80 AMNESIA

Semalam berlalu setelah Rafael palsu ditetapkan meninggal oleh pihak rumah sakit. Albert kembali ke Veterian, di sana Regina tengah memantau kondisi dan perkembangan tubuh Rafael. Tubuh Rafael yang terlatih dan masih muda membuatnya mampu bertahan dalam kondisi kritis. Kini Regina dan juga Albert tinggal berharap Rafael akan segera siuman.

Regina juga melirik ke arah Eric yang terbaring kaku di atas ranjang nya tak ada pergerakan berarti dari layar monitor Eric. Tak ada juga perubahan fisik, hanya kondisi kulitnya semakin pucat karena baru saja kehilangan banyak darah. Regina memberikan suplemen tambahan pada tubuh dua temannya itu supaya mereka bisa bertahan.

"Bagaimana kondisi S, V?" tanya Albert begitu sampai, ia memberikan dua kaleng bir dan ayam goreng. Keduanya lantas duduk di bawah, bersandar pada dinding rubana yang lembab sambil mengisi perut.

"Lebih baik, dia sudah berhasil melewati masa kritis nya," jawab Regina sembari menggigit ayam.

"Bagaimana di rumah sakit? Apa yang terjadi? Ceritakan padaku, dan bagaimana juga dengan Jasmine? Apa dia sudag tahu Rafael meninggal?" Regina tampak ingin tahu, Albert mendesah panjang sebelum bercerita.

"Aku mengatakan bahwa aku hanyalah seorang saksi yang membantu korban tabrak lari, membawanya ke rumah sakit. Pihak rumah sakit, mereka mengenali pria itu sebagai Rafael dari tanda pengenalnya. Pihak kepolisian juga tidak bisa meminta keterangan apapun karena aku hanya seorang pastor yang kebetulan lewat di sana dan membantu saja." Albert menenggak birnya.

"Mereka tak melihat mobil luxio putih di depan Rs kan?" Regina ketakutan.

"Tenanglah, Aku sudah menghapus Cctv tentang keberadaan mobil itu di depan rumah sakit setidaknya kita aman sampai beberapa hari ke depan." Albert membuka ponselnya, memperlihatkan rekaman yang hilang.

"Lalu ... Bagaimana dengan Jasmine?"

"Sampai saat ini dia masih tak sadarkan diri di dalam rumah sakit. Aku menawarkan diri membantu ibunya untuk mengkonfirmasi jenazah itu sebagai Rafael. Mereka tidak tega melihat kondisi pria yang mengenaskan itu, yah, beruntung mereka masih mengingatku sebagai pastor yang memberkati pernikahan anaknya."

"Beruntunglah ibunya percaya kalau tidak bisa gawat." Regina membenamkan wajah pada lipatan siku.

"Andai pun aku tidak di sana tetap saja mereka juga tidak akan mengenalinya karena tubuhnya rusak parah. Pukulanmu terlalu keras, V, semua lebam-lebam itu akan menutupi wajahnya." Albert menaruh kembali ayamnya, nafsu makannya menghilang.

"Yah mau bagaimana lagi, aku harus membuat nya seakan-akan ia benar terluka sama seperti S atau Leonardo akan curiga. Menilik dari situasinya. Pria itu pasti akan menyelidiki apakah Rafael benar-benar telah mati di rumah sakit."

"Kau benar, Sungguh mengerikan bagaimana orang sepertinya bisa mengejar S? Bahkan S merasa tidak mengenalnya. Lalu apa tujuannya? Sampai saat ini aku juga masih bertanya-tanya." Albert menatap nanar tubuh sahabatnya yang terbaring tak sadarkan diri.

"Jasmine, pria itu pasti mengejar Jasmine." Regina menenggak sekaleng bir sampai habis.

"Bagaimana kau tahu?"

"Hanya tiga hal yang bisa membuat pria melakukan hal gila, tahta, harta, dan wanita. Leonardo punya tahta dan harta, hanya wanita yang dia inginkan dan kebetulan Rafael memiliki nya."

"Bisa jadi sih, siapa yang tidak menyukai wanita secantik Jasmine? Hanya Rafael yang bodoh karena menyia-nyiakan cinta istrinya," cerca Albert.

"Jadi bagaimana selanjutnya? Kita tak mungkin membiarkan identitas pria itu terbongkar. Kita harus menyelidiki siapa pria itu dan bagaimana kehidupannya?!" Regina merasa sebal karena perbuatan mereka kali ini pasti menimbulkan jejak.

"Aku sudah melakukannya tanpa perlu kau suruh. Kita beruntung, V. Dia adalah seorang anak tunggal, ibunya berada di panti jompo. Dia membuka kafe itu dengan pinjaman bank. Saat ini dia terlilit hutang bank yang cukup besar karena kondisi cafe yang sedikit sepi akibat perubahan ekonomi. Kita bisa menjual kafe itu dan membayarkannya kepada bank. Untuk sementara S bisa hidup menggunakan identitas pria itu." Albert menceritakan panjang lebar prihal kondisi pria pengganti Rafael.

"Dan kita bakar atau tenggelamkan saja mobilnya untuk menghilangkan jejak." Tambah Albert.

"Yeah boleh juga idenya, lagi pula pria itu memang tidak layak hidup." V bangkit berdiri.

"Setelah S sadar apa yang akan kita lakukan? Apakah dia akan menerima semua ini? Rafael sepertinya mulai mencintai Jasmine." Albert ikut bangkit.

"Dasar pria itu!! Di saat seperti ini dia baru mencintai wanita itu, ke mana saja dia dulu?!" Regina melipat tangan, bersedekap di depan dada.

"Entahlah aku juga tak tahu bagaimana harus menjelaskan padanya! Yang penting kita berdo'a agar dia bisa sadar. Kita pikirkan hal lainnya nanti, termasuk tentang King." Albert menggaruk kepalanya.

"Kau benar. Tanpa S kita juga tidak akan bisa membunuhnya." Regina menempelkan tangannya ke dinding kaca ruang hybrid.

ooooOoooo

Genap 40 hari berlalu pasca kejadian itu, Rafael akhirnya menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Jarinya bergerak-gerak, matanya mulai bergerik di dalam kelopak. Hal membahagiakan ini membuat Regina tersenyum bahagia.

Secepatnya Regina menyuruh Albert untuk datang menemuinya di veterian. Tanpa pikir panjang pastor itu bergegas menemui sahabatnya.

"Pelan-pelan saja, S. Kau baru saja terbangun dari koma." Regina membantu Rafael duduk.

"Aku haus sekali, V." Rafael terlihat pucat, bibirnya kering dan pecah-pecah.

"Ini, minum, sedikit saja. Kau baru saja terbangun dari tidur yang sangat panjang. Jangan sampai organmu kaget." Regina membantu Rafael meminum airnya, sececap demi sececap.

"Apa yang terjadi padaku, V? Di mana aku?" Rafael menatap wajah Regina ingin tahu. Regina mengeryitkan dahinya bingung.

"Kau tak mengenali tempat ini? Kita pindah ke Ibu kota hampir tiga tahun lalu." Regina terperangah. Albert yang baru saja datang juga terlihat syok saat mendengarnya.

"Kepalaku pusing sekali, sebenarnya ada apa denganku? Kenapa aku terbangun dengan kondisi seperti ini?" Rafael memijit pelipisnya, tubuh terasa berat dan kepalanya terus berputar.

"S, Kau sungguh tidak ingat apa pun?" Regina menutup mulutnya tak percaya.

"Lalu apa yang terakhir kau ingat?" Albert berusaha bertanya.

"Terakhir aku ingat kita kalah dan Kak Eric koma. Kita bertekat harus membalaskan dendam pada King." Rafael mengusap dahinya, ia juga terlihat bingung seakan semua itu sudah berlalu sangat lama, tapi Rafael sungguh tak mengingtnya.

"Itu kenangan hampir 11 tahun lalu, S!" Regina menghela napas panjang.

"Hah?? Benarkah?? Lalu bagaimana keadaan kakakku?" Rafael terperanjat.

"Eric baik baik saja, meski pun belum menunjukkan tanda-tanda adanya perubahan pada tubuhnya." Regina memperlihatkan Eric yang berbaring di samping Rafael.

"Sudah 11 tahun?" Rafael melongo.

"Kau sungguh tidak mengingatnya, semua yang terjadi selama 11 tahun ini?" Albert menelan ludahnya berat.

"Kalian bicara apa sih? Ceritakan saja kepadaku kenapa aku bisa jadi seperti ini? Kenapa mesti memaksaku mengingatnya? Kepalaku bisa pecah karena pusing!!" Rafael mendengus kesal.

"Jasmine apa kau ingat nama itu?" Albert menatap intens pada Rafael.

"Siapa itu? Apa hubungannya denganku?" Rafael terlihat bingung.

"Sungguh kau tidak mengingatnya?"

"Haruskah?" Rafael terlihat semakin bingung.

"Jangan memaksanya, G. Dia baru saja terbangun dari koma." Regina menahan bahu Albert lalu bergeleng.

"Baiklah, kau istirahat saja. Kami keluar dulu." Albert setuju, ia mengajak Regina keluar.

Albert bersitatap dengan Regina, mereka masih tak percaya bahwa Rafael melupakan semua kenangannya selama sebelas tahun belakangan. Ia bahkan melupakan tentang Jasmine istrinya.

"Lebih baik kita menyembunyikan semua hal tentang Jasmine, V," usul Albert.

"Kau benar. Kita tak boleh membiarkan S terluka lagi hanya karena wanita itu saat ini." Regina menggigit ujung kukunya.

"Juga tentang King. Kita tak bisa memberitahukan S saat kondisinya masih belum stabil. Salah-salah justru S yang dibantai olehnya. Aku akan menyelidiki perusahaan Wijaya pelan-pelan. Dan juga King." Albert mengelus lengan Regina.

"Ah, semuanya kembali lagi ke titik awal. Aku kasihan pada. S." Regina melirik ke arah Rafael yang kembali terbaring di atas ranjang.

"Aku justru berharap dia melupakan Jasmine. Karena perasaan hanya akan membuatnya terluka dan tak lagi berpikir rasional. Semua hal ini juga terjadi gara-gara Jasmine bukan?" Albert menundukkan kepalanya sambil berkacak pinggang. Tak pernah mereka kira kalau Rafael akan terbangun dalam kondisi amnesia. Entah ini merupakan kesialan atau keberuntungan? Yang pasti mereka bersyukur bahwa Rafael masih hidup.

ooooOoooo

Oh, Eeellllll

Terharu aku tuh 😭😭😭😭😭😭

avataravatar
Next chapter