12 Krisis Pangan

Malam itu Nana menatap indahnya langit yang bertaburan bintang. Ia tampak sedang duduk di tempat favoritnya, teras lantai dua rumah paman Sam. Akhir-akhir ini, gadis itu lebih suka menghabiskan malam Minggu menginap di rumah pamannya. Berbekal selembar koran yang baru saja ia baca sore tadi, Nana mencoba mempelajari rasi bintang. Tampaknya itu adalah koran cetakan edisi Sabtu Zodiak yang membahas banyak hal mengenai bintang serta hubungannya dengan kehidupan manusia.

Itu pasti koran milik bibi Meng, karena hanya bibi Meng yang menyukai banyak hal mengenai astronomi terlebih itu memang bagian dari pekerjaannya. Berbeda dengan paman Sam yang hampir setiap Minggu pergi keluar kota mengurus perkebunan. Seperti yang ia ketahui bahwa pamannya adalah seorang pengusaha sukses yang punya ratusan hektar lahan perkebunan sawit dan tebu. Namun akhir-akhir ini paman jauh lebih sibuk karena ia mulai melakukan ekspansi perusahaannya untuk membuka lahan pertanian dan mulai menanam jagung.

Saat sedang asik membolak-balik koran yang ia pegang, tiba-tiba Nana dikejutkan oleh cahaya terang jauh dibalik bukit belukar. Itu terlihat seperti cahaya api yang menyala, membuat lebih terang langit malam. Sontak Nana pun berdiri dan bertanya dalam hati "Apa sedang terjadi kebakaran lahan?".

"Itu pasti ulah petani tebu!" Celetuk bibi Meng yang baru saja naik menghampiri Nana.

"Bibi?" Nana menyapa.

"Apa yang dilakukan petani tebu bi?" Lanjut Nana bertanya.

"Petani tebu yang menyebabkan kebakaran itu sayang. Ladang pasti sengaja dibakar untuk bisa memanen tebu dengan cara praktis." Jawab bibi Meng.

"Hah? Ladang sengaja dibakar?" Nana terkejut sekaligus tidak mengerti maksud ucapan bibinya.

"Panen tebu bakar sayang, kebakaran yang terjadi itu memang disengaja oleh mereka. Sebuah cara kotor oknum petani untuk bisa memanen tebu tanpa harus repot memangkas dedaunan.

"Cara tersebut memang tergolong lebih murah dan hemat biaya, tapi itu melanggar hukum karena merusak lingkungan dan mengganggu ketertiban umum." Tutur bibi Meng geram.

"Apa tidak ada yang menghalanginya bi?" Nana bertanya lagi.

"Mereka sengaja membakarnya dimalam hari, lalu pura-pura tidak tahu kalau ladang sedang terjadi kebakaran. Sebenarnya badan pengawas lingkungan sudah sering mengedukasi mereka supaya tidak lagi membakar ladang untuk panen, namun masih banyak oknum petani yang bandel.

"Lihat saja besok akan ada polisi yang mencari siapa dalang dibalik kebakaran itu, dan mereka harus bertanggung jawab sesuai hukum." Lanjut bibi dengan nada kesal.

"Apa paman Sam juga melakukan cara yang sama saat memanen tebu bi?" Nana yang polos mulai khawatir.

"Tidak sayang, pamanmu bukanlah orang yang egois mementingkan isi perutnya sendiri. Semua perkebunan sawit dan tebu miliknya memiliki izin serta dikelola sesuai dengan standar lingkungan hidup. Jika ada indikasi bahwa itu akan melanggar, bibi pasti langsung meluruskan." Jawab bibi sambil tersenyum.

Nana pun terdiam dan kembali menoleh ke arah cahaya terang tersebut, lalu muncul rasa khawatir yang lebih dalam setelah ia teringat lagi akan obrolannya bersama Beni saat membahas tentang krisis pangan.

"Apa yang akan terjadi setelah kebakaran itu bi?" Nana melanjutkan perbincangan.

"Untuk satu atau dua kali mungkin tidak ada pengaruh yang terlalu signifikan terhadap lingkungan. Mereka, para petani tebu terkadang tidak merasa bersalah. Namun jika dilakukan terus-menerus secara masif maka akan berdampak besar dan serius pada kualitas udara sayang.

"Apalagi ini masuk musim kemarau, dapat dipastikan akan menyebabkan kabut tebal yang mengganggu penerbangan, mengganggu aktifitas sehari-hari warga. Tidak ada bedanya dengan kebakaran hutan." Jawab bibi Meng.

"Lalu adakah dampaknya untuk ekosistem dalam jangka panjang bi? Maksudku apa ada hubungannya dengan krisis pangan yang akan terjadi dimasa depan bi?" Nana bertanya lagi.

"Krisis pangan?" Bibi terkejut dengan pertanyaan gadis kecil itu.

"Apa yang telah membawamu untuk khawatir akan hal itu sayang?" Bibi bertanya balik.

"Aku telah belajar banyak cara menanam sayur bersama nenek, belajar banyak mengenai fenomena alam dari bibi. Dengan semakin banyaknya kerusakan ekosistem yang telah terjadi, menurutku krisis pangan adalah hal yang wajar jika akan terjadi dalam beberapa puluh tahun kedepan.

"Menurut berita di televisi, para astronom sibuk mencari rumah baru untuk kita. Apa semua itu benar bi?" Ujar Nana meluapkan ke khawatirannya.

"Hmmm..Krisis pangan mungkin saja akan terjadi dimasa depan. Namun hal tersebut tidak sepenuhnya bisa dibilang benar. Ada banyak indikator yang harus ditelaah untuk menentukan sebuah kesepakatan apakah itu sebuah krisis atau hanya kekurangan yang wajar.

"Maksud bibi, jika sebuah krisis itu ibarat luka, pasti ada indikator atau tolak ukur yang secara resmi menyebut itu sebagai sebuah luka. Seperti otakmu yang mengirim sinyal rasa sakit saat jarimu terkena silet.

"Pun jika luka betul terjadi, pasti akan ada obat yang bisa membuatnya menjadi sembuh. Krisis keuangan amerika pada tahun 2008 misalnya, hal yang begitu mengerikan bisa kembali pulih dengan adanya formula atau obat dalam menyembuhkan luka tersebut.

"Selain itu, kamu tahu kan bahwa luka sebenarnya bisa dicegah dengan meminimalisir kemungkinan-kemungkinan resiko yang akan terjadi? Misalnya, jika Nana tidak ingin kakinya terluka karena tertancap sebuah duri di kebun belakang rumah, maka Nana harus meminimalisir resiko dengan menggunakan sepatu boot atau setidaknya alas kaki yang aman." Jawab bibi Meng menanggapi pertanyaan keponakannya.

"Hmm...Berarti krisis pangan pun bukan hal yang pasti ya bi. Sekalipun itu kemungkinannya besar, tetap masih bisa dicegah?" Lanjut Nana bertanya.

"Betul sayang. Tapi selama para petani tebu masih membakar lahan sebagai cara untuk panen, ini sangat bertolak belakang dengan pencegahan krisis pangan yang kamu khawatirkan." Ujar bibi kembali geram dengan para oknum petani tebu yang nakal.

"Baiklah, anggap saja para petani itu sadar dan menyesali perbuatannya. Lalu mengapa para astronom masih sibuk mencari rumah baru untuk kita tinggal? Kan bibi sendiri bilang kalau luka bisa disembuhkan?" Nana semakin larut dengan keresahannya.

"Luka memang bisa disembuhkan sayang. Tapi kita tidak pernah tahu apakah akan ada indikasi luka lain yang akan muncul? Maksud bibi, krisis pangan hanyalah satu dari sekian kemungkinan masalah yang ada di bumi ini. Masih ada banyak masalah yang dikhawatirkan oleh umat manusia. Seperti melelehnya es di kutub selatan dan utara, misalnya. Munculnya virus dan penyakit yang sangat sulit disembuhkan karena penyebarannya yang cepat, atau aktifitas alami bumi sendiri yang memang sebetulnya sudah tua, seperti bencana alam vulkanis atau pergeseran lempeng tektonik yang merubah permukaan bumi secara masif dan tentunya itu menyebabkan bencana yang menelan banyak korban.

"Pun selain dari kekhawatiran itu, bukankah memang sudah seharusnya bahwa ilmu pengetahuan tetap harus dikembangkan? Menjelajah di luar angkasa lalu menemukan banyak hal menakjubkan bukankah itu sebuah anugerah? Memotret horizon peristiwa lubang hitam misalnya, atau menemukan adanya bakteri yang hidup di cincin Saturnus? Memahami mengapa tidak ada satu pun besi yang berkarat di permukaan bulan?

"Jawaban paling umum dari pertanyaan mengapa mereka berusaha menjelajah mencari rumah baru juga tidak terlepas dari pertanyaan 'Apakah kita makhluk bumi, merupakan satu-satunya makhluk tunggal yang hidup di alam semesta yang tak terhitung luasnya ini? Apakah kita manusia sebagai satu-satunya makhluk cerdas yang eksis di antara jutaan tata surya?' Sesuatu pertanyaan yang sangat menarik untuk mendapatkan jawabannya bukan?" Tutur bibi begitu panjang ia menjelaskan pada Nana.

"Wah, aku mulai paham. Tapi krisis pangan tetap menjadi perhatian yang tidak boleh dikesampingkan. Aku benci jika suatu hari dimasa depan tidak ada lagi selai kacang yang lezat karena tidak ada lagi manusia yang menanam kacang tanah.

"Atau karena pemanasan global membuat es di kedua kutub mencair habis-habisan, bisa dibayangkan kalau itu terjadi maka hampir sepertiga dataran bumi tenggelam. Siapa yang akan menanam biji kacang tanah di atas bebatuan gunung?" Ujar Nana menanggapi penjelasan bibinya.

Bibi Meng terdiam mendengar tanggapan sang ponakan yang cerdas itu. Ia jadi teringat akan dirinya pada saat masih remaja dahulu. Dulu ia ikut dalam sebuah komunitas pecinta lingkungan yang kerap terjun langsung ke lapangan dalam rangka membantu banyak korban bencana alam seperti banjir, tanah longsor hingga gempa bumi dan gunung meletus. Dulu ia sama seperti keponakannya yang begitu khawatir akan keberlangsungan hidup manusia di bumi. Lalu ia pun menghampiri keponakan kesayangannya, berjongkok dan memegang pipi gadis kecil itu.

"Nana sayang, kamu mungkin khawatir akan adanya krisis pangan yang mungkin terjadi dimasa depan. Itu sebuah hal yang baik, kesadaran yang tidak dimiliki oleh kebanyakan anak-anak seumuranmu. Namun ada hal yang harus kamu ketahui sebelum kekhawatiran mu itu berlanjut menjadi sebuah ketakutan yang amat larut." Ujar bibi kepada Nana yang hanya terdiam saat pipi kanannya disentuh.

"Apa itu bi?" Nana penasaran.

"Jika kamu ingin menyelamatkan sebatang tebu, maka kamu harus selamatkan tanahnya terlebih dahulu." Tutur bibi sembari tersenyum.

"Maksudnya bagaimana bi? Nana tidak mengerti." Jawab gadis kecil itu dengan muka polos karena bingung.

"Maksud bibi, kamu tidak perlu untuk langsung masuk kedalam inti masalah. Dengan mengerti sebab akibat dari permasalahan, maka kamu akan dengan mudah menarik kesimpulan serta tahu apa yang akan kamu lakukan." Lanjut bibi menjelaskan.

Nana menggaruk kepala sedikit bingung dengan apa yang dimaksud oleh bibinya. Namun bukan Nana namanya jika ia tidak dapat memahami analogi dari bibi yang sejak kecil adalah guru terbaiknya dalam belajar banyak hal mengenai fenomena alam di dunia ini. Beberapa detik kemudian Nana pun berkata;

"Baiklah, aku tahu apa yang akan aku lakukan!"

avataravatar
Next chapter