webnovel

WHY?

Seorang pria berdiri sambil mengeluarkan tangannya pada jendela kamar. Menikmati hembusan angin yang cukup kencang dan juga hujan deras yang membuncah dari angkasa. Sudut matanya yang tajam melirik ke arah benda seukuran remote televisi berwarna kuning. Benda itu adalah anemometer, di pergelangan tangannya tergantung pula benda bulat mirip arloji yang tak lain adalah barometer. Keduanya adalah alat untuk mengukur kecepatan dan tekanan udara.

"Lima belas, Enam belas, tujuh belas knot ...." Dengan reflek super cepat pria itu menggeser senapan laras panjang yang telah ia persiapkan sebelumnya. Membidik target dengan kecepatan super seolah-olah ia telah terbiasa melakukan hal ini sepanjang kisah hidupnya. Tak ada kepanikkan, tak ada ketakutan, tak ada keraguan, bahkan setetes keringat pun tidak ada.

DOR!!

Dalam satu tembakan, pelurunya menembus pelipis Wakil Wali Kota sampai menembus jauh ke kepala sopir pribadi pria malang itu. Darah dan semburan otak mengotori jog mobil. Mobil mewah itu melesat cepat tanpa kendali dan menabrak mobil di depannya.

"Target tereliminasi," ucapnya lirih pada sebuah telepon genggam kuno.

Setelah menutup ponsel model flip itu, ia bergegas membereskan semua peralatannya dan keluar dari kamar. Mengenakan kembali topi baseball sebelum keluar dari celah-celah gedung bertingkat. Menghambur pada kerumunan manusia yang tampak penasaran dengan kejadian itu. Jas hujan hitam menyamarkan tas punggung yang dibawanya.

oooooOooooo

Jasmine dengan gemetaran memutar knop pintu pelan-pelan, mencoba mengintip, siapa tamu tak diundang itu? Pelan-pelan Jasmine membuka pintu, tangannya yang lain bersiap dengan sabun dan juga sikat WC. Jantungnya berdegup kencang sekali, napasnya seakan tercekat akibat rasa panik.

Aku akan mengoleskan sabun pada mata sebelum memukulnya, awas saja kalau dia berani macam-macam padaku! pikir Jasmine menguatkan diri.

Pintu terbuka perlahan, ekor mata Jasmine mulai menyisir ruang tamu yang terlihat menyatu dengan ruang makan. Mata bulat Jasmine semakin membulat sempurna, alangkah terkejutnya Jasmine saat mendapati suaminya terkapar di lantai. Merintih lirih sambil memegang bokongnya yang sakit.

"Babe?! Kau tidak apa-apa? Apa kepalamu terantuk?" Jasmine langsung menghambur keluar, melemparkan sikat wc dan mengelap sabun di tangannya pada handuk.

"Tidak, hanya saja bokongku sakit sekali. Aduh aku tak melihat ada genangan air di dalam rumah." Rafael meringis, ia memegang pantatnya.

"Sorry, aku tadi pulang kehujanan, cepat-cepat masuk ke kamar mandi jadi belum sempat mengelap air yang menetes dari pakaianku." Jasmine tampak menyesal, gara-gara keteledorannya Rafael terpeleset.

"Lantas kenapa kau bawa sikat wc?" tanya Rafael heran, istrinya terlihat sangat tegang.

"Eum, itu ...," gumam Jasmine, ia bingung mencari alasan. Tak mungkin ia mengatakan hal jujur kepada suaminya bahwa hari ini dia hampir diperkosa oleh nasabahnya sendiri. Bukan nasabah biasa, nasabahnya itu menakutkan dan juga nekat. Jasmine takut pria itu akan mencarinya lagi.

"Soalnya aku kira ada maling masuk, El. Kau kan bilang akan pulang besok." Jasmine berkelit, ia membereskan peralatan gambar milik suaminya yang tercecer saat terpeleset. Kuas berbagai macam ukuran dan juga cat akrilik menghambur pada lantai keramik. Koper kayu --wadah cat-- terbuka, sepertinya rusak saat terjatuh menghantam lantai.

"Kau mau mencegah maling masuk dengan busana seperti ini?" alis Rafael mengeryit saat melihat tubuh indah istrinya yang hanya berbalutkan handuk mandi.

"Ah, iya ya...," lirih Jasmine yang baru saja menyadari kebodohannya. Ternyata benar dia sangat polos, tak heran banyak yang salah sangka padanya.

"Kau benar-benar membuatku gemas, Jasmine!" Rafael bangkit, memegang bokongnya yang sakit.

"Kau pulang sehari lebih cepat?" tanya Jasmine saat membantu Rafael berdiri.

"Kenapa? Tidak boleh?" cerca Rafael.

Begitu berdiri lelaki itu langsung mencekal pinggang Jasmine.

"Aduh geli, El!!" Jasmine menggeliat.

"Aku merindukanmu, Jas! Dan ternyata tidak sia-sia pulang sehari lebih cepat, istriku menyambutku dengan busana yang seksi seperti ini." Rafael mencium bibir Jasmine, keduanya saling berpanggutan dengan mesra. Tangan Rafael melepaskan handuk yang melilit tubuh indah Jasmine.

"Jangan di ruang tamu, EL," cegah Jasmine.

"Kalau begitu, ayo kita ke kamar!" Rafael menggendong tubuh Jasmine masuk ke dalam kamar.

Rafael langsung membanting lembut tubuh polos Jasmine ke atas ranjang. Mencium tanpa jeda tiap-tiap lekukan indah miliknya. Jasmine semakin menggeliat saat tangan Rafael bergriliya, mengelus inci demi inci permukaan kulit Jasmine yang mulus. Memainkan dua buah tonjolan indah miliknya.

"Argh, El ...," desahan pelan keluar seiring dengan kenikmatan yang diberikan Rafael.

Tanpa menunggu Rafael juga melepaskan pakaiannya, memamerkan tubuhnya yang kencang dan berotot.

Ah, suamiku saja punya tubuh yang indah, kenapa aku harus tergiur pada tubuh si Singa Bodoh itu? Jasmine mengigit bibirnya, bermain nakal dalam pikiran sambil meledek pula ucapan Leonardo siang tadi.

Tubuh Rafael memang tidak sebesar Leonardo, tapi untuk masalah otot, Rafael tak akan kalah. Tubuhnya juga sama kokoh dan terlatih. Abs enam sisi pada perut, dada bidang, dan lengan yang kencang, semakin kokoh saat menahan tubuhnya agar tak menindih Jasmine.

"Kenapa kau memandangku senakal itu, Jas?" tanya Rafael bingung, pandangan istrinya memang terlihat nakal dan penuh gairah.

"Karena aku terlalu rindu padamu, El," bisik Jasmine, ia mengalungkan lengannya pada leher Rafael, lalu mengecup lagi bibir itu. Bibir keduanya saling berpanggutan mesra, tak ada jeda, hanya desahan yang memberi cela bagi napas untuk tetap tertarik masuk.

Peluh menetes, seiring dengan bercampurnya keindah perasaan dan hasrat yang membuncah. Gairah asmara membakar keduanya. Gerakan sensual menjadi ritual yang penuh keintiman.

"Argh...pelan-pelan, El!" rancau Jasmine saat Rafael mulai menghujam masuk pada area paling pribadi miliknya.

"Baiklah, Sayang." Rafael bergerak senyaman mungkin bagi Jasmine. Sudah satu minggu tidak bertemu, Rafael ingin memulai permainan mereka dengan lembut.

Hujaman demi hujaman itulah yang membawa keduanya pada denyutan penuh kenikmatan.

Rafael membanting tubuhnya ke atas Jasmine begitu keduanya terpuaskan. Bahu Jasmine naik turun menahan getaran dan napasnya yang berat. Permainan Rafael cukup membuatnya kelelahan. Wanita itu masuk ke dalam pelukan suaminya, merasakan detak jantung lelaki nomor satu dalam hidupnya itu sedang menderu sama-sama cepatnya.

"Lelah?" tanya Rafael.

"Pernahkah aku tidak lelah saat bercinta denganmu? Kau selalu membuat kakiku sakit karena terlalu lama menahan tubuhmu." Jasmine mencubit lengan suaminya gemas.

"Kalau begitu berikutnya kita lakukan dari belakang. Jadi kau tak perlu menopangku. Atau sambil duduk di sofa seperti waktu itu?"

"Lagi? No ... Jangan! Bisa - bisa aku pingsan." Tolak Jasmine.

"Kenapa?"

"Masih sakit tahu."

"Oh ya? Bagian mana? coba aku lihat?" Rafael mengerling nakal, menggoda Jasmine.

"Jangan!" Jasmine menangkap wajah Rafael. Padahal sudah hampir satu tahun mereka berumah tangga tapi Jasmine masih malu-malu bila menyangkut masalah ranjang.

Rafael mengelus pucuk kepala Jasmine sebelum mencium nya. Mereka kembali terdiam, menikmati keindahan suara degupan jantung dari pasangannya masing-masing.

"Bagaimana proyek gambarnya?" Jasmine memecah keheningan.

"Selesai lebih cepat dari perkiraan. Aku dapat uang tiga setengah juta, ambilah untuk biaya cicilan rumah dan tagihan listrik." Rafael menjawab pertanyaan Jasmine dengan lembut.

"Ah, Andai saja aku tak terburu-buru menjual cincin kawin kita, EI. Aku tak tahu kau akan pulang lebih cepat dan membawa uang." Wajah Jasmine terlihat kecewa. Sayang sekali, cincin yang menjadi perlambang cinta mereka itu harus hilang.

"Kaukan sudah minta izin untuk menjualnya. Lagian kita memang sedang kesulitan keuangankan. Obat untuk ibu jauh lebih penting dari pada cincin itu." Rafael mengencangkan pelukannya, Jasmine merasa nyaman dalam dekapan tangan kokoh Rafael. la bisa melupakan semua masalahnya siang tadi, bahkan tak lagi peduli bila harus dipecat besok. Jasmine terlalu mencintai suaminya. Tak mungkin ia berkianat hanya demi uang yang ditawarkan oleh Leonardo.

"Maaf ya. Setelah menikah bukannya hidup bahagia kau malah semakin menderita. Aku akan coba mencari pekerjaan lagi besok," tutur Rafael

"Semua sudah pilihanku, El. Aku tak menyesal, karena aku sangat mencintaimu." Jasmine menatap wajah suaminya.

"Kenapa Jasmine? Kenapa kau bisa suka padaku? Apa yang kau lihat dari seorang lelaki pengangguran sepertiku? Jangankan kemewahan, aku bahkan tak bisa mencukupi kebutuhan hidupmu." Rafael ikut juga menatap lamat wajah cantik Jasmine.

"Jatuh cinta pada pandangan pertama, apa kau percaya akan hal itu, El? Aku Jatuh hati saat pertama kali melihatmu menggambar di dalam gereja. Saat itu kau terlihat keren! Dan jantungku begitu berdebar karenanya!" Jasmine menggigit bibirnya agak malu juga saat mengenang masa - masa itu.

"Kalau kau sendiri bagaimana? Kenapa mau menerimaku sebagai istrimu? Bukankah kau dulu begitu dingin padaku, Tuan Seniman?" cibir Jasmine. Rafael hanya tersenyum lalu mengulum bibir mungil Jasmine kembali. Melumatnya sesaat sebelum melontarkan sebuah pertanyaan.

"Kenapa, ya?"

oooooOooooo

Vote

Follow

Comment

I love you bellecious 💋💋

Next chapter