.

"Oh, ya udahlah. Aku jalan sendiri kalo gitu."

Mereka berpisah di bawah tangga. June belok ke kiri menuju gerbang samping sekolah, sedangkan Mika berjalan lurus menuju arah gerbang depan sekolah. Beberapa siswa lainnya nampak berkerumun menunggu antrian bilik warnet. Semoga antriannya tidak terlalu lama, batin Mika.

Mika mengenal dengan dekat siapa petugas jaga sekaligus kasir di warnet depan sekolahnya itu. Untuk itu, Mika mendesak agar dapat segera mendapatkan bilik, tanpa harus mengantri lama.

"Mbak Mika, duduk sini aja. Bentar lagi kalo ada yang kosong, Mbak Mika langsung masuk." Ujar petugas warnet mempersilahkan Mika duduk di kursi dekatnya. Tak banyak yang dapat Mika lakukan ketika menunggu antrian selain menyapa satu persatu siswa Smasa yang juga sedang mengantri berada di dekatnya.

Sekitar 15 menit berlalu. Mika tetap duduk di tempatnya, dengan sesekali menyeruput teh dingin yang dibelinya. Kemudian nampak kerumunan siswa yang tak wajar terlihat oleh Mika di luar warnet. Mika beranjak, berdiri mendekati pintu warnet yang terbuat dari kaca.

Tak dapat didengarnya apa yang sedang dibicarakan oleh kerumunan siswa tersebut. Mika mengenali salah satunya sebagai teman sekelas Mika di 3 IPS 1. Mereka saling mendorong satu sama lain, dan tampak begitu cemas.

Beberapa menit berlalu, rasa penasaran Mika terjawab. Seorang teman yang dikenalnya masuk mendorong pintu warnet dengan tergesa. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan warnet, seraya berteriak agar semua orang mendengarnya.

"Mika.. Mika.. Ada yang liat Mika, gak?"

Petugas warnet mengarahkan jari telunjuknya pada pintu kaca di sisi barat. Mika tepat berdiri disana dengan wajah kebingungan.

"Ada apa cari aku?" tanya Mika.

"Mik. Bahaya Mik! Kamu ikut aku cepetan Mik.."

Tangan Mika ditarik dengan keras dan Mika tak dapat mengelak. Mereka berdua menyeberangi jalan raya terlebih dahulu dengan cepat, beruntung jalanan sepi siang itu. Kemudian tiba kembali di gerbang depan sekolah.

"Apaan, ada apa sih. Eh.. stop dulu bisa gak?" Mika kebingungan karena terus saja diseret berlari namun tak tahu tujuan.

"Mik.. anu.. Arya.. anu.." temannya tak sanggup berkata. Nafasnya tersengal karena terus berlari dengan menarik tangan Mika.

Tiba di bawah tangga, mereka berhenti. Dilepasnya tangan Mika yang sedari tadi dicengkeramnya kuat. Tampat raut kecemasan di wajah teman Mika.

"Ada apa sih? Aku harus naik lagi?" Mika sungguh tak mengerti apa yang terjadi.

"Mik. Kamu naik aja. Cari Arya. Nanti.. dia bisa mati, Mik!" jawab teman Mika lalu berlari pergi menjauhi Mika.

Di tengah kebingungan, Mika sungguh tak dapat menebak apa yang terjadi. Sempat Mika menyangka, apakah Arya akan bunuh diri. Dia ketakutan namun ditepisnya pikiran itu.

Perlahan Mika menaiki tangga menuju lantai dua. Suasana begitu sepi. Hanya suara desiran angin dan gesekan ranting pohon di depan lab yang terdengar. Langkah Mika nyaris tak menimbulkan suara.

Tiba di balkon lantai dua, Mika menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada siapapun yang nampak. Hanya dia sendiri yang berada disana. Bayangan akan hantu noni Belanda muncul kembali persis ketika dia ke toilet siang dulu bersama Doni. Entah apa yang menuntun Mika, dia melanjutkan langkahnya melewati koridor depan kelas duanya dulu.

Mika terdiam. Dia merasa ragu melangkah menuju toilet yang terdapat di ujung koridor. Dia terus memperhatikan sekitar. Sekolah sudah sepi. Ataukah temannya sedang menjahilinya, batin Mika. Tak ada Arya, tak ada siswa satupun yang nampak. Mika memutuskan untuk kembali turun.

Selangkah Mika berbalik badan, bertepatan di dengarnya suara tawa dari arah toilet. Suara laki-laki, tidak hanya satu, tapi beberapa orang. Mika mulai curiga. Dia berbalik kembali dan memperhatikan dengan serius ke arah toilet. Ditelusurinya perlahan koridor, langkahnya penuh kehati-hatian dan tanpa suara.

Kian dekat, Mika semakin jelas mendengar suara. Makian, cacian, dan ada suara erangan. Sekali lagi Mika menghentikan langkahnya. Dia menduga ada perkelahian dari dalam toilet pria, namun kira-kira siapa yang berkelahi hingga Mika dipanggil dan harus terlibat.

Dengan dibulatkan tekat dan keberaniannya, Mika menyeruak masuk secara tiba-tiba ke dalam toilet pria. Mika begitu berani meringsek masuk karena ini adalah sekolahnya. Jika terjadi sesuatu, dia harus membela dan menjaga nama baik sekolahnya. Mungkin dia akan sedikit terkena pukulan jika memang ada perkelahian di dalam toilet, dan dia sudah siap menanggung resiko itu.

Begitu Mika masuk, tatapannya seketika tertuju pada seseorang yang berdarah di sudut bibirnya. Tulang pipinya lebam. Seragamnya berantakan dan beberapa kancingnya terlepas. Dahi kirinya pun terdapat luka gores. Matanya memerah menahan sakit. Tangannya dilipat dan badannya meringkuk melindungi area perut. Sepatah kata yang terucap dari bibirnya hanya kata 'Maaf Mas'.

Tanpa berpikir panjang, Mika berlari menghampiri temannya yang babak belur dipukuli itu. Semua rasa takut itu sirna berganti amarah yang meledak. Mika menatap dengan pandangan yang berapi-api pada semua orang yang memukuli Arya. Ya, Mika telah lama berteman dengan semua pelakunya. Mika mengenal mereka dengan sangat dekat. Mereka adalah genk Roxette.

Satu persatu dari mereka mengeroyok Arya atas perintah Doni. Mereka memukul Arya, menendang Arya, meninju pipi Arya, dan apa lagi yang mereka lakukan sungguh diluar dugaan Mika. Arya nyaris pingsan saat tiba-tiba seorang teman Arya datang.

Genk Roxette terdiam karena tak menyangka dengan kehadiran Mika. Mika kemudian meminta pertolongan kepada teman Arya agar segera membawanya pergi menjauh dari keributan. Dibopongnya Arya dan bergegas menghilang dari pandangan Mika dan Genk Roxette.

Tak banyak bicara, Mika seketika mendaratkan kepalan tangannya pada pipi Gading. Terkejut dengan apa yang dilakukan Mika, Gading pun tak mampu membalas. Dia hanya memegangi pipinya yang terasa nyeri.

"Mana Doni?" Mika berteriak dan menatap satu persatu dari mereka. Tak ada yang menjawab.

"Maa.. na.. Do.. ni.. !" sekali lagi Mika berteriak menanyakan dimana Doni, pacarnya. Tak ada panggilan 'Mas' disematkan seperti biasanya. Mika begitu marah karena mendapati Arya temannya dipukuli oleh teman-teman Doni.

Tetap tak ada jawaban. Genk Roxette tak menduga Mika akan seberani itu melawan mereka. Nyali mereka ciut justru ketika berhadapan dengan perempuan pemberani seperti Mika.

Mika yakin, Doni pasti berada tak jauh dari lingkungan Smasa Amerta. Doni pasti tengah menunggu di suatu tempat, yang tak mudah dilihat. Seketika Mika berpikir, Doni pasti berada di kantin. Mika berlari dengan cepatnya menyusuri koridor dan menuruni tangga.

Namun sayang, begitu tiba di bawah tangga. Dia justru melihat Doni menyalakan motornya dan segera pergi melajukan kendaraannya dengan kencang. Tak mungkin dia mengejar Doni.

"Doooniii... sialaaaannn...!"

Mika hanya dapat berteriak meski entah Doni mendengarnya atau tidak.

***

Krriingg...

Telepon rumah Arya berdering malam itu.

"Halo, Arya? Ini Mika."

"Hi, Mik."

"You good?"

"I'm good. Its OK."

"Maaf, Arya. Beribu maaf. Aku ga tau harus bilang apa ke kamu, Ar."

"No. Ini semua kesalahanku. Kamu ga perlu minta maaf."

"Tapi, Ar.. kamu luka.. parah.. besok gak bisa sekolah pasti."

"Ga papa, Mik. Aku ijin sakit sehari untuk besok. Aku beneran gak papa kok."

"Gak papa gimana. Kamu berdarah. Pipimu memar.."

"I'm OK, Mik. Really."

"Arya. Kamu marah gak? Benci gak? Kita masih berteman, kan?"

"Haha.. ya jelas Mika. Kita masih berteman. No worries, Mik. Itu semua kesalahanku. Aku pantes dihukum kok."

"Ah.. Arya. Jadi orang jangan kelewatan baik dong.."

***

Kejadian siang itu begitu membekas dalam pikiran Mika. Melihat Arya dipukuli oleh genk Roxette hingga terluka parah. Dan Doni, pacarnya, adalah dalang dibalik peristiwa tersebut.

Mika tak menyangka, bahwa Doni datang dengan maksud menemui Mika di sekolah. Hari itu Mika dan Arya sedang berada di atas catwalk. Doni pun tak mengetahui sebelumnya bahwa Mika menjadi peserta lomba fashion berpasangan dengan Arya.

Di saat menunggu performance selesai, Doni malah melihat bagaimana Arya memeluk Mika dan disambut dengan keriuhan penonton. Doni tak ingin siapapun menyentuh pacarnya. Doni marah. Doni cemburu. Lama tak bertemu Mika, Doni menduga bahwa Arya berusaha mendapatkan hati Mika. Dan atas perbuatan Arya tersebut, Doni merasa pantas memberi teguran untuknya.

***

avataravatar
Next chapter