"Menjauh karena kenyataan telah menampar hati meskipun enggan, kamu tetap pernah singgah walaupun sebentar," -Juna
🍁🍁🍁
Rey, Wildan, Galang dan Faris memeriksa semua bukti pembunuhan Cica kepada Agung Poniman.
Di ruang kerja Antariksa, tepatnya di tingkat dua, luas, sejuk, dan nyaman.
"Bagaimana? Apa semuanya sudah lengkap?" tanya Antariksa melihat jepretan foto barang bukti, rumah kosong, hingga video pengakuan Cica.
Rey mengangguk. "Siap bos,"
"Semuanya lengkap," tambah Wildan.
"Bagus. Besok, Juna akan tau. Pasti akan menjauhi Laura. Sertakan juga, bukti dimana Cica membunuh ibu saya saat pengambilan rapot itu," tambah Antariksa, sudah banyak foto, video, hingga rekaman CCTV di rumahnya pada saat itu. Dan Juna, akan percaya jika bukti itu nyata dan benar-benar ada, bukan sekedar tuduhan saja.
🍁🍁🍁
Peristiwa dimana menyalin PR secepat kilat dengan tulisan khas ceker ayam mungkin berlaku bagi yang malas, terutama Matematika.
Radit, Adit, Sam dan Alvaro saling berebut buku tulis Satya. Hanya cowok itu yang paling cerdas dalam hitung-menghitung, idaman untuk semua cewek, apalagi pandai Akuntansi. Paket komplit sudah.
"Heh, tadi yang minta siapa? Gue lah!" Sam melindungi buku Satya, ketiga cowok itu berdecak kesal dengan tingkah Sam yang seperti anak kecil.
"Sam! Bentar lagi bel. Gak lucu ah, kalau pak Khomsin tiba-tiba datang. Siniin Sam, kan bisa di taroh tengah gini," Alvaro turun tangan, meletakkan buku Satya di tengah-tengah agar semuanya terbagi rata menyalin PR Matematikanya.
"Buruan!" Jaka si kompor, semakin membuat suasana panas dingin. Sam yang bermodalkan pensil saja dan tiba-tiba patah pun berteriak kesal.
"Arghh! Kenapa harus gini! Teganya kau wahai pensil!" teriak Sam dramatis. Melihat Radit yang hampir selesai, ia mengambil alih pensil Radit dengan teganya.
"Heh! Pensil gue! Siniin Sam! Dikit lagi kelar nih!" tangannya meraih pensil Sam, namun cowok itu selalu menghindar mengamankan pensilnya.
"Lo aja mau selesai, lah gue? Baru nomer tiga nih!" kesal Sam, dengan gerakan jurus menyalin secepat ceking saja, Sam tak peduli tulisannya naik-naik ke puncak gunung.
"Ribut lagi, gue ambil," ancam Satya dingin. Akhirnya diam, Satya tak pernah main-main dengan ucapannya. Entah bagaimana dengan janjinya pada seorang cewek kelak.
Penghuni SEBELMA berhamburan ke tempat duduknya. Sudah di pastikan pak Khomsin masih dalam perjalanan menuju kelas.
"Orangnya mau datang tuh," lapor seorang cowok yang duduk di depan wilayah pintu masuk, ia selalu menjadi tugas mengawasi kehadiran guru.
"Punya nama juga kali,"
"Ya, lupa lah," terkadang lupa manusiawi, terutama nama. Pernah kenal, tapi tidak tau siapa.
Pak Khomsin memasuki kelas.
"Selamat pagi. Kumpulkan PR-nya. Kalau ada yang ketauan masih menyalin, silahkan lari 10 putaran halaman sekolah," sambutan pak Khomsin selalu to the point akan tigas hari itu juga.
Para siswa SEBELMA mengumpulkan PR Matematikanya. Sebelumnya sudah di cek jika itu buku Matematika, bukan buku es campur yang terdiri dari semua pelajaran bersatu padu. Bisa kena omel lagi.
Pak Khomsin menghitung keseluruhan jumlah siswa per-kelas yang sudah semestinya, yaitu 36.
"Lengkap. Kalian sangat tepat waktu sekali. Khusus yang menyalin jawaban temannya, apa sudah faham?" tanya pak Khomsin dengan sindiran halusnya. Asal menyalin tapi teori dan caranya tidak faham.
Tak ada yang berani menjawab.
"Sudahlah, lagian nanti keliatan pas ulangan,"
Sam menggela nafas lega. "Fyuh, untung aja gue pinter," ucapnya percaya diri sekali. Tidak bercermin dulu siapa pusat contekannya.
"Halah, gak usah ngaku-ngaku lo," ucap Jaka sedikit keras, pak Khomsin menatapnya.
"Siapa yang ngaku-ngaku Jaka?"
Sam menggeleng. "Gak kok pak. Ini, Jaka bawa pulpen gel tapi tintanya gambar Dora, gak mau ngaku pak," adu Sam nyeleneh. Demi keamanan dan ketentraman, Jaka itu suka keceplosan. Sam ingin meng-ojekkan Jaka pulang saat itu juga, daripada membuat dirinya adem panas awakku gara-gara kamu 🎵
"Sudah-sudah. Mari kita mulai pelajaran di bab selanjutnya,"
🍁🍁🍁
Sam langsung memesan dua mangkuk mie ayam.
"Ya ampun, gue kayak kelaperan aja ya. Pokoknya nih, habis pelajaran Matematika, mesti laper," curhat Sam. Nyatanya tak ada yang mendengarkan. Mereka sibuk dengan makanannya masing-masing.
Tak ada sahutan, Sam menangis bohongan. "Hiks, kalian tega," ucapnya manja.
Satya sampai merinding di buatnya. "Siapa sih tadi yang ngomong?"
"Hush, itu kayaknya dunia lain Sat. Jangan di ganggu," jawab Radit dengan lugunya. Sam ingin sekali mencubit pipi Radit kesal.
Laura, Bram dan Raka duduk di meja yang bersebelahan dengan geng METEOR.
"Ra, kamu mau makan apa? Biar aku yang bayarin," tawar Raka sok baik. Ada misi tersembunyi di balik sifat sok baiknya ini, demi Tiara. Apapun permintaan gadis yang ia sukai semenjak kelas 10 itu akan ia patuhi.
"Samain aja kayak Bram biasanya," jawab Laura dengan senyum tipisnya. Akhirnya ia bisa bersekolah, namun terikat perjanjian bersyarat dengan sang ibu. Menjauhi Juna, dan mencari pacar anak orang kaya. Asalkan bukan anak dari keluarga Antariksa itu.
"Oke," Raka berlalu menuju stan bakso.
"Ra, kok kamu bisa sih gak bawa buku sama sekali tadi?" tanya Bram membuka pembicaraan. Sedari tadi saat pelajaran pertama hingga istirahat, Laura tak banyak bicara. Mengangguk dan menggeleng bak lagu burung kutilang saja.
Raka datang dengan nampan manguk bakso berjumlah 3.
"Eh, maaf ya Rak kalau ngerepotin," ujar Laura tak enak. Raka mengangguk dengan senyum manis asem gula jawanya.
"Gak papa kok. Kan kita sahabat, ya gak?" Raka menatap Laura dan Bram.
"Yoi," sorak keduanya kompak.
Mendengar sorakan itu, otomatis Juna menoleh ke samping kirinya.
"Sejak kapan Laura disitu? Kok gak bilang-bilang?" tanya Juna bertopang dagu, akhirnya wajah ceria itu dapat ia lihat kembali sebelum terkahir kalinya Laura sakit dan di pulangkan.
"Sejak Ramadhan tahun lalu bos," jawab Sam suka ngawur.
Merasa namanya di panggil, Laura menoleh. Juna. Tapi ia kembali menatap mangkuk baksonya, menjauhi tatapan penuh harap itu. Laura sudah berjanji.
Suasana menjadi canggung, Raka berdehem.
"Eh, tau gak sih?-" belum selesai Raka bertanya, Bram sudah menyahut.
"Mana gue tau! Emang gue cenayang?" tekan Bram ngegas, Laura tau Bram itu mudah sensi.
"Belum selesai ngomong Bram. Jadi gini, Tiara bakalan undang siswa kelas sebelas aja nih. Nah, itu semuanya wajib dateng, dan yang paling penting itu bawa pasangan. Biar gak keliatan jones-nya lah," jelas Raka, planning di mulai. Raka melirik Tiara yang duduk di pojok kiri mengacungkan jempolnya, kode mantul katanya. Raka berkedip.
"Ra, kamu ikut gak?" tanya Bram ragu, pasti sahabtnya itu masih ingat betul dimana Laura tertangkap basah mencuri makanan, semua itu hanya di bawah perintah ibunya.
Laura menggeleng. "Aku gak di bolehin. Mending belajar aja," tolak Laura halus. Wajah Raka berubah masam. "Maaf ya Rak," tambah Laura merasa bersalah.
Raka berusaha tersenyum. "Iya gak papa kok,"
'Ngapain Raka ngajak Laura ke acara ultahnya Tiara? Perasaan masih satu bulan lagi. Aneh,' tapi Juna merasa lega saat Laura menolak tawaran itu.
🍁🍁🍁
Saat Juna baru memasuki rumahnya, ruangan utama lebih tepatnya ruang tamu gelap gulita. Hingga sebuah cahaya bak layar lebar itu menampilkan sebuah video dimana Cica mengakui perbuatannya di hadapan polisi serta publik.
"Iya, saya yang sudah membunuh nyonya Bintang Indah Kejora dan Agung Poniman. Saya lakukan itu dengan kesadaran penuh, bukan karena mabuk atau keadaan gila," aku Cica dengan wajah menunduknya. Jepretan kamera, serta wartawan yang terus menyerbu pertanyaan lebih detail lagi membuat Cica semakin malu hingga menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya.
Lalu di lanjutkan dengan video CCTV dimana Cica benar-benar melakukan aksinya membekap neneknya di sebuah kamar.
Juna masih tak percaya. Laura anak dari pembunuh? Apakah sifat cewek itu tidak jauh dari ibunya?
Lampu di nyalakan, Rinai dan Antariksa menatapnya datar. Terpancar ketidaksudiannya dengan Cica.
Antariksa memberikan berkas-berkas bukti itu pada Juna.
Juna membacanya teliti, foto, hingga tempat kejadiannya pun jelas.
"Jadi, nenek meninggal gara-gara dia?" gumam Juna emosi, ia ingin melihat neneknya hidup. Merasakan hal yang sama bagi anak di luaran sana, ada kekek dan nenek yang merasakan hari tuanya bersama sang cucu.
"Iya, jadi sudah jelas kan? Kalau Cica itu pembunuh? Kamu masih mau dekatin Laura? Ayah gak mau kamu kenapa-napa Juna!" tekan Antariksa marah.
"Kalau kamu masih bebal, terserah. Pokoknya ayah sudah memberikan bukti, jauhi Laura. Atau kamu akan celaka dan menjadi korban selanjutnya," Antariksa berlalu, karena Cica memiliki obsesi tinggi padanya. Pasti wanita itu masih menaruh hati meskipun sudah bersuami.
🍁🍁🍁