webnovel

Part 2

     Diperhatikan tubuh ayahnya, tampak tenang tanpa helaan nafas. Tak terhitung lagi air mata yang sudah mengalir di wajahnya. Banyaknya darah yang keluar dari tubuh ayahnya membuatnya semakin disadarkan akan kenyataan, kenyataan bahwa ia telah kehilangan orang yang sangat berarti baginya, baginya dan juga ibunya.

`

`

     Terduduk disamping ayahnya, memperhatikan kondisi sekitarnya. Baru ia sadari, hanya dirinya yang masih sadarkan diri, sedangkan lainnya sudah terkapar menutup mata. Tidak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak. Yoona sangat terguncang. Tubuhnya bergetar, membayangkan apa yang telah ia lakukan.

`

`

     Gemuruh dan kilat menyambar. Suara sirine ambulan mulai terdengar dan perlahan semakin terdengar lantang ditelinganya. Kehadiran polisi disana kembali menyadarkannya bahwa ia telah melakukan hal menakutkan hingga membuat mereka semua terkapar seperti itu.

`

`

     Hiruk pikuk warga sudah terdengar, mereka berkumpul dan berbaris asal dibelakang garis polisi. Mengamatinya dengan beragam ekspresi. Polisi mendekatinya dengan todongan senjata yang siap melumpuhkannya, melihat itu membuat Yoona seakan bermimpi. Dirinya menjadi topik warga. Banyaknya pria bersenjata menodongkan senjata mereka kepadanya. Tak tahu harus berbuat apa, ia hanya bisa duduk pasrah.

`

`

     Tangannya sudah terborgol, terkunci oleh besi yang takkan mampu ia musnahkan. Tubuhnya didorong paksa menuju mobil hitam yang terlihat kokoh. Yoona mengikuti semua perintah mereka, sambil terus menatap tubuh ayahnya yang lama-kelamaan tak lagi terlihat olehnya. Tak lagi menangisinya, hanya kekecewaan yang ia rasakan. Kecewa akan dirinya yang tak mampu menyelamatkan nyawa ayahnya, dan juga wanita tua itu.

`

`

     Dari sela para warga, tampak ibunya ikut berdiri di barisan depan dengan airmata yang sudah tumpah di wajahnya. Mata merahnya menatap Yoona dengan penuh pertanyaan, semakin membuat Yoona merasa bersalah melihat keadaan ibunya.

"Bisakah aku bertemu dengan ibuku sebentar?" ucapnya pelan masih terus menatap ibunya. Namun permintaannya tidak dihiraukan oleh polisi, dengan kasar polisi mendorongnya masuk kedalam mobil lalu mengunci pintu mobilnya dengan cepat. Tidak lama dari itu mobil tersebut bergerak meninggalkan pabrik. Tak tahu kemana mereka akan membawanya, yang pastinya ke suatu tempat yang akan memisahkannya dengan ibunya. Satu-satunya keluarga yang ia miliki kini.

--

--

--

     Bangunan itu kokoh, menjulang tinggi dan memiliki banyak ruang. Ruangannya tertutupi oleh jeruji besi. Berlantai tanpa alas, tentu tak mampu menepis udara dingin. Keadaan disana luar biasa berisik. Beragam kalimat tidak pantas terus terdengar, menggema di lorong panjang penghubung antar ruang tahanan. Yoona akui itu, semua hal yang ada disana sangat menyiksanya. Penyendiri sepertinya tentu sangat membenci keramaian. Belum lagi teman satu selnya yang selalu mengusik ketenangannya dan selalu berusaha memancing emosinya.

"Yak! Kau anak ingusan! Jadi kau membunuh orang? Wah, kau hebat juga.." celutuk seorang wanita bertubuh gemuk. Perkataannya tidak dihiraukan Yoona, karena itu dia melempar sisir yang tengah ia gunakan hingga mengenai wajah Yoona. "kau berani tidak menghiraukanku?! Apa kau tidak tahu, aku ini bos yang paling ditakuti disini! Benar tidak teman-teman?" katanya yang dijawab dengan sorakan penduduk napi lainnya. "aku dengar, salah satu dari korban adalah ayahmu? Hah, apa kau gila? Kau boleh membunuh orang, tetapi jangan keluargamu, terutama orang tuamu."

"Aku tidak membunuhnya." sahut Yoona akhirnya, tanpa menoleh pada wanita itu.

"Hah, kau kira aku bisa percaya padamu? Kalau bukan kau siapa lagi? Hanya kau yang tersisa disana. Ah.. itu sudah menjadi ciri khas setiap napi. Tidak mengakui perbuatannya agar bisa dikeluarkan dari sini, benarkah begitu?" Yoona sudah sangat kelelahan menahan emosinya.

"Sudahku katakan, aku tidak membunuhnya!" ia pun terpancing akan perkataan wanita itu. Mungkin karena wanita itu mengungkit ayahnya. Emosi Yoona menjadi tidak terkendali. Yoona bangkit dari duduknya, dengan sorot matanya yang menakutkan. Ia melangkah hendak memukul wanita itu, namun kehadiran petugas napi membuatnya mengulurkan niatnya.

"Hentikan! Yak Im Yoona, keluarlah. Ada yang ingin bertemu denganmu." bentak seorang petugas sembari membuka gembok jeruji. Tak lupa ia memborgol kedua tangan Yoona untuk mengantipasi kemungkinan yang akan terjadi.

`

`

     Ruangan itu berukuran kecil, sangat sempit. Tidak memiliki penerangan yang baik. Hanya ada dua buah kursi dan satu buah meja disana. Terlihat seseorang disana, seseorang yang baru bisa dikenali Yoona setelah ia duduk dihadapannya.

"Eomma.."

"Bagaimana kabarmu? Kau sehat? Kau tampak kurus." wajah ibunya terlihat pucat, menatapnya lemah, tetap memaksakan senyumannya.

"Eomma, mianhae.." hanya itu yang bisa ia ucapkan.

"Sudahlah, eomma kesini bukan untuk membahas itu." menggenggam kedua tangan anaknya. Tangan yang terborgol itu terasa dingin. Berusaha sekuat mungkin untuk menahan airmatanya. Tak ingin putrinya tersakiti akan kesedihan yang ia rasakan.

"Eomma, jongmal mianhae.." Yoona hanya bisa menunduk. Karena merasa bersalah, ia tak sanggup melihat wajah ibunya.

"Gwenchana. Gwenchana.." ibunya berusaha bersikap tegar, tidak ingin membuat Yoona larut dalam penyesalannya.

"Eomma, aku tidak membunuh appa.."

"Aku tahu.. Aku percaya padamu. Yoona-a, eomma sama sekali tidak menyalahkanmu. Kau melakukan itu untuk menyelamatkan ayahmu, benarkah?" Yoona mengangguk diikuti isak tangisnya yang membisik. "jangan menangis.. Eomma akan ikut sedih jika kau menangis." bibir Yoona bergetar karena menahan tangis yang nyaris pecah. "tatap eomma. Eomma kesini untuk melihat wajahmu, kenapa kau hanya menunduk? Kau tidak rindu pada eomma?" bahkan kini tubuh Yoona ikut bergetar. Ia merasa sangat kesal pada dirinya sendiri. Ia tahu itu, ibunya pasti sangat tersiksa. Ditinggal anaknya dan juga ditinggal oleh suaminya untuk selamanya. Walau kesulitan, akhirnya Yoona berhasil mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan ibunya.

"Eomma.." terlihat olehnya air mata yang mengalir dipipi ibunya. Bisa ia rasakan betapa terpukulnya ibunya pada saat itu. Sadar ada airmata diwajahnya, segera ibu Yoona tepis air mata itu dari wajahnya.

"Ini ibu bawakan makanan untukmu. Kau harus menghabiskannya. Ibu harus segera pergi, waktu ibu tidak banyak lagi." wanita itu bangkit dari duduknya, meninggalkan sekotak makanan diatas meja.

"Eomma, bisakah kau berjanji padaku?" tahan Yoona membuat ibunya berhenti melangkah. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah mendekati ibunya. "tetaplah menungguku, 8 tahun kemudian aku akan segera kembali padamu. Aku pasti akan kembali padamu." permintaannya dibalas langsung dengan sebuah pelukan dari ibunya. Tidak sempat menatap wajah sayu itu, ibunya sudah keluar dari ruangan diikuti dengan petugas lainnya. Air mata mulai terlihat, mengalir indah diwajah Yoona. Setelah bersusah payah menahannya, kini ia tak dapat membendung kesedihan lagi. Memulai hidup barunya disini, dipenjara.

--

--

--

8 tahun kemudian..

`

     Teriknya matahari tak bisa ia hindari. Walau ia sudah berlindung dibawah pohon, rimbunnya dedaunan juga tak mampu mengalihkan hawa nan panas itu. Musim panas mengawali hari barunya. Hari barunya setelah keluar dari penjara. 8 tahun sudah ia bersabar melawan segala peristiwa tak mengenakan disana, berkat kesabarannya hari ini tiba juga.

`

`

     Berjalan menuju halte sungguh melelahkan, bukan dikarenakan fisiknya yang melemah, tapi dikarenakan teriknya matahari yang langsung memaparkan cahaya panasnya itu. Tibanya di halte, ia harus bersabar berdiri dikarenakan tidak ada lagi tempat untuknya duduk. Syukurnya tidak lama dari itu bis pun tiba dan Yoona langsung melenggang masuk kedalamnya. Disamping jendela, dirinya memperhatikan sisi kota Busan, kota yang sudah 8 tahun lamanya tidak terpandang mata. Reflek ia tersenyum akan kebebasan yang ia rasakan.

`

`

     2 jam sudah ia berada didalam bis, akhirnya bis berhenti ditempat yang ia tuju. Untuk sekian kalinya, nafasnya tersengal dikarenakan kelelahan. Panasnya sinar matahari semakin menguras tenaganya. Ditambah kini ia harus sedikit mendaki karena kondisi desa Gamcheon yang berbukit. Diperhatikannya daerah itu, tidak banyak perubahan, hanya beberapa orang yang tak terlihat lagi disana. Termasuk gadis labil yang gemar mengusiknya.

"Yoona-a! Apa kau itu, wah benar juga! Yoona!" teriak seorang wanita dari atap rumahnya. Yoona langsung mencari asal suara itu. Dilihatnya wanita bertubuh gempal tengah menuruni tangga dengan semangat. "Yoona-a.. Akhirnya aku bisa melihatmu. Huh, syukurlah.." ternyata teriakan itu berasal dari mulut tetangganya. Teman dekat ibunya.

"Bibi, kau mengagetkanku.." terlihat senyuman dari bibirnya.

"Bagaimana kabarmu?" kata si gempal dengan ekspresi prihatin plus bahagia.

"Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu, bibi?"

"Oho, kau jadi perhatian begini. Lagi pula tubuhku sudah bisa menjawabnya, hahaha.. Apa kau mau kerumahmu? Oo, tunggu." wanita gempal itu dengan semangat menaiki tangga, tidak lama dari itu ia turun dengan membawakan sebuah kotak. "ini, ibumu memberikannya padaku. Ia berpesan untuk menyerahkan ini padamu setelah kau keluar dari penjara." katanya sambil menyeka keringatnya.

"Eomma? Kenapa dia menitipkannya padamu?" tanya Yoona sambil meraih kotak tersebut.

"Aku juga tidak tahu, dan ini kunci rumahmu. Maaf, aku menghilangkan gantungan kuncinya, ehehe.."

"Kunci? Kenapa bisa ada padamu? Memangnya eomma kemana?" katanya yang belum meraih kunci tersebut.

"Ya? Maksudmu?" wanita itu terdiam.

"Kenapa kunci ini ada padamu? Kemana eomma?" ulang Yoona dengan tenang.

"Yoona-a.." wajah si gempal langsung menegang.

"Kenapa?" tentu Yoona menyadari perubahan ekspresi wajah itu.

"Kau belum mendengar kabar itu?"

"Kabar apa?" dapat Yoona rasakan detak jantungnya yang mulai berdebar kuat.

"Setahun yang lalu ibumu tertabrak mobil. Dia sempat dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, namun takdir berkata lain. Nyawanya tetap tidak dapat diselamatkan."

"Apa?" sendi-sendi tubuhnya melemas seketika.

"Aku kira kau sudah.." seperti kilat Yoona raih kunci rumah itu, usai itu ia sudah berlari menuju rumahnya. Ia harus memastikannya secara langsung.

`

`

     Bangunan berwarna biru muda itu tampak kotor, penuh debu disetiap sudutnya. Pintunya ketika dibuka begitu berisik. Kondisi disana menunjukkan seberapa lama rumah itu ditinggalkan. Yoona yang baru saja masuk kedalam rumah itu sampai terbatuk akibat debu yang berterbangan. Sepi tanpa siapapun. Aneh memang, tapi hasrat untuk memanggil ibunya mendadak mendesaknya.

"Eomma.. Kau dimana? Aku sudah kembali." tidak ada tenaga didalam suaranya. Kesunyian menandakan harapannya musnah sudah. Berharap semua itu tidak benar, namun keadaan rumah itu benar-benar menjawab semuanya.

`

`

     Langkah gontainya membawanya kesebuah ruangan, ruangan yang hampir seluruh barangnya tertutupi kain berwarna putih. Kamar itu begitu kotor. Sarang laba-laba terlihat dimana-mana. Sangat sunyi, yang terdengar hanya isak tangisnya yang sudah tak mampu ia bendung.

`

`

     Terduduk di tepi kasur. Menatap foto yang terletak diatas meja rias ibunya. Orangtuanya tersenyum cerah. Mereka terlihat begitu bahagia, menatap bayi yang ada dipelukan mereka dengan pancaran kebahagian yang nyata. Foto itu diambil pada saat umurnya masih 2 bulan. Sebuah amplop terlihat tidak jauh dari foto itu berada. Yoona langsung meraihnya, dengan cepat ia merobek amplop tersebut dan mendapatkan sebuah surat didalamnya.

-

-

-

-

Yoona-a, bagaimana kabarmu? Apa kau sehat? Eomma merindukanmu. Yoona-a, mungkin disaat kau membaca surat ini, eomma tak lagi bersamamu. Mianhae(maafkan aku)..

`

Dibalik surat ini, eomma menuliskan sebuah nomor. Itu nomor yang harus kau hubungi. Dia teman eomma, eomma pastikan hidupmu akan lebih bahagia jika kau tinggal bersamanya.

`

Jangan takut, dia sungguh baik, bahkan mungkin melebihi kebaikan eomma padamu. Karena itu eomma percayakan kau padanya. Yoona-a, kau harus bahagia. Apapun pun yang akan kau lewati, kau harus bisa merasakan kebahagiaan. Karena eomma yakin, kebahagiaan sudah ditakdirkan untukmu.

`

Sekali lagi, maafkan aku..

`

Jaga dirimu anakku..

-

-

-

-

"Bagaimana mungkin aku bisa hidup bahagia jika tidak ada dirimu?" dibaliknya surat itu, terlihat sebuah nomor. Sebuah nomor yang harus ia hubungi—sesuai dengan apa yang ibunya tulis. Tapi Yoona terlihat enggan, ia malah menyimpan surat itu disaku celananya lalu bergegas membersihkan rumah itu. Masih diiringi tangisan halusnya, ia membersihkan seluruh rumah itu dengan semangat—yang tampak dipaksakan. Mungkin dengan begitu kesedihannya bisa sedikit terobati.

`

`

     Malam pun tiba. Kini rumahnya sudah nyaris serupa seperti 8 tahun yang lalu, bersih dan harum. Namun yang berbeda hanya penghuninya. Dibawah gemerlap bintang, Yoona merebahkan tubuhnya diatas lesehan kayu, menikmati indahnya tontonan langit pada malam itu. Terbayangkan olehnya semua kenangannya bersama kedua orangtunya. Waktu terlalu kejam terhadapnya. Dalam sekejab ia kehilangan semuanya. Tak berarti lagi baginya pengorbanan nan menagiskan didalam penjara. semuanya seakan percuma. Kini hanya dirinya seorang diri, tanpa siapapun yang menemani.

--

--

--

"Permisi.. Apa ada orang didalam?" teriak seseorang dari halaman rumah—bagian bawah tepat di hadapan tangga menuju lantai 2 dimana rumahnya berada. Yoona yang mendengar suara itu langsung terbangun dari tidurnya. Tidak ia sadari, ia tertidur diluar diatas lesehan kayu hingga pagi menjelang. "permisi.. Saya ingin bertemu dengan Im Yoona, apa dia ada didalam?" teriak orang itu lagi. Sambil mengucek matanya Yoona memaksa kakinya untuk melangkah keluar dari rumah lalu menuruni anak tangga dengan berhati-hati.

`

`

     Seorang wanita tua dengan gaun putih yang hampir menutupi seluruh tubuhnya, ditambah syal mermotif bunga yang melingkari lehernya. Wanita itu terlihat anggun, dan yang jelas, wanita itu sangat cantik. Disampingnya terlihat seorang gadis yang hanya menggunakan kaus oblong bertangan pendek dengan celana sepanjang lutut. Rambut panjang gadis itu diikat dan tertutupi sebuah topi berwarna merah.

"Eomma, sepertinya kau terlalu melebih-lebihkan kata-katamu. Dia tidak secantik perkataanmu." kata gadis itu ketus. Wanita yang dipanggilnya ibu itu hanya tersenyum sinis kepadanya, lalu menatap Yoona yang masih terlihat berantakan.

"Apa kau yang bernama Im Yoona?" tanya wanita itu sopan.

"Ya kenapa?" jawab Yoona singkat.

"Ah.. Jadi kau Yoona?"

"Eomma, sepertinya dia sudah mengatakannya." sambar gadis itu.

"Kau diamlah." ibunya terlihat kesal. "aku Mari, sahabat ibumu." Yoona hanya mengangguk tak tertarik. Wanita itu adalah teman ibunya yang seharusnya ia hubungi, dan ternyata ia tak harus menghubungi nomor itu dikarenakan wanita itu sudah lebih dahulu menghampirinya. "kemarin aku mendapatkan kabar dari temanku yang bekerja di tempatmu ditahan. Dia mengatakan bahwa kau telah bebas, karena itu aku langsung menyusulmu kesini. Sesuai perkataan ibumu, akan butuh waktu yang lama jika aku menunggumu menghubungiku."

"Eonni, apa kau tidak berniat mempersilahkan kami masuk?" celoteh gadis itu lagi.

"Yak Somi, apa kau tidak bisa bersikap sopan?" tegur ibunya.

"Aku lelah berdiri lama setelah mendaki jalan disini.." keluhnya sambil memukul pahanya yang mulai terasa pegal.

"Aa maafkan aku. Kalau begitu masuklah." walau sebenarnya tak berniat, akhirnya Yoona mempersilahkan mereka memasuki rumahnya.

`

`

     Mereka duduk diruang tamu yang semalam baru saja ia bersihkan. Wanita bergaun putih itu tersenyum melihat bersihnya ruangan itu.

"Maafkan aku. Aku tidak memiliki apapun.. Bahkan air untuk diminum." ujarnya sedikit malu.

"Astaga, jadi kau belum memakan apapun?" tanya wanita itu dengan ekspresi prihatin. Yoona hanya tersenyum simpul—ia juga baru menyadari itu.

"Padahal aku baru saja ingin meminta minuman padamu." sambar gadis itu.

"Jika kau berbicara lagi, akan eomma tinggalkan kau disini." bisik ibunya. Gadis itu langsung muram. "kurasa kau sudah tahu maksudku kesini." katanya kepada Yoona.

"Itu.."

"Aku bisa mengerti seperti apa perasaanmu saat ini. Kau pasti merasa sulit untuk meninggalkan rumah ini. Tapi aku juga tidak akan bisa tenang jika membiarkanmu seorang diri disini, kau juga belum menyantap apapun. Yoona-a, ikutlah denganku." ujarnya pelan dengan sangat hati-hati.

"Aku.." dapat Yoona rasakan itu. Kesungguhan dari tiap kata-katanya.

"Aku akan merawatmu sebagaimana ibumu merawatmu." wanita itu terlihat sungguh-sungguh. Melihat kesungguhan wanita itu membuat Yoona tidak bisa menolak permintaannya. Entahlah, apakah dia terhipnotis? Dia juga tidak tahu itu. Sulit untuknya menolak permintaan itu. Yoona hendak membereskan pakaiannya, tapi wanita itu menghentikannya. "tinggalkan pakaianmu, aku akan membelikan yang baru untukmu."

--

--

--

--

     Barisan gedung menjulang tinggi disetiap sudutnya. Berbagai macam mobil mewah menghiasi setiap jalanan. Fashion anak muda membuat tontonan semakin berwarna. Ditambah papan iklan yang tak henti-hentinya menampilkan artis KPOP banggaan negara itu. Kota itu benar-benar menakjubkan. Namun tetap saja, Yoona terlihat sangat tenang—seakan tak tertarik—dan tak senorak Somi yang duduk disampingnya. Didalam mobil sedan mewah itu, mereka menuju Dongdaemun. Surga dunia bagi para pecinta belanja. Ya, ia sudah berada di Seoul.

"Eomma, aku mau membeli hoodie terbaru!" seru Somi si gadis bawel itu.

"Urus dirimu sendiri, eomma mau menemani Yoona." kata ibunya santai.

"Apa ini, Dongdaemun? Eomma, kenapa kita tidak ke gangnam?"

"Eomma lebih leluasa disini. Ayo kita belanja sepuasnya!" semangat mereka tak sedikitpun menular kepada Yoona, sedari tadi Yoona hanya menatap heran ibu dan anak itu.

`

`

     Seharian berkeliling di Dongdaemun juga tidak akan cukup, mungkin dikarenakan kawasan perbelanjaan itu yang begitu luas. Jemari Yoona sudah dipenuhi dengan kantong pakaian, ia bahkan sampai tidak tahu harus membeli apa. Mari sudah terlalu banyak membelikan pakaian untuknya. Dihadapan sebuah salon, Yoona terduduk sambil meneguk minuman yang diberikan Mari padanya.

"Apa lagi yang harus kita beli?" tanya Mari padanya.

"Aku tidak tahu." jawabnya. Tak menghiraukan celotehan Mari yang tak ada habisnya, gadis itu hanya menatap salon yang ada dihadapannya. Lama mengamati salon itu, timbul sebuah pemikiran didalam benaknya. " bolehkah aku kesana? " tanyanya masih terus menatap salon tersebut.

"Apa? Kau mau ke salon itu? Mau apa?" Mari ikut-ikutan menatap salon yang ada dihadapan mereka.

"Memotong rambutku." jawabnya yakin.

--

--

--

     Tiba disebuah rumah yang megah. Bahkan hanya dengan melihat pagarnya saja sudah bisa membuat siapapun menebak, semewah apa rumah yang ada dibalik pagar itu. Beberapa kendaraan mewah terparkir rapi ditepi jalan disamping rumah megah itu. Sambil mengangkat kantong belanjaannya, Yoona mengikuti langkah Mari memasuki rumah itu. Halamannya yang luas dipenuhi berbagai tanaman hijau.

`

`

     Tak bisa ia pungkiri, rumah itu sungguh luar biasa. Langit rumahnya tampak sangat tinggi dengan beberapa lampu kristal yang bergantungan disana. Lantainya terbuat dari keramik mengkilat berwarna coklat tua, dan untuk dinding. Beragam perpaduan warna pun terlihat. Seperti merah hati, krim dan coklat. Dan kini. Setelah menaiki beberapa anak tangga, Yoona tiba di sebuah kamar yang akan menjadi miliknya.

`

`

     Hampir seluruh ruangan itu berwarna merah dan juga hitam, warna kesukaannya. Memiliki jendela nan besar yang bahkan lebih besar dari dirinya. Tepat disamping jendela besar itu, terdapat meja dan juga kursi santai. Senyuman pun tak mampu ia sembunyikan.

"Apa kau suka dengan kamarmu? Aku menyocokkan warnanya dengan warna favoritmu." kata Mari sembari meletakkan kantong belanjaan Yoona ke atas kasur.

"Kupikir ini terlalu berlebihan." ucapnya yang masih mengamati kamar itu.

"Tapi kau pantas mendapatkannya. Huh, ini sudah malam, kau istirahatlah. Jika kau lapar, kau bisa turun, banyak makanan didapur." jelasnya lalu meninggalkan Yoona yang masih asik mengamati keindahan setiap sudut kamarnya. Tersenyum puas, hanya itu yang ia lakukan.

`

`

     Yoona yang tadinya sudah tertidur pulas mendadak terbangun. Ia rasakan keringnya tenggorokannya pada saat itu. Dari pada merasa haus yang berkelanjutan, Yoona memilih turun dan pergi ke dapur. Melangkah pelan menuruni anak tangga—kembali mengamati keindahan rumah itu—walau dalam keadaan remang karena banyak lampu yang dimatikan.

`

`

     Diambilnya sebuah gelas lalu mengisinya dengan air putih yang sudah tersedia diatas meja. Beberapa teguk air telah memasuki tenggorokannya. Setelah menghabiskan minumannya, ia kembali melangkah menuju kamarnya. Menaiki tangga yang membuatnya harus berusaha sadarkan diri didalam kantuknya.

`

`

     Tiba-tiba saja ia mendengar suara dari arah ruang tamu. Berusaha untuk tidak memikirkannya, namun kakinya melangkah tanpa persetujuannya. Mencari asal suara itu yang telah mengganggu sistem pendengarannya. Tertangkap olehnya, sebuah tontonan yang menimbulkan kecurigaan. Seseorang sedang mengendap-endap melewati ruang tamu menuju tangga yang terletak tidak jauh dari posisi Yoona. Orang tersebut bahkan tidak menyadari keberadaan Yoona disana—mungkin karena remang yang nyaris gelap, melewati Yoona dan menaiki anak tangga masih dengan mengendap-endap.

"Permisi?" tegur Yoona dengan nada datar.

"Wuah!" teriak orang tersebut. Ternyata dia seorang pria. Pria yang diakui Yoona memiliki tingkat ketampanan yang sangat tinggi. Berpostur 183cm, tubuh atletis dan cara berpakaiannya yang tidak bisa diremehkan. Rambutnya pria itu terlihat rapi, seakan dibantu oleh sedikit jel agar tercipta bentuk yang dinginkan. Pria itu menatapnya heran, perlahan mendekati Yoona yang masih menatapnya dengan pandangan datar.

"Kau siapa?" ucap pria itu menatapnya lekat.

"Aku?" Yoona tidak tahu harus menjawab apa. Dirinya juga tidak tahu siapa dia dirumah itu.

`

`

`

`

Continued..

`

`

`

`

Gimana kak?

Pada nangis gak?

Next chapter