1 chapter 1

Deru mobil dan klakson-klakson yang membuat bising telinga sudah hal lumrah di jalanan kota. Kota tak pernah tidur, itu adalah sebutan yang tepat untuk kota itu.

Jalan raya bagaikan ular yang panjangnya tak terbatas, gedung pencakar langit yang menantang langit, dan penjalan kaki yang dengan santai berjalan di trotoar.

Namun, persamaan dari semua kota di negara padat adalah macetnya. Macet memang mengesalkan, tetapi itu adalah kebiasaan di kota-kota negara padat. Walau sudah biasa, tetap saja membuat kesal bahkan orang yang menetap di sana.

Di tengah-tengah macet itu, ada sebuah mobil jeep berwarna hitam. Mobil itu seharusnya tak cocok dengan jalanan kota sebab bisa saja bersenggolan dengan mobil lain karena badan besarnya. Tetapi apalah daya, pemilik mobil itu tak sempat membeli mobil lagi yang cocok dengan harganya dan secara paksa dia tetap menggunakan mobil jeep itu.

Pemilik mobil itu adalah seorang pria paruh baya yang rambutnya memutih. Pria itu seperti mengalami ketuaan dini, karena usianya masih terbilang muda untuk disebut kakek-kakek.

"Bagaimana penampakan kota ini? Indah, kan?"

"....."

Tidak ada jawaban sama sekali di mobil itu. Pertanyaan itu tertuju kepada seorang pemuda yang memakai jaket berhoodie di kursi belakang. Dia tak peduli dengan pertanyaan itu dan hanya menatap jendela, melihat langit yang mendung. Si pria paruh baya itutersenyum kecut dengan tingkah pemuda berusia 15 tahun itu. Ini bukan pertama kali dia didiamkan seperti itu, tetapi dia masih belum terbiasa.

"Hey, tuan muram. Pasti kau memikirkan orang-orang yang di desa itu?" Kemudian Pria itu mengubah topik pembicaraan.

"Apa mereka tak apa-apa?"

"Oh, ternyata benar kau memikirkan mereka..."

"Entah perasaan apa ini? Aku tak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Mengingat mereka, aku ingin sekali bertemu dengan mereka walaupun sekali."

"Itu namanya perasaan rindu. Rindu akan terobati jika kita sudah bertemu dengan orang yang kita rindukan dan menghabiskan waktu bersama mereka."

"Rindu? Apakah itu kosakata baru lagi?"

"Oh, benar juga. Engkau sebelumnya tak pernah punya teman, ya? Walaupun engkau sering kemana-mana, pasti kau tak pernah merindukan siapapun karena mereka hanya rekan dan tak berhubungan apapun selain pekerjaan."

"...."

Pemuda itu hanya diam saja tak merespon. Di pikirannya terjadi pemprosesan yang rumit dan apapun yang dipikirkannya itu adalah masa lalunya.

"Tetapi aku seperti punya perasaan yang sama dengan second dog. Ketika kami berpisah, aku sangat merindukannya bahkan tak bisa tertidur nyenyak seperti hari-hari biasanya."

Kemudian Pria itu malah yang terdiam. Dia hanya tak menyangka kalimat itu keluar dari mulut seorang anak seperti pemuda yang di belakangnya itu.

Second dog? Rekan kerja anak ini? Apakah persepsiku sangat salah tentang organisasi pedang hijau, pikir pria itu.

"Mungkin perasaan itu adalah perasaan rindu juga. Engkau tampaknya sudah mulai berubah," kata pria itu sambil menghela nafas.

"Terima kasih...."

PUFFF*

"Apa yang ayah tertawakan?"

"Aku sudah bilang beberapa kali, Jean. Kau tak perlu formal."

"Tetapi...."

"Sudahlah, kau ingin beli apa ketika sampai di rumah?"

"Aku hanya ingin ayah tetap sehat dan ceria."

Pria itu tak bereaksi apa-apa. Dia berpikir dan berkata, "Sehat dan ceria? Itu tak bisa dibeli dengan apapun. Dan juga bukan hadiah."

"Aku tak ingin apa-apa selain ayah sehat dan ceria selalu, itu adalah hadiah bagiku."

"Jean bilang saja apa yang kau mau. Asalkan itu baik, Ayah akan mengabulkannya

Pemuda bernama Jean itu hanya terdiam sambil tertunduk. Dan kemudian mereka sudah sampai di depan kompleks yang seharusnya rumah Jean dan Ayahnya berada.

***

"Kita sudah sampai..."

Pria yang membawa mobil jeep itu memberhentikan mobil di depan gerbang sebuah rumah. Rumah itu berlantaikan 2 dengan gerbang besi di depan rumahnya.

Sebenarnya pria itu ingin membuat kejutan kepada si Jean. Karena selama 6 tahun, mereka berada di desa belantara hutan dan hanya melihat rumah kecil dari kayu atau dari bata merah yang tak dilapisi lagi dengan semen.

Tetapi reaksi udik dari Jean tidak terjadi. Malah dia menatap datar rumah itu serasa sudah biasa melihatnya. Iya, itu hal wajar karena selama perjalanan, dia melihat gedung pencakar langit biasa saja. Apalagi rumah yang hanya 2 lantai saja.

"Baiklah, rumah ini menjadi tempat tinggal kita untuk seterusnya. Semoga tidak ada hal yang aneh-aneh di rumah ini, Amin!"

Setelah membuka gerbang di depan rumah dan memasukkan mobil ke garansi mobil, mereka lalu keluar dan mengambil bawaan mereka di bagasi.

"Tolong bukakan pintunya, tolong!"

Bawaan dari pria itu cukuplah banyak sehingga tak bisa membukakan gagang pintu. Setelah membuka kunci rumah, pria itu berterima kasih dan masuk ke rumah itu.

Di ruang depan, ada satu set sofa merah beserta mejanya. Dengan berbagai ornamen hiasan membuat ruangan ini menjadi tak monoton. Sudah ditebak bahwa ruangan itu adalah ruang tamu.

Kemudian Jean masuk ke pintu selanjutnya yang mana hanya satu pintu itu selain pintu keluar. Setelah masuk ke pintu selanjutnya, ada ruangan dengan tv yang ukuran besar dan satu sofa putih yang cukup 3 orang. Di belakang sofa, ada tempat seperti meja barista di tempat-tempat bar minum tetapi didesain untuk dapur. Tempat ini sesuai dengan deskripsi untuk ruangan keluarga.

Dan di sana juga, ada pria berambut putih dan Jean seharusnya memanggilnya dengan ayah.

"A-ayah..."

"Ada apa? Kamarmu ada di lantai 2. Kau bisa langsung ke sana."

"Terima kasih...."

Kemudian Jean pergi ke lantai atas, menuju kamarnya.

"Entah kenapa kau selalu mengucapkan "terima kasih", Jean? Itu membuat kita jauh sebagai anak dan ayah..."

Mata pria itu langsung lesu dan tak bersemangat lagi.

***

Di lantai atas, ada sebuah pintu berwarna putih polos lengkap gagang pintu bundar. Pintu itu adalah pintu kamar Jean dan sekarang dia berada di depan pintu tersebut.

Dia membuka pintu itu dan memperlihatkan meja dengan lemari buku, kasur, lemari baju, dan lain-lain. Tetapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah action figure yang ia tak ketahui selama ini. Jean tak ingat kapan dia membeli action figure itu, tetapi dia tak peduli karena mungkin ayah angkatnya yang membelikannya.

Dia lalu rebahan di kasur putihnya. Pegas dalam kasur bereaksi ketika dia membantingkan badannya ke kasur, membuatnya badannya serasa mental.

Dia menatap langit-langit kamarnya. pikirannya kemana-mana dan teringat dengan perkataan dari ayahnya.

"Itu namanya perasaan rindu. Rindu akan terobati jika kita sudah bertemu dengan orang yang kita rindukan dan menghabiskan waktu bersama mereka."

Dia mengambil sebuah benda di saku bajunya yang ternyata adalah sebuah foto. Foto itu seperti habis terbakar karena terlihat di bagian sisi kiri dan kanan yang menghitam sehabis dibakar. Yang tersisa hanyalah bagian tengahnya yang memperlihatkan 2 orang anak yang saling merangkul. Yang kiri adalah dirinya, dan yang dia rangkul adalah temannya yang memiliki kelainan kulit, yaitu albino.

Melihat hal itu tanpa sadar, dia meneteskan air mata. Dia tak tahu kalau dia meneteskan air mata dan ia berkata, "Perasaan rindu hanya diobati dengan bertemu dengan yang dirindukan. Tetapi apa yang aku rindukan sudah mati, apa yang bisa aku lakukan untuk mengobatinya."

avataravatar