webnovel

Awal

Loria POV

Halo, namaku Loria Hardio. Umurku baru sembilan belas tahun. Aku anak sulung dari tiga bersaudara. Aku seorang perempuan, sebagai anak perempuan semata wayang dari tiga bersaudara tentunya orang tuaku sangat memperhatikan ku. Terutama soal perilaku dan adab sebagai perempuan. Sekolah? aku sudah menamatkan jenjang pendidikan sampai bangku menengah atas.

Aku bukan orang yang spesial. Cantik? tidak, aku biasa-biasa saja. Kaya? bahkan ayahku baru saja gulung tikar dari usahanya. Populer? apa yang bisa membuatku terkenal?.

Aku sangat ingin menjadi seseorang yang terkenal. Bukan! aku bukannya ingin pamor dan disanjung oleh orang lain. Tapi aku ingin menjadi seseorang yang dapat memberi panutan pada khalayak luas. Tentunya hal tersebut dalam unsur kebaikan. Aku punya hobi menulis, menonton film genre action, dan...berkelahi.

Ini bukan berkelahi seperti yang kalian fikirkan. Aku berkelahi dengan tujuan menambah teman. Dari sinilah kisahku dimulai.

Loria POV end.

Loria berbeda dengan gadis-gadis lain pada umumnya. Tubuhnya tinggi dengan bahu agak lebar, rambutnya pun pendek lambat sekali untuk dipanjangkan. Sekilas mirip lelaki, dan Loria suka itu. Dia bukan tipe perempuan feminim yang suka pakai rok, baju mini, dan lipstik. Mata berwarna ravennya menatap dengan teliti apa yang ada disekitarnya, tajam, dan tenang. Ia suka pelajaran kimia, tapi tidak suka matematika namun ia pintar menghafal. Kalau bukan karena kimia Loria tidak akan mengambil jurusan eksak ketika duduk di bangku sekolah menangah atas.

Loria dibesarkan dalam keluarga yang baik dan patuh pada norma-norma dalam masyarakat. Sebenarnya orang tua Loria, terutama ibunya, sangat sering memarahi Loria kalau Loria banyak berinteraksi dengan laki-laki, memakai baju laki-laki dan ikut dalam organisasi bela diri. Padahal poin-poin tadi tidak melanggar norma sebagai perempuan, kalau poin pertama ya...bergaul tidak masalah, toh Loria hanya berteman.

Loria merasa beruntung karena dianugerahi perawakan dan paras mirip lelaki. Meski ayahnya kerepotan membawa dia kesana kemari untuk mencari rok sekolah yang pas, tapi pada akhirnya Loria tetap memakai seragam laki-laki.

"Loria...apa yang ibumu makan sewaktu mengandungmu?" tanya bibi penjahit baju pada Loira.

"Entahlah bu, saya kan waktu itu masih dalam kandungan. Mungkin saja beliau terlalu banyak makan mie instan."

"Untung saja badanmu hanya panjang ke atas, bukannya keriting seperti mie."

"Aku bisa dicap sebagai spesies terbaru dari hewan langka bu kalau begitu."

Kehidupan di sekolah berjalan normal. Intrik ringan memang lumrah terjadi. Nilai Loria bisa terbilang cukup bagus, tidak pernah keluar dari peringkat empat besar membuat dia menjadi salah satu tujuan utama siswa lain untuk bertanya ketika ada soalan yang sulit.

Namun mendekati masa-masa akhir sekolah menengah atas, banyak persoalan demi persoalan mengenai jenjang pendidikan yang ia temui.

Loria bercita-cita menjadi seorang ahli kimia. Dia sangat mempersiapkan nilai-nilainya untuk masuk kuliah. Namun...

"Ayah, Loria ingin kuliah jurusan kimia murni. Loria bercita-cita menjadi seorang kimiawan yang bekerja di laboratorium. Kalaupun tidak, Loria sangat ingin bekerja menjadi seorang guru kimia. Loria sangat suka kimia Ayah."

"Apa?! Tidak! jurusan seperti itu hanya akan mempersulit kamu. Carilah jurusan yang biasa-biasa saja!"

"Benar! ayahmu itu bilang hal yang sesuai dengan kenyataan. Apa jadinya bila kau masuk dalam jurusan yang aneh seperti itu?! kau itu sudah tidak terlalu pintar, jadi jangan mempersulit diri sendiri."

"Tapi...aku mempunyai minat dalam pelajaran kimia. Aku sangat menyukai kimia. Meski aku tidak terlalu pintar, aku akan berusaha keras untuk terus bela--"

"Tidak ada tapi-tapian! kamu tidak boleh masuk ke jurusan itu! pilihanmu ada dua, tetap kuliah dengan jurusan lain, atau tetap memilih jurusan kimia tapi kamu harus membiayai kuliah mu sendiri!"

Bukan sekali dua kali mereka berdebat, bahkan tidak jarang orang tua Loria memukul Loria karena naik darah. Mereka begitu keras kepala dan tidak mau memahami Loria.

Sebenarnya kalau bisa, Loria ingin memilih opsi kedua. Namun pasti tidak bisa, dari mana dia bisa mendapatkan uang yang cukup besar untuk masuk kuliah dalam jangka waktu kurang lebih tiga bulan? sedangkan biaya awal masuk kuliah kurang lebih sebesar 20 juta. Apalagi untuk beberapa jurusan bisa mencapai biaya sebesar 50 juta pada awal masuknya.

Akhirnya Loria mengurungkan niatnya untuk memilih jurusan kimia dan memilih jurusan lain.

Namun tak lama setelah itu usaha yang ayahnya Loria miliki mengalami kemunduran drastis. Ayahnya Loria pun sampai menjual beberapa aset lain yang mereka miliki. Usaha kecil-kecilan milik ayahnya Loria terancam gulung tikar.

"Ayah tidak bisa membiayaimu untuk melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahan. Maafkan Ayah Nak. Maaf kalau Ayah tidak bisa mewujudkan impianmu Nak."

"Tidak apa-apa Ayah, menunda setahun dua tahun tidak masalah. Yang terpenting kita tetap bersemangat dan tak putus asa. Loria paham bagaimana keadaan kita sekarang. Apalagi Hidan dan Sean juga bersekolah. Utamakan mereka dulu Yah."

Dalam hati kecil Loria tentunya ada perasaan kecewa. Namun, Loria tidak mau menambah rasa bersalah orang tuanya. Sebagai anak sulung, Loria paling mengerti tentang orang tuanya. Ia harus dewasa menyikapi keadaan. Tidak boleh egois dan ingin menang sendiri.

"Loria, kenapa kau tidak mengumpulkan berkas data diri ke guru pembimbing? apa kau tidak kuliah?"

"A..hehe...hehe, aku...menunda dulu. Ku rasa aku butuh istirahat." Bohong, semuanya bohong. Loria amat ingin ikut memberikan berkas data diri ke guru pembimbingnya untuk dikirim ke pihak universitas.

"Astaga Loria, kau menunda?! nilaimu bagus-bagus semua lho. Masa kau tidak kuliah dulu?"

"Iya Emma, aku butuh refreshing. Ku rasa banyak yang harus ku lakukan, aku hendak menggali potensi ku yang lain. Siapa tahu hobi ku bisa membawa keuntungan. Hehe,"

"Kalau begitu keputusanmu, ku doakan agar kau selalu berhasil. Tuhan bapa menyertaimu."

"Terima kasih teman-teman. Ku doakan juga semoga kalian bisa masuk universitas dengan lancar tanpa hambatan. Good luck all."

Loria sedih, Loria hanya bisa memandang teman sebayanya yang tersenyum bahagia ketika melihat pengumuman penerimaan mahasiswa baru universitas. Tapi disatu sisi Loria senang, karena setidaknya tidak ada dari teman-temannya yang harus merasakan apa yang Loria.

Loria mulai membiasakan diri, kalau tidak masuk kuliah setidaknya ia memfokuskan diri untuk ujian kelulusan. Ia belajar dengan sangat giat tentunya. Ikut les yang diadakan guru jurusan. Kebetulan dalam materi ujian itu ia mengambil materi kimia. Ia sangat senang mempelajarinya.

Hari demi hari berlalu, minggu menjadi bulan. Dan sampai satu bulan sebelum ujian. Dunia tiba-tiba dihebohkan dengan pandemi virus yang merenggut banyak nyawa. Tak terhitung banyaknya. Virus yang disebabkan kelalaian dalam suatu laboratorium di negri sebelah.

Karena kekhawatiran akan penularan dan kabar masuknya virus ke dalam negara tempat Loria berasal membuat pemerintah dengan berat hati memutuskan untuk meniadakan ujian kelulusan.

Mungkin bagi sebagian besar siswa akan merasa sangat senang. Mereka tidak perlu repot-repot belajar. Tidak perlu berkutat dengan lembaran soal dalam layar komputer. Tapi bagaimana perasaan segelintir siswa yang belajar keras seperti Loria? Loria merasa terpukul, ia sangat sedih. Ujian kelulusan menjanjikan pundi-pundi uang untuk hadiah bagi pemegang nilai tertinggi dalam lingkup seluas satu prefektur. Padahal Loria sangat ingin mendalat nilai tertinggi dalam ujian kelulusan. Bukan hanya soal pundi-pundi uang, namun sudah menjadi kebanggan dan kebahagiaan tersendiri baginya kalau ia bisa mengukir nilai bagus dalam pelajaran yang amat ia senangi tersebut. Rencana yang ia susun kandas sudah.

Tak sampai disitu, kondisi ibunya Loria jadi menurun. Ibunya Loria jatuh sakit. Ibunya Loria hanya bisa terbaring di tempat tidur, tubuhnya menjadi semakin kurus. Berjalan pun perlu dituntun. Ibunya Loria mengidap sejenis penyakit kulit yang membuat beliau semakin melemah. Berbagai macam cara dan pengobatan beliau tempuh, namun tidak membuahkan hasil yang signifikan.

Sudah tidak jadi kuliah, tidak jadi ujian, ibunya sakit-sakitan, usaha ayahnya terancam bangkrut, semua hal tersebut berkecamuk dalam fikiran Loria. Disela-sela waktu ketika ia merasa sesak dan benar-benar sedih, ia menangis. Meluapkan semuanya lewat air mata. Ia tidak dapat mencurahkan lewat kata-kata. Orang tuanya juga sedang memikul beban yang sangat berat. Adiknya masih kecil. Kalau ia mencurahkan perasaannya kepada orang tuanya, hal tersebut hanya akan membuat orang tuanya merasa bersalah dan semakin terpuruk.

Setelah lulus sekolah ia memutuskan untuk melamar pekerjaan. Namun semua perusahaan tempat ia melamar kerja semuanya menolak dia. Dia tidak punya koneksi orang dalam. Sementara para pelamar pekerjaan yang lain melakukan suap dengan orang dalam agar ia bisa mendapatkan posisi di dalam perusahaan tersebut.

Next chapter