79 BROTHER'S LOVE

Hujan masih turun dengan deras, banyak kawanan burung memilih untuk bertengger pada dahan pepohonan atau pun kabel listrik yang menjulur sepanjang ruas jalan, melintang dari satu tiang ke tiang lainnya, menyalurkan listrik dari rumah ke rumah. Sebuah mobil Luxio melaju cepat menuju ke arah veterian, Regina terlihat panik saat memarkirkan mobil itu di belakang gedung miliknya.

"Bertahanlah, S!!" Regina bergumam, keringat dingin membasahi pelipisnya.

Dengan cekatan Regina membuka pintu belakang mobil dan menyeret tubuh lunglai Rafael ke dalam gedung —melewati pintu belakang. Alangkah terkejutnya Regina saat mendapati gadis kecil itu melongo di samping pintu rubana. Mata gadis kecil itu membulat saat melihat mobil yang digunakan pria bajingan untuk memperkosanya ada di depan pintu.

"Hei, jangan berteriak!! Aku sudah membunuh pria itu." Regina menaruh telunjuk di mulutnya. Gadis itu mengangguk tak jadi berteriak, tangannya mencengkram erat boneka.

"Bisa kau tolong Bibi membuka pintu besi itu?" Regina menunjuk pintu baja menuju ke dalam rubana. Gadis itu mengangguk, dengan segera tangan mungilnya bergerak mengambil tuas dan mengangkatnya sekuat tenaga.

"Ikut, Bibi ke dalam!" Regina menyuruh gadis itu untuk mengekor dirinya, tanpa ragu dan banyak bertanya gadis itu mengikuti Regina.

Regina bergegas mendorong tubuh Rafael naik ke atas meja, cepat-cepat Regina menggunting pakaian Rafael dan mengguyuran cairan alkohol ke atas tubuhnya.

"Bantu Bibi membersihkan lukanya, Nak! CEPAT!!" Regina membentak gadis kecil yang termangu saat melihat banyaknya darah dari tubuh Rafel. Regina melemparkan kasa steril, gadis itu menerimanya.

"Cuci tangan dan pakai sarung tangan dulu!!" seru Regina.

"Baik, Bi." Gadis itu bergerak cepat, ia mengeluarkan sarung tangn karet setelah mencuci tangan, lalu bergegas mengelap seluruh permuakaan tubuh Rafael dengan kasa steril.

Regina juga bergegas melepas semua pakaian kotornya, mencuci tangan sebersih yang ia bisa dan mengenakan pakaian khusus operasi. Ia mempersiapkan semua peralatan alumunium medis sendirian, mulai dari pisau-pisau bedah, section, layar monitor, ct scan, ventilator, kebetulan semua alat itu lengkap tersedia di ruang hybrid karena digunakan untuk memantau perkembangan Eric tiap hari.

Regina kembali untuk memasang selang infus masuk ke dalam pembuluh darah Rafael dan melakukan intubasi. (Alat bantu pernafasan.)

"Saline hangat." Regina memasang cepat cairan infus yang berfungsi mengganti pendarahan pasca cidera dan syok. Sebenarnya ada juga cairan infus jenis Ringger Laktat yang membantu mengganti cairan saat cidera parah. Namun Regina hanya memiliki stok Saline yang biasa ia gunakan untuk pengobatan Eric.

"Sialan syoknya terlalu berat, sepertinya aku harus membedahnya, bagaimana ini?? Tak ada dokter anastesi." Regina menekan pendarahan Rafael akibat tusukan pisau dari Leonardo.

"V ... bagaiamana keadaan S?" Tiba-tiba Albert muncul dari atas, ia menyusul secepat yang ia bisa begitu menyerahkan tubuh palsu Rafael pada pihak rumah sakit.

"Syukurlah kau datang, kita harus mengoprasi S. Sepertinya ada pendarahan dalam. Cuci tanganmu dan jadilah dokter anastesi."

"Aku??" Albert syok.

"CEPAT!! Tak ada waktu untuk berpikir."

"Ba-baik."

Sementara Albert mencuci tangan dan memakai pakaian khusus, Regina mendorong meja ke ruang hybrid, menaruh tubuh Rafael di samping tubuh kakaknya. Menghubungkan jarum transfusi dari lipatan siku lengan Eric dan menghubungkannya pada selang infus Rafael.

"Maaf Eric, hanya kau yang punya darah yang sama dengan adikmu. Maafkan aku. Aku harap kalian berdua bisa sama-sama selamat. Setidaknya tolong biarkan adikmu selamat." Regina hampir menangis saat menjalankan katup, darah Eric mengalir menuju ke pembuluh darah Rafael.

"Apa yang kau lakukan, V?" Alberth terperangah, darah Eric mengalir, berpindah pada tubuh Rafael.

"S butuh darah, ia masih bisa diselamatkan. Sementara L, kita tak tahu kapan ia akan siuman." Regina menghapus air matanya dan mulai bekerja menghubungkan semua alat pendeteksi tanda vital dengan mesin monitor. Berat rasanya, namun tak ada pilihan lain, Regina harus memilih.

"S akan menderita bila ia menerima kehidupan dengan merenggut nyawa Eric."

"Diamlah!! Aku pasti akan membuat keduanya tetap hidup!! Cepat ke posisimu, sialan!!" Regina membentak Albert, pria itu berjengit dan bergegas ke belakang kepala Rafael, ia menerima beberapa suntikan berisi cairan obat.

"Hitungan ke tiga, suntikkan warna putih. Saat tekanan darahnya menurun suntik warna hijau, bila naik suntik yang pink. Bila jantungnya mengalami perubahan denyut nadi, suntik warna biru muda. Kau mengerti??"

"Ya." Alberth hanya mengangguk, padahal ia tidak paham.

"Satu, dua, tiga, suntikkan."

Begitu anastesi disuntikkan denyut Rafael terlihat stabil, kondisi syoknya mengalami penurunan. Regina mulai bersiap untuk membuka perut Rafael.

"Kemarilah dan tolonglah Bibi, Nak! Ambilkan kasa tiap kali Bibi memintanya. Kau mengerti?" Regina menyuruh gadis kecilnya mendekat.

"Baik, Bi."

"Kau bantu aku dengan peralata ini, G!! Kau masih hapal namanya, bukan?"

"OK."

"Aku mulai, mess!"

"Mess!" Albert memberikan pisau bedah.

"Tap!" Regina meminta kain kasa untuk menahan pendarahan, ia lalu mengguyur bagian dalam tubuh Rafael dengan cairan saline hangat, membersihkan bagian dalam dari darah sehingga letak luka pendarahannya terlihat.

"Suction!" Regina mengulurkan tangan, G menyerahkan alat penyedot cairan itu. Dengan cepat Regina menyedot cairan di tubuh Rafael, lalu melihat bagian mana yang sobek.

"Aku melihat sayatannya. Aku akan menjahitnya, forsep!" Albert memberikan gunting forsep ke tangan Regina. Dengan cekatan dan gerakan tangan yang cantik Regina menjahit usus Rafael.

"Tanganmu masih sehebat dulu. Dan kau juga masih terlihat sexy saat bekerja." Albert memuji Regina.

"Jangan memujiku, kau Romo sekarang!" Regina membuat simpul jahitan. Albert sewot, Regina tetaplah wanita yang ceplas ceplos saat bicara.

"Cut!" Pinta Regina.

"Cut!" Albert memotong benang, kini pendarahan dalam itu telah berhenti.

"Aku akan menutup perutnya, bagaimana tanda vital?" tanya Regina.

"Stabil, V."

"Thanks, God. And thanks, L. Kau menyelamatkan adikmu." Regina menutup katup yang menghubungkan pembuluh darah Rafael dan Eric, ia bersyukur Eric tak sampai harus kehabisan darah dalam menolong adiknya. Sama seperti masa lalu mereka, Eric selalu berkorban demi Rafael, dan menyayanginya dengan tulus.

Dengan cekatan Regina menutup kembali perut Rafael. Ia kemudian mencari lagi bagian tubuh lain yang terluka akibat benturan kendaraan.

"Kepalanya terluka cukup serius karena terkena aspal, dan hidungnya patah karena pukulan benda keras." Regina beralih ke bagian kepala. Ia memindai lewat CT scan.

"Lalu bagaimana?" Albert melihat ke arah layar ct scan.

"Ada lebam di area ini, juga ada contras di sini, aku harap bukan pendarahan berarti, G. yang penting masa kritisnya sudah lewat." Regina mengetuk pada layar monitor datar yang memperlihatkan struktur otak Rafael. Albert tak mengerti, hanya manggut-manggut supaya tidak terlihat bodoh di depan mantan pacarnya itu.

"Baiklah! Aku harus kembali ke rumah sakit. Kita harus meyakinkan Jasmine kalau Rafael sudah meninggal." Albert melepaskan jubah oprasi dan berganti kembali ke pakaian semula.

"Baiklah," jawab Regina.

"Kau luar biasa, V!" Albert menepuk pundak Regina, wanita itu tersenyum getir di balik masker medis yang dikenakannya.

"Thanks, Nak. Kau banyak membantu Bibi hari ini." Regina juga menepuk pundak gadis kecil itu.

"Namaku Lina, Bi."

"Maukah kau menjaga rahasia ini, Lina?" tanya Regina.

"Tentu saja, Bi. Apa Bibi sudah membunuh pria itu?"

"Yeah, aku sudah membunuhnya untukmu! Tersenyumlah, Lina!" Regina mengelus pucuk kepala Lina. Gadis itu pun tersenyum.

ooooOoooo

Maaf ya bila penjelasan medisnya tidak masuk diakal. Pertama karena saya bukan dokter, Dan refrensi hanya berasal dari film dan google. Kedua ini cuma cerita karangan othor... wkwkwkwkwkkwkwk!!! Fiktif gaes, tolong jangan dianggap nyata ya, maksihhhh 🥰🥰🥰🥰

Vote please dan komment yang banyak 🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰

avataravatar
Next chapter