"Aku terlalu mempedulikan orang yang aku sayangi. Hingga diriku terluka pun demi membuatnya senang. Bolehkah jika kelak aku berhak bahagia?" -Laura
🍁🍁🍁
Cica yang merasa sudah muak dengan para gosip bisikan lovers pun memilih turun dari angkot.
"Disini aja pak!" tegasnya lantang.
"Hm, marah dia,"
"Ayo! Disini panas!" sindir Cica setelah ia membayar uang kepada sang kernet.
"Pelan-pelan bu. Laura mau jatuh nih," keluh Laura dengan langkah terseok-nya.
"Biarin aja sekalian jatuh," Cica melangkah terlebih dahulu. Laura menyusul langkah ibunya yang terburu-buru itu.
"Ibu! Tungguin Laura!" teriak Laura tapi ibunya itu tak menggubrisnya.
Hingga langkah Cica terhenti di sebuah pos kamling. Arah dan tujuannya masih abu-abu, rumah pun ia belum tau.
"Duh, capek banget sih," Cica melemparkan tasnya sembarang. Duduk dengan menyelonjorkan kakinya. Dan Laura masih berjalan dua meter dari posisi ia duduk.
"Jalan kayak siput! Yang cepet dong! Gak tau apa? Udah mulai sore nih," semprot Cica saat Laura sudah satu meter darinya.
Laura duduk, pikirannya melayang pada hari esok. Apakah ia masih bisa bersekolah?
'Kok aku jadi kangen kak Juna ya? Apa kabar?' batinnya dengan sunggingan senyum bulan sabitnya.
Juna yang tengah mengupas bawang pun hilang fokus saat bayangan wajah Laura terpintas di benaknya.
"Hampir aja tangan gue terluka. Ra, kenapa sih selalu ganggu pikiran tanpa permisi?" Juna meletakkan pisau dapurnya.
"Aku kangen," ujar Laura lirih.
"Masa iya kangen? Gak boleh, rindu itu berat kata Dilan," sanggah Juna dengan tersenyum baper.
"Kalau pun rindu berat, nanti aku ganti sama yang ringan," ucap Laura dengan senyumnya, wajah Juna dengan tatapan teduhnya itu menampakkan diri di langit. Laura memandangnya senang.
Rinai menggeleng heran. Juna malah senyum-senyum ramai memandangi plafon pula.
"Udah ngayalnya? Itu kapan selesainya? Daritadi sayurnya gak mateng-mateng," omel Rinai membuyarkan khayalan Juna dengan teganya.
Juna kembali ke Bumi. "Ha? Oh iya. Lupa," ia kembali mengupas bawang. "Ini bumbunya apa?" Juna memang tak tau tentang masak-memasak, terutama bumbu-bumbunya.
"Makanya, kalau subuh itu bangun. Bantuin masak, bukan malah ngorok tidur di lantai," sindir Rinai se-pedas sambal.
"Ya maaf. Lupa, pasang alarm," Juna menyengir, dirinya ini laki-laki tapi seperti perempuan saja, dari masak, bersih-bersih rumah, mengurus jemuran, menyiram tanaman, setrika, hingga mencuci baju.
"Hm, fokus masaknya. Awas aja ya, ibu mau beli garam dulu,"
"Iya, hati-hati ya bu. Awas kesandung cinta ayah," gombal Juna saat ibunya melangkah pergi.
"Gak mempan!" teriak Rinai kesal. Dari zaman SMA, kuliah hingga nikah cinta Antariksa masih belum bisa meluluhkan hatinya tapi diam-diam baper juga.
🍁🍁🍁
Saat maghrib berkumandang, hujan deras pun mengguyur kota Jakarta. Begitu pun Laura yang kini menggosokkan tangannya, jaket yang ia bawa pun sudah melekat di tubuh sang ibu yang kini tertidur pulas.
'Yang penting ibu gak kedinginan. Sehat terus ya bu,' batin Laura menatap wajah lelah ibunya. Sudah banyak beban yang di rasakan keluarga kecilnya ini semenjak operasi cangkok jantungnya berhasil dengan merogoh uang banyak yang mengakibatkan perekonomiannya defisit drastis.
Hingga ada dua preman memandangi Laura dari jauh.
"Tuh cewek cantik, ngapain disitu sendirian?" tanya pria berjaket jeans.
"Gak ada temennya. Gimana kalau kita temenin dia? Asik gak tuh," seringai pria berjaket hitam.
"Ayo,"
Laura yang menunduk dengan bibir bergetar karena kedinginan merasakan pipinya di colek tapi bukan sambalado.
"Siapa sih," geramnya. Ia bergerak mundur saat dua preman itu berusaha menyentuhnya lagi.
"Ini siapa? Orang gila apa gimana?" tanya pria berjaket hitam dengan polosnya.
Cica yang masih setengah sadar pun membuka matanya saat suara-suara itu menyindir dirinya keras bukan kode kaleng-kaleng.
"Berisik banget sih," gerutunya kesal. Aura galaknya terpancar membuat dua preman itu ragu ingin menggoda Laura lagi.
"Pergi! Ganggu orang tidur aja," usir Cica garang. Keduanya lari terbirit-birit sebelum amukan singa semakin jadi.
Cica beralih menatap Laura yang meringkuk di pojokan memeluk lututnya.
"Udah aman. Gak usah takut," Cica menenangkan Laura, se-jahat apapun ibunya ini Laura yakin ada secuil rasa peduli.
"Ayo. Nyari rumah lagi,"
Keduanya berjalan beriringan. Tentu Laura merasa canggung, selama ini ia selalu berada di belakangnya, menjaga jarak.
Cica menangkap sebuah rumah sederhana yang usang, kotor, hingga rerumputan liar tumbuh disana.
"Itu rumah kita yang baru," tunjuk Cica, Laura menghirup nasanya sekali lagi. Pasti lelah akan terasa lebih berat hari ini, tentunya di perintah bersih-bersih.
"Gak usah banyak protes. Masih untung nemu tuh rumah. Kalau gak, udah jadi gelandangan," gerutu Cica kesal. Dari raut wajah Laura, anaknya ini tak suka dengan pilihan terbaiknya.
Dengan langkah gontai, Laura memasuki rumah kosong yang berdebu itu. Ia terbatuk, pasir-pasir halus di lantai, kursi dan meja yang berdebu tebal, cat dinding yang mengelupas. Apakah ia sanggup mendekorasi rumah barunys ini menjadi bersih dan nyaman dalam waktu sehari? Ah seperti cerita Bandung Bondowoso saja.
"Bersihin dulu. Baru kamu boleh tidur," titah Cica lalu melangkah pergi memasuki lebih dalam ruangan yang ada.
Hati Laura sedikit lega, ibunya ini memberikan keringanan.
"Syukur deh cuman bersih-bersih. Coba kalau nge-cat, ngepel," Laura menjalankan tugasnya. 'Aku harus sekolah besok. Kalau pun ibu ngelarang, biarin aja. Aku rindu Bram, kak Juna, dan pelajaran disana,' batin Laura tersenyum, menyapu dengan mengkhayal itu asik. Semenjak Juna mulai hadir di tengah-tengah kerasnya hidup dalam rasa penderitaan, Juna berusaha menjaganya, menghiburnya, dan ingin berada di sisinya tapi Bram lebih dulu maju menjadi garda terdepan untuknya.
🍁🍁🍁
Cica mengguncang bahu Laura, anaknya ini tertidur di kursi panjang dengan pulasnya. Sapu yang di letakkan begitu saja.
"Heh, bangun! Enak aja tidur. Masak sana!" gertak Cica keras membuat Laura bangun.
"I-iya," Laura melangkah menuju dapur. Entah memasak apa, baru saja pindah rumah apakah makanan langsung ada? Seperti game perempuan yang hanya memukul penggorengan saja dan simsalabim, ada. Andai itu di dunia nyata, Laura senang waktunya tidak terbuang sia-sia.
Laura membuka lemari persediaan makanan, nihil.
"Masa iya masak batu? Ya kali," sebelum ibunya kembali menggerutu, Laura memilih keluar melalui pintu belakang. Warung, hari ini ia hutang saja.
Namun saat Laura akan menyebrang, sebuah motor menyerempet dirinya. Laura tersungkur, lututnya tergores aspal jalan.
"Aww," darah segar mengalir serta kulit yang terbuka.
Seorang ibu paruh baya yang melihat itu pun menghampirinya.
"Nak, kamu gak papa kan?" ia membantu Laura berdiri.
"Iya kok bu," namun keseimbangan Laura terhuyung.
"Ya ampun nak. Kok bisa gini? Kamu gak hati-hati sih," ujarnya cemas. Ia menopang tubuh Laura. "Emang mau kemana?"
"Ke warung itu," tunjuk Laura pada warung yang ramai dengan para remaja hingga bapak-bapak nongkrong manis.
"Beli apa?"
"Makanan buat sarapan ibu,"
"Ini aja. Gal usah beli ya, mending kaki kamu di obatin dulu. Saya anter ke rumah kamu ya?" kantung plastik yang berisi sebungkus bakso yang masih hangat.
"Makasih bu. Gak usah, aku bisa sendiri," Laura tak ingin merepotkan ibu baik hati ini. "Sekali lagi, makasih ya bu," Laura berjalan pincang dengan sebungkus bakso yang ia dapatkan. Entah kebetulan atau musibah, tapi Laura senang ibunya tidak kelaparan.
"Mulia sekali kamu nak. Semoga cepat sembuh,"
🍁🍁🍁
Cica berdiri bersidekap dada menatap kepulangan Laura tanpa izin.
"Darimana saja kamu?" tanya Cica dingin. Mata Cica menangkap sebungkus bakso. "Oh, beli bakso. Sini, gitu dong. Pinter," nada bicaranya berubah lunak setelah makanan enak itu berada di tangannya.
Cica berlalu, tanpa berniat menawari Laura makan. Kaki terluka, asam lambung kambuh kembali.
Laura berjalan ke kamarnya. Memilih tidur, ia harap rasa sakit di tubuhnya ini hilang dengan adanya bunga tidur, mimpi indah. Entah itu Juna atau Bram.
🍁🍁🍁
Like-nya 👍 agar aku bisa nulis cerita ini dgn kualitas lebih baik lagi ke depannya.