29 MD 29 - Istri Pilihan Mama

Mumut menatap layar ponselnya, ada nama Bian terbaca di sana. Sejenak Mumut ragu untuk menelpon Bian untuk mengabari kondisi ibunya, Mumut takut dia akan menganggu kesibukan Bian. Gadis itu kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku bajunya kemudian berjalan keluar dari kamar itu.

Untuk beberapa saat Mumut terdiam sambil memandangi taman di depannya. Tiba-tiba Mumut teringat dengan skripsinya yang belum sempat dipegangnya sejak ibunya kecelakaan. Mumut berniat untuk pergi ke perpustakaan kampus untuk meminjam buku- buku yang akan dijadikan sebagai referensi untuk skripsinya.

Mumut terkejut saat merasa ponselnya bergetar dan sebuah panggilan masuk terdengar sampai ke telinganya.

Mumut segera mengambil ponselnya dari saku bajunya. Dadanya langsung berdegup dengan kencang saat melihat nama Bian tercantum di layar.

(Assalamu'alaikum, ya...??)

(Waalaikumsalam, ada apa telpon, Mutia?) suara Bian terdengar lembut.

Mumut segera memeriksa log panggilan dan dia terkejut menyadari kalau dia yang menelepon Bian.

(Eh, maaf kepencet. telponnya tadi saya masukkan ke saku, Pak?) Mumut tersipu dan merasa bersalah karena telah mengganggu aktivitas Bian.

Ini pasti karena tadi dia belum mengembalikan layarnya ke posisi home dan menguncinya jadi langsung terhubung ke Bian ketika tombol call tersentuh bajunya.

(Oh..) Suara Bian terdengar datar. Mumut kemudian mendengar seseorang berkata pada Bian, menyela pembicaraan diantara mereka. Bian tidak menutup panggilannya dan membiarkan Mumut mendengar pembicaraannya sebelum akhirnya bertanya (Dokter sudah memeriksa ibu?)

(Sudah)

(Apa kata dokter?)

Mumut mengatakan apa saja yang di katakan dokter kepada Bian termasuk permintaan dokter akan Bian menghubunginya kalau ada waktu senggang. Mumut juga meminta maaf karena telah merepotkan Bian beberapa hari ini.

(Oke!) hanya itu jawaban Bian.

Mumut mengeryitkan dahinya mendengar jawaban Bian, dia kemudian masuk untuk menemui ibu dan memminta ibu tidak kuatir.

Di tempat yang lain Bian tersenyum memandangi ponselnya. Dia ingat bagaimana semalam gadis itu mampu membuatnya bergairah, sampai dia hampir tak bisa mengendalikan dirinya.

Kalau saja dia tak melihat wajah polos dan kekanakan Mumut padahal dia selalu bisa mengendalikan gairahnya pada Ristie. Bian menghela nafas panjang dan mengalihkan tatapannya pada laptop di depannya.

Bian sedang berfikir tentang Ristie saat ponselnya berdering, dari Ristie! Bian segera mengangkatnya.

(Halo...)

(Halo, Sayang... Aku kangen nih sama kamu,)

Suara Ristie yang lembut mendayu menggodanya, Bian menghela nafas panjang, harusnya dia senang Ristie menghubunginya. Bukankah beberapa hari terakhir sebelum dia menikah dengan Mumut dia dibuat seperti orang gila karena gadis itu tak pernah mau menerima telponnya dan tiba-tiba saja mengirim undangan yang membuatnya membuat keputusan untuk menikahi Mumut ketika gadis itu meminta bantuannya.

(Bi....)

(Ya..?)

(Aku dengar kamu sudah menikah, benarkah?)

(Ya) jawab Bian to the point membuat Ristie patah hati

(Bagaimana bisa...?)

Bian tak menjawab, hanya desahnya yang terdengar.

(Maaf soal undangan itu, Bi. Itu bukan atas keinginanku tapi ayah yang memaksanya. Dia memintaku untuk menikahi putra sahabatnya dan aku tidak bisa menolaknya.) Ristie hampir terisak.

Suara sendu Ristie menggoda Bian membuat cowok itu mendesah. Seandainya Ristie memberinya penjelasan sebelun ini, mungkin Bian tidak akan buru-buru menikahi Mumut. Tentunya dia akan berjuang agar bisa terus bersama Ristie meski Bian merasa heran dengan perkataan Ristie yang mengatakan ayahnya memaksanya. Selama ini orang tua Ristie juga sangat mendukung hubungan mereka karena itu sepertinya mustahil kalau mereka memaksanya.

Bian kembali menghela nafas panjang dan bertanya pada dirinya sendiri menyesalkah dia menikahi Mumut? Wajah kekanakan Mumut muncul dibenaknya dan membuatnya yakin dia tidak menyesali keputusannya untuk menikahi gadis itu.

Toh dia yang meminta Mumut untuk menikah dengannya meski dia tak pernah memperhatikan gadis itu. Dan meski dia berjanji pada dirinya sendiri ketika masa itu tiba, dia akan menceraikan Mumut tapi bukan saat ini.

(Bi, apakah kamu mencintai dia?} tanya Ristie lagi, suaranya parau penuh penyesalan.

(Siapa...?)

(Istri pilihan mamamu!)

(Hmmm) jawab Bian enggan.

(Bi? Kamu cinta dia atau tidak?!)

(Apa urusanmu!) jawab Bian dingin, entah mengapa Bian merasa dia harus menjawab begitu, meski dia tahu cintanya pada Ristie masih besar. tapi Bian juga ingin menguji gadis itu.

Ristie sangat marah dengan jawaban Bian saat itu, dia segera mematikan ponselnya. Dia menggeram layaknya harimau yang terluka.

Sesungguhnya pernikahan itu dia lakukan karena hanya dia merasa tidak diacuhkan oleh Bian saat peluncuran produk Zettira beberapa waktu yang lalu. Ristie ingin Bian tidak mengabaikannya dan selalu menomorsatukan dirinya. Bagi Ristie perusahaan tetap akan berjalan karena Bian mampu mengendalikannya dengan baik.

Bian masih termenung di kursinya, tatapannya kosong mengarah ke laptop di depannya

avataravatar
Next chapter