webnovel

Perpisahan

**Bab 002: Perpisahan**

Helena menatap dengan mata terbuka lebar saat melihat Atthy yang tampaknya begitu tenang meski dalam situasi yang sangat emosional. Tidak ada air mata yang keluar dari matanya, hanya ketenangan yang tampak begitu kontras dengan perasaan gelisah yang menguasai Helena. Tangan Helena masih menahan tangan Atthy yang menggenggam erat dokumen perceraian itu.

"Duchess..." suara Helena sedikit gemetar, "Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Tuan Hugh mengirimkan surat ini?"

Atthy menarik napas panjang, matanya kosong sejenak seolah mencerna apa yang harus dikatakan. Wajahnya yang lembut terlihat begitu letih. Bahkan, dengan senyum pahit di bibirnya, Atthy tetap terlihat terjaga dalam keadaan hati yang hancur.

"Kau bertanya pada orang yang salah, Helena. Bahkan aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus menerima semua perlakuan ini!"

"Karena itu, jangan gegabah!"

"Aku lelah, Helena... Aku ingin berhenti..."

"Tapi, Duch..."

"Helena!" panggil Atthy dengan tatapan tegas menegur Helena meski suaranya datar. "Aku tidak pantas menyandang gelar itu. Tuanmu mengingatkan dari mana aku berasal dengan sangat baik."

Helena terdiam, merasakan hati yang berat mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Atthy. Dia tahu Atthy tidak mudah membuka diri, dan saat ini, untuk pertama kalinya, dia merasakan kerapuhan dalam diri nyonya mudanya yang sangat dihormati. Namun, ia juga tidak bisa menahan rasa penasaran yang membelenggu hatinya.

Helena ingin sekali memeluk Atthy, namun dia berusaha menahan diri. Menjaga jarak sebagai seorang abdi.

"Jika Tuan Hugh yang menginginkan ini, maka pasti ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi," kata Helena dengan lembut. "Saya akan berbicara dengan Tuan Hugh, memastikan apa yang sebenarnya terjadi."

Atthy menoleh, tatapan matanya penuh dengan keputusasaan. "Sudah cukup, Helena. Aku tidak ingin mengemis belas kasihan. Harga diriku sudah cukup terluka..."

Helena merasakan getaran kegelisahan yang begitu mendalam di dalam diri Atthy. Apa yang terjadi sebenarnya antara mereka berdua? Kenapa pernikahan ini bisa berubah menjadi seperti ini? Di balik semua kedamaian luar yang terlihat, pasti ada sesuatu yang lebih gelap sedang terjadi.

"Baiklah, Duchess, beri saya waktu. Saya akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi," jawab Helena dengan suara penuh tekad. "Tetapi, tolong jangan menandatangani surat perceraian itu. Menunggu sedikit lebih lama tidak akan merugikan Anda..."

"Kau keras kepala, Helena..."

Helena terdiam, dia hanya bisa mengerutkan dahi dengan tatapan memelas menanggapi Atthy.

Bibir Atthy tersenyum, tetapi getir. Dengan tetap memegang erat surat cerai yang ada di tangannya, ia menoleh ke arah jendela yang terbuka, membiarkan angin pagi yang dingin masuk.

"Duchess.." Helena berbicara dengan air mata yang sulit dibendung. "Maafkan saya... Saya tidak bisa menerimanya," serunya tegas, suara hatinya bergejolak. "Saya akan mencari tahu mengapa Duke memutuskan untuk mengirimkan dokumen ini padamu."

Helena membalikkan badan, meninggalkan ruangan dengan langkah terburu-buru, meskipun hatinya penuh dengan kebingungannya sendiri. Setiap keputusan Atthy semakin sulit untuk dipahami, dan itu membuat hatinya semakin tidak tenang. Dia merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di balik tindakan ini.

Langkahnya cepat, matanya mencari sosok Hugh yang seharusnya sedang berada di ruang makan, namun saat ia tiba, ruang makan itu tampak kosong.

"Ada apa, Nyonya Whitmore?" tanya seorang pelayan yang tengah membereskan meja makan.

"Apakah Tuanku Duke makan siang hari ini?" tanya Helena, menyembunyikan kegelisahannya.

"Sepertinya tidak, Nyonya," jawab pelayan itu dengan ragu. "Tadi saya mendengar beliau membatalkan makan siangnya karena ada urusan mendadak."

"Apa?!" Helena hampir berteriak, matanya setengah melotot. "Dan Tuan Alwyn? Apakah beliau bersama Duke?"

"Tidak, Nyonya," jawab pelayan itu. "Tuan Gusev mungkin sedang di kantor, karena Tuan Duke tiba-tiba pergi dengan Tuan Rozenfeld."

Helena menggertakkan giginya, mencoba menahan emosinya yang memuncak. Ia mengingat pesan terakhir dari Atthy dan merasakan perasaan cemas yang tak terbendung.

"Baiklah, terima kasih," serunya dengan nada tegas.

Namun, sebelum dia bisa pergi, pelayan itu menambahkannya dengan suara cemas.

"Ah, Nyonya Whitmore, maaf, ada satu hal lagi..." kata pelayan itu, tampak ragu.

"Ada apa lagi?" tanya Helena, suaranya ketus.

"Bagaimana dengan Duchess?" tanya pelayan itu dengan wajah cemas. "Apakah kami perlu menyiapkan makan siang untuknya?"

"Ya, lakukan!" seru Helena tanpa berpikir panjang. "Panggil pelayan pribadi Duchess untuk segera menemui Duchess di ruangannya!"

Setelah itu, Helena menuju ruang kerja Alwyn, hatinya penuh dengan pertanyaan. Setiap langkah terasa seperti memikul beban yang semakin berat.

Tiba di ruang kerja Alwyn, Helena lupa mengetuk pintu dan langsung masuk. Alwyn langsung menegurnya.

"Nyonya Helena! Apa yang Anda lakukan?!"

Helena tidak peduli. Ia langsung berbicara, "Apa maksud dari dokumen yang Anda berikan pada saya tadi pagi?"

Alwyn terdiam. "Maksud Anda, dokumen perceraian untuk Duchess Atthaleyah Griffith?"

"Jadi Anda tahu?"

"Bagaimana mungkin saya tidak mengetahui jika saya sendiri yang menyerahkannya pada Anda?!"

"Kenapa? Apa yang terjadi dengan mereka? Apa alasan di balik semua ini?"

"Itu bukan urusan kita, Nyonya. Kita hanya melakukan apa yang diperintahkan."

"Duchess dipercayakan pada saya, saya harus tahu apa yang terjadi!"

Saat perdebatan mereka semakin memanas, suara ketukan pintu menginterupsi.

"Maafkan kami, Tuan Gusev, apakah Nyonya Whitmore ada di dalam?"

Alwyn mengizinkan mereka masuk, dan ketiga pelayan yang tampak terengah-engah masuk dengan wajah penuh kecemasan.

"Kami tidak bisa menemukan Duchess di mana-mana..."

"Salah satu penjaga melihat Duchess keluar melalui gerbang belakang."

"APA?!" Helena dan Alwyn serempak berseru, terkejut.

Jantung Helena berdebar kencang. Rasa cemas kini berubah menjadi ketakutan yang semakin menguasai dirinya.

"Di mana?! Kenapa kalian baru memberitahuku sekarang?!"

---

Di Manor, Atthy nyaris tidak pernah mengeluh. Nyonya muda yang tenang, seorang wanita rumahan. Menjaga jarak dari hiruk-pikuk sekitar. Namun, ketika benar-benar diperlukan, dia tidak akan ragu untuk bertindak. Sebagian besar waktunya dihabiskan di dalam, menikmati ketenangan dengan penuh tanggung jawab. Hal ini cukup mengejutkan bagi penghuni Manor, yang sejak awal memandangnya dengan kecurigaan. Mereka telah mendengar banyak rumor tentang calon istri Duke Hugh Griffith—sosialita flamboyan dengan kisah cinta yang bertebaran di mana-mana. Tapi kenyataannya, Atthy jauh berbeda dari yang mereka bayangkan.

Awalnya, keberadaannya tidak disukai. Seorang lady dari bangsawan tingkat rendah yang memasuki pernikahan politik demi ambisi. Namun, waktu membuktikan sebaliknya. Atthy tidak hanya membawa dirinya dengan kewibawaan, tetapi juga menunjukkan kecerdasan dan ketenangan yang tak terduga. Hingga satu hal yang membuat semua orang di Manor benar-benar tercengang—Atthy pergi dari Manor sendirian. Tanpa pengawal, tanpa pelayan, tanpa siapa pun. Begitu saja, dia melangkah keluar.

---

"Apa maksudmu?!"

Teriakan Alwyn menggema di ruangan, suaranya bergetar menahan amarah. Mata tajamnya menusuk pelayan yang berdiri gemetar di hadapannya.

"Maaf... Maafkan kami, Tuan Gusev... Kami... Kami tidak tahu..." jawab seorang pelayan dengan wajah pucat pasi. "Tapi, salah satu penjaga melihat Duchess keluar melalui gerbang belakang."

"Apa?!" Mata Alwyn membelalak. Sebelum dia bisa berkata lebih jauh, ketukan terdengar di pintu.

"Masuk!" perintahnya tajam.

Seorang penjaga muda melangkah masuk dengan ragu. Wajahnya menegang saat berhadapan dengan Alwyn.

"Kau... Bukankah kau penjaga baru?" Alwyn menyipitkan mata.

"I-iya... Maafkan saya, Tuan Gusev. Saya penjaga di gerbang belakang... Duchess meminta saya memberikan ini pada Tuan..." tangannya gemetar saat menyerahkan amplop besar.

"Ah!" seru penjaga itu begitu melihat Helena di dalam ruangan. "Nyonya Whitmore, Duchess juga menitipkan ini untuk Anda."

Helena mengambil amplop itu dengan ekspresi curiga. "Kenapa harus kau yang menyerahkannya?!"

"Saya... Saya tidak tahu, Nyonya... Duchess hanya bilang, Tuan Duke sudah tahu tentang kepergiannya," jawab penjaga itu terbata.

"Lalu, di mana Duchess?!" suara Helena meninggi, sorot matanya tajam seperti pedang.

"B-beliau... sudah pergi..." jawabnya pasrah.

"Apa?! Pergi?! Dengan siapa?!" Helena nyaris menerjang ke depan.

"S-sendirian... B-beliau tidak memberi tahu saya apa-apa... Maafkan saya..."

Ruangan membeku. Pelayan-pelayan menunduk, tak berani bersuara. Penjaga itu tampak seperti bayangan yang ingin menghilang, tubuhnya gemetar hebat.

---

"APA INI?!"

Alwyn membanting amplopnya ke meja. Kertas-kertas berhamburan saat napasnya memburu.

**'Aku tidak butuh kompensasi perceraian. Asalkan Tuanmu membiarkan aku sendiri, itu sudah cukup untukku.'**

Sepotong kertas dengan dua kalimat tajam menyertai surat cerai yang sudah ditandatangani Atthy.

Tak seorang pun bersuara. Semua menatap Alwyn yang berdiri kaku, wajahnya memerah karena amarah yang mendidih.

"T-tuan Gusev..." gumam penjaga itu lemah.

Alwyn menatapnya dengan sorot dingin yang mengunci. "Siapa yang merekomendasikanmu?" suaranya lebih rendah, namun lebih mengancam daripada teriakan sebelumnya.

"Saya... Saya hanya menjalankan tugas, Tuan..."

"Bodoh!" suara Alwyn meledak. "Kecerobohanmu bisa membawa bencana! Apa kau tidak berpikir dua kali saat melihat seorang Duchess meninggalkan Manor sendirian?!"

Penjaga itu hampir jatuh mundur, kakinya goyah. Namun sebelum ia bisa berbicara lagi, Alwyn mengangkat tangannya, menghentikan segala bentuk pembelaan.

"Panggil semua pengawal! Cari Duchess sekarang juga!"

Penjaga itu segera berlari keluar, meninggalkan ruangan yang kini terasa semakin panas oleh ketegangan.

Helena, yang masih memegang suratnya, meremas kertas itu dengan jemari gemetar. Matanya bergerak cepat membaca isi yang ditinggalkan Atthy.

---

**Dear Helena,**

Kepala pelayan yang selalu tegas, namun sangat aku sayangi. Terima kasih untuk segalanya. Maafkan aku karena tidak sempat berpamitan dengan cara yang lebih baik.

Sampaikan salamku pada Lily dan Miriam, aku sangat menyayangi mereka. Sayang, waktu kita sangat singkat.

Aku kembalikan semua pakaian dan aksesori yang diberikan oleh tuanmu. Tidak ada satu pun yang aku bawa, karena semua itu bukan seleraku. Begitu juga dengan Stella, Bela, dan Rosa. Mereka adalah pelayan yang Tuanmu kirimkan padaku, dan aku ingin kau yang mengurus mereka sekarang.

Aku tidak bisa membayar mereka, karena aku tidak punya uang. Aku hanya bisa menitipkan mereka padamu. Aku mohon, minta tuanmu untuk membayar upah mereka, karena mereka bukan pelayan yang aku pilih. Aku harap kau mengerti.

Maafkan aku, Helena, karena harus pergi seperti ini, tanpa memberi peringatan. Namun, aku tahu, kau pasti akan menghalangiku jika mengetahui keputusanku.

Aku sudah berjanji pada Tuanmu, dan aku harus menepatinya.

PS. Aku sangat menyayangimu. Kau seperti ibu bagiku.

---

Ruangan itu tenggelam dalam kesunyian yang mencekam.

Helena menggenggam surat itu erat, bibirnya bergetar. Pelayan-pelayan menunduk, sementara Alwyn menatap meja dengan wajah kelam. Tangannya mengepal, seolah menahan badai yang mengancam pecah kapan saja.

Tiba-tiba, pintu terbuka keras.

"Maaf, saya terlambat!" Sarah, sang dokter muda, melangkah masuk dengan riang, membawa tas peralatan medis. "Saya tadi dipanggil ke dapur, katanya ada pelayan yang—"

Dia berhenti mendadak, menyadari suasana yang begitu berbeda. Senyumnya perlahan memudar.

Matanya menyapu ruangan. Wajah-wajah pucat. Helena yang tampak terguncang. Dan Alwyn, yang berdiri kaku dengan ekspresi yang begitu gelap.

"Ada... apa?" tanya Sarah pelan.

Alwyn menoleh perlahan. "Dr. Sarah," suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tapi cukup untuk membuat Sarah menegakkan punggung. "Ini bukan waktu untuk bertanya. Ambil semua peralatan medis yang kau punya. Bersiaplah. Kau mungkin akan menghadapi sesuatu yang sulit."

Sarah menelan ludah. "Apa yang terjadi?"

---

Salju putih terus berjatuhan, satu per satu menyelimuti kepala Atthy yang tertunduk. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melangkahkan kaki di atas tumpukan salju yang mengubur jalan setapak hingga lutut.

Hembusan angin dingin menggigit kulitnya, bahkan menembus mantel tebal yang membungkus tubuh rapuhnya. Napasnya memburu, berpadu dengan uap hangat yang sekejap hilang dikecup udara dingin.

"Ke mana aku harus pergi?" pikir Atthy dengan putus asa, langkahnya semakin berat, seolah bumi sendiri menolak keberadaannya.

Sudah tiga bulan ia tinggal di Skythia, tetapi suasana luar Manor baginya hanyalah misteri. Ia hanya tahu jalan-jalan yang dilalui kereta kuda, dan bahkan itu kini tampak asing dalam lautan salju yang menyamarkan segalanya. Hutan yang mengelilingi wilayah itu hanya menambah kengerian dalam kesunyian malam. Pepohonan menjulang tinggi, seperti raksasa hitam yang mengawasinya dalam diam.

Atthy terus melangkah, meski tidak tahu ke mana arah yang dituju. Salju yang menutupi jalan seakan mencabut segala petunjuk, membuat dunia di sekitarnya tampak seperti labirin putih tanpa akhir. Tubuhnya yang terbiasa dengan gurun pasir panas dan sabana luas kini merasakan penderitaan baru—dingin yang mengiris, menelanjangi kekuatan terakhir yang tersisa dalam dirinya.

Angin bersiul, menciptakan suara yang menyerupai jeritan hantu. Tubuhnya mulai menggigil hebat. Ujung jarinya yang semula terasa ngilu kini berangsur mati rasa. Ketika akhirnya ia tak lagi sanggup melangkah, ia terjatuh di bawah sebuah pohon besar yang akarnya mencuat dari tanah beku.

Duduk bersandar, napasnya tersengal. Atthy memandangi langit kelabu yang perlahan mulai ditelan malam. Pandangannya kosong, seperti memutar kembali nasibnya yang tragis. Dari seorang cucu bangsawan rendah yang bersahaja, menjadi Duchess dengan kekuasaan besar, hingga kini ia hanyalah seorang perempuan yang kehilangan identitas—bukan lagi seorang Galina, apalagi seorang Griffith.

Suhu dingin tanpa belas kasihan terus menyerangnya, membuat setiap serat tubuhnya seolah berteriak meminta kehangatan yang tak pernah datang. Pelayan-pelayan yang dulu setia melayaninya, perapian hangat di Manor, semuanya terasa seperti mimpi yang mustahil terulang.

Perlahan, tubuhnya mulai kehilangan rasa. Rasa sakit yang menusuk tulang saat ia berjalan tadi kini berubah menjadi kehampaan. Ia tahu persis apa yang sedang terjadi—hipotermia. Kepalanya terasa berat, tapi pikirannya mulai melayang, mengembara di antara kenangan yang menyakitkan.

Wajah keluarganya melintas di benaknya. Kakek yang berwibawa tapi juga ramah, ayahnya yang tegas tapi penuh kasih, suara tawa adik-adiknya di sabana. Air mata menggenang di sudut matanya, membeku sebelum sempat jatuh.

Namun, bayangan itu tiba-tiba tergantikan oleh sosok lain—matanya yang tajam, sikap dingin yang penuh wibawa, suara yang memanggil namanya dengan nada datar namun begitu memikat.

"Duke Hugh Griffith..." bisiknya lemah, hampir tanpa suara.

Sekelebat rasa sakit yang membara muncul di dadanya, bercampur dengan kerinduan yang menyesakkan. Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah ia akan mati sendirian di tempat asing ini tanpa sempat menuntaskan luka yang membebani hatinya?

Ketika pikirannya hampir tenggelam sepenuhnya, dari kejauhan terdengar derap langkah berat. Sesuatu mendekat—entah itu keajaiban atau kehancuran. Atthy memejamkan mata, membiarkan dirinya menyerah pada takdir yang akan datang.

Suara langkah itu semakin jelas, memecah kesunyian hutan yang mencekam. Atthy tidak tahu lagi apakah ia harus merasa takut atau berharap.

"Seseorang... tolong aku..." gumamnya lemah, sebelum kesadaran sepenuhnya lepas dari genggamannya.

---