1 Kupu-kupu

Daun masih sangat basah untuk disentuh, tapi cahaya merah itu sudah tiba. Nana memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya, ia tidak sabar ingin melihat kupu-kupu di kebun belakang rumah. Sarapan sudah tersaji di atas meja makan sebelah dapur, tepatnya hanya berjarak enam langkah dari pintu belakang. Sarapan yang sangat menggoda lambung dan kerongkongan untuk seorang gadis kecil yang baru saja bangun dari tidur. Namun Nana tidak sedang lapar, ia terus melangkah menuju pintu belakang, ia hanya ingin melihat kupu-kupu pagi itu.

Hari minggu yang cukup cerah, mungkin semalam sedikit gerimis sehingga bias spektrum cahaya matahari tampak lebih jelas dari biasanya. Dua ekor kupu-kupu putih dan kuning melintas tepat diatas kepala gadis mungil itu, lalu melesat dan hilang dibalik semak dan pepohonan kakao. Nana tersenyum dan memutuskan untuk terus berkeliling kebun, ada sesuatu yang ia cari. Ternyata bukan hanya kupu-kupu. Nana pernah mendengar cerita dari nenek tentang asal muasal kupu-kupu. Ya, ulat dan kepompong.

Nana sangat penasaran bagaimana bisa seekor ulat yang mungkin menggelikan atau bahkan menjijikan bisa berubah wujud menjadi sesosok benda hidup terbang dengan warna-warni yang begitu mengagumkan. Langkah demi langkah ia telusuri kebun milik ayahnya tersebut, tapi Nana tidak menemukan satu pun kepompong pagi itu.

"Mungkin kepompong memutuskan untuk cuti dihari minggu dan mengubah diri menjadi kupu-kupu sehari sebelumnya?" Pikir gadis kecil yang sangat penasaran itu.

Tidak baik memang seorang gadis kecil bermain di kebun seorang diri pagi hari. Bagaimana jika ia terpeleset disemak-semak? Atau sandalnya bisa saja terlepas karena tersangkut oleh tumbuhan jalar dan tak sengaja ia pun menginjak duri? Nenek tiba-tiba muncul dari belakang gadis itu, lalu meraih tangannya dan mengajaknya kembali masuk ke rumah untuk segera mandi lalu sarapan pagi. Memang, sejak hari pertama Nana menyapa alam semesta ini, ia sudah tinggal bersama nenek. Ibunya meninggal berapa menit sebelum ia dilahirkan dan memaksa dokter untuk melakukan operasi bedah. Sedangkan ayahnya, pergi entah kemana meninggalkan rumah, kebun, juga apa yang disebut keluarga sejak Nana masih berumur enam bulan di rahim ibunya. Tapi, itulah yang mungkin dinamakan takdir, sesuatu yang harus diterima.

Sebagai gadis kecil berumur lima tahun, sudah sewajarnya jika anak-anak mulai mengajukan banyak pertanyaan untuk hal-hal asing yang ia belum mengerti. Seperti bagaimana siklus hidup kupu-kupu? Misalnya. Atau bagaimana cara mencuci tangan tanpa harus membuat tangannya basah? Nenek mungkin telah mengajarinya banyak hal, dan kemungkinan ini adalah tahun pertama ia akan masuk taman kanak-kanak dan belajar lagi banyak hal. Bibi Meng dan paman Sam berjanji akan mengurus biaya pendidikannya hingga ia tumbuh dewasa.

Waktu berjalan begitu cepat, Nana melewati hari-harinya dengan belajar, bermain dan bertanya tentunya. Masih di taman kanak-kanak, hari ini Ibu guru memperlihatkan gambar seekor ulat, kepompong dan kupu-kupu kepada belasan anak-anak termasuk Nana diantaranya. Nana cukup terkejut mengetahui bahwa ternyata kepompong tak seindah yang ia bayangkan, juga benda itu tidak bisa bergerak dan entah mengapa ia membungkus diri? Tapi setidaknya ia lega setelah melihat gambar itu meski secara nyata ia belum pernah melihatnya. Nana sangat tidak sabar untuk bermain ke kebun siang nanti setelah pulang sekolah.

Lonceng kecil berukuran seperti gelas teh berdenting dari meja ibu guru, menandakan saatnya berdoa sebelum pulang. Tampak nenek sudah menunggu didepan gerbang sekolah dengan payung berwarna hijau. Bukan karena takut terkena panas matahari dibawah langit katulistiwa, hanya saja Nana menyukai payung itu, warna favoritnya. Berteduh dibawah payung hijau adalah sebuah ketenangan baginya. Nenek pun paham akan hal itu, anak-anak biasanya menyukai sesuatu berdasarkan lingkungannya. Pergi bermain ke kebun dengan segudang pertanyaan adalah hal yang paling Nana sukai, dan payung berwarna hijau  merupakan benda yang sangat sejalan dengan itu.

Setelah pulang dan makan siang, Nana mulai beraksi mencari jawaban yang lebih memuaskan dari hanya sekedar melihat sebuah gambar. Dan juga tampak nenek sedang menyiapkan alat untuk berkebun, sepertinya ia hendak menanam bibit cabai.

"Nek, ini adalah kepompong yang pernah nenek ceritakan dan juga ibu guru perlihatkan digambar saat disekolah!" Teriak gadis kecil itu sambil berlari menghampiri neneknya yang sedang sibuk menanam bibit cabai.

Namun alangkah terkejutnya sang nenek saat melihat tangan cucunya memegang kepompong itu.

"Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu lakukan cung?" Tanya sang nenek.

"Ya, aku menemukan kepompong dan ini sangat lucu, ia hampir tidak bergerak kecuali bentuk bulat diujung benda ini sedikit bergerak ketika aku mulai menekan bagian tengahnya." Jawab Nana dengan penuh semangat.

"Butuh waktu belasan hari untuk seekor kepompong dapat berubah menjadi kupu-kupu. Ia sedang tidur dan mencerna dirinya sendiri dengan enzim tertentu lalu berharap sel pada tubuhnya akan terpecah dan membuatnya berubah bentuk sesuai dengan apa yang disebut kodrat alam." Ujar sang nenek sambil tersenyum ke cucu kesayangannya.

"Namun kamu telah mengambilnya dari daun tempat ia bersembunyi, kini ia tak lagi menempel ditempat yang seharusnya. Kamu tahu gadis kecil? Ini kemungkinan akan menjadi proses metamorfosis yang gagal, kepompong yang kamu pegang itu kemungkinan akan membusuk dan mati. Lain kali, jika menemukan kepompong, cukup dilihat saja dan jangan disentuh ya sayang!" Lanjut nenek kali ini dengan dengan sedikit menasehati.

Mendengar pernyataan kedua dari sang nenek, Nana pun hanya terdiam dengan pupil bola mata yang tampak sedikit melebar.

"Tapi, tapi kan....Aku tidak tahu nek. Umurku baru lima tahun, dan seumur hidup aku baru mendengar kata metamorfosis sebanyak dua kali. Dan aku masih tidak tahu apa itu artinya. Semudah itukah benda yang aku pegang ini akan segera mati?

"Jika ia mati, lalu sesuatu yang menggerakkan benda ini barusan apa nek? Apa ia seperti senter tua yang kehabisan baterai lalu nenek menggantinya dengan baterai baru supaya ia menyala lagi?

"Jika ia memang begitu, lalu kemana perginya ibu setelah mati nek? Kenapa tidak ada yang melakukan sesuatu pada ibu seperti yang nenek lakukan saat mengganti baterai senter?

"Lalu kemana ayah nek? Apa ia juga mati? Kalau ayah juga sudah mati, lantas kenapa kita hanya berdoa untuk ibu saja nek?" Rentetan pertanyaan keluar dari mulut si gadis kecil yang polos dengan wajah muram serta mata yang mulai berlinang.

"Cucuku yang cantik, setiap mahkluk yang bernyawa itu punya ruh, dan mati adalah proses ketika ruh dicabut dari tubuh, lalu ia tidak akan dapat kembali lagi ke tubuhnya. Itu adalah hal yang sangat berbeda dengan benda mati seperti senter atau pun baterai.

"Ibu mu sama seperti ulat yang lembut itu, membungkus dirinya lalu melahirkanmu. Ulat harus kehilangan dirinya untuk dapat melahirkan kupu-kupu cantik yang dapat terbang bebas. Nah, kupu-kupu cantik itu kini ada didepan nenek sekarang, nenek telah memberinya nama Nana." Ujar nenek mencoba menenangkan sekaligus menjawab pertanyaan sang cucu.

"Nenek bohong, iya kan nek?" Balas Nana dengan rasa kecewa.

"Kenapa nenek masih hidup setelah ibu lahir? Lalu nenek juga masih hidup bahkan setelah ibu melahirkanku? Apa nenek dari ulat yang berbeda? Aku ingin tahu nek, ulat jenis apa itu? Dan kupu-kupu macam apa aku ini?"

Mendengar komentar sang cucu, nenek hanya terdiam dan menyadari bahwa cucunya punya tingkat pendekatan emosional yang tinggi. Untuk anak-anak seumuran lima tahun, ia terlalu banyak mengajukan pertanyaan. Namun sesuatu harus segera diluruskan!

"Kamu sudah tumbuh berkembang dengan baik selama lima tahun ini, kamu menjadi anak-anak yang punya kepekaan terhadap segala hal-hal disekitarmu. Kepalamu dijejali jutaan pertanyaan yang bahkan kamu sendiri pun belum cukup mengerti mengapa dan untuk apa pertanyaan itu muncul?

"Teruslah tumbuh dan berkembang menjadi gadis yang baik dan beruntung!

"Kelak, kamu akan mendapat jawaban dengan sendirinya seiring bertambahnya umur dan berjalannya proses hidupmu.

"Tapi sebelum itu semua terjadi, mau kah cucu cantik ku membantu neneknya menyelamatkan kepompong malang ini dari seleksi alam yang menyakitkan? Sangat mudah, jauh lebih mudah dari pada mengganti baterai pada senter tua." Rayu sang nenek pada cucunya.

"Hah? Kepompong ini masih bisa diselamatkan nek?" Tanya Nana dengan harapan.

"Kemungkinan masih bisa, kamu hanya perlu mengambil toples kaca tanpa tutup, masukan beberapa dedaunan didalamnya, letakan ia seolah-olah kamu sedang hendak merebus telur. Gantung toples itu diantara ranting pohon yang rindang.

"Kamu juga harus sesekali perhatikan dan jaga ia agar baik-baik saja dari predator yang hendak mengganggunya. Pastikan juga ia tidak ganggu oleh semut-semut yang nakal itu. Ingat, kamu dulu pernah menangis saat ia pertama kali menggigitmu dikebun ini." Ungkap sang nenek menjelaskan.

"Baik nek, akan aku lakukan." Jawab Nana sambil mengusap air matanya yang mungkin sudah terjatuh lebih dari lima belas tetes.

Nana pun menuruti apa yang dikatakan neneknya. Diumur lima tahun, ia telah belajar apa yang disebut dengan sebuah harapan. Tak berbeda dengan anak-anak lain seumuran dengannya, biasanya anak-anak diajarkan mengenal harapan dengan ditanyai apa cita-cita mereka setelah dewasa kelak. Ya, meski itu hanyalah sebuah kemungkinan. Atau bisa juga kemungkinan dari segala kemungkinan seperti kemungkinan tak terhingga. Sesungguhnya, Tuhan lah yang memegang kendali atas segalanya. Ya, segalanya kemungkinan itu.

avataravatar
Next chapter