webnovel

Keputusan Hari Pernikahan

"Hari sabtu saja," kata Ronald admadja saat sedang mengadakan pertemuan dengan orang KUA. Keluarga Admadja sebisa mungkin membuat pernkahan ini secepat mungkin dan seprivate mungkin. Karena Baginya menikah dengan orang biasa akan menjadi hinaan untukkeluarganya. Pertemuan itu dihadiri semua orang yang bersangkutan. Kecuali, Jesica dan keluarga. Jesica tahu kaar akan di laksanakannya pernikahan antara dirinya dan Billy dalam satu minggu ini. Tapi Jesica tidak tahu tepatnya hari apa mereka akan menikah.

Setelah pertemuan itu, Billy meminta Robin untuk menemui Jesica dirumahnya untuk mengabarkan hari pernikahannya. Robin tanpa keberatan segera pergi kerumah Jesica.

Jesica yang dari pagi hanya bediam diri didalam kamar dan memasak untuk sarapan saja. Tiba-tiba seseorang meneleponnya. Ponsel Jesica berkedip beberapa kali tanpa suara. "Pak Robin," gumamnya saat membaca tulisan yang muncul dalam layar ponselnya.

"Hallo!"

"Non, saya sudah di depan," kata Robin.

"i-iya," sahut Jesica dengan sedikit ngelag karena kata "Non" yang diucapakan oleh Robin.

Dengan langkah yang cepat Jesica menuruni anak tangga dan segera membuka pintu itu. Dan benar saja pria betubuh tegap sudah ada didepan pintu. Jesica segera meminta pria bernama Robin itu masuk kedalam rumah.

"Maaf kalau saya mengganggu jam istirahatnya," kata Robin saat memasuki rumah yang dihuni oleh Jesica seorang.

"Tidak apa-apa."

"memangnya ada apa, pak?" tanya Jesica.

"Saya harus menyamaikan tanggal pernikahan anda dengan pak Billly," jawab Robin.

"Huft…" jesica menghela napas panjang "Kapan?"

"Sabtu, pekan depan. Non,"' jawwab Robin.

"Secepat itu?"

"Iya, Non."

Jesica seketika terduduk lemas karena dia harus memberitahu ibunya untk datang lebih awal. Robin seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Jesica saat ini. "Anda tidak perlu khawator tentang keluarga anda, anda silahkan katakana berapa orang yang akan datang. Maka, saya akan pesankan tiket untuk keluarga anda," ucap Robin.

"Saya akan membelikan sendiri, toh Cuma ibu dan adik saya saja," tolak Jesica.

"Baik, Non." Jesica menatap aneh wajah pria yang biasanya sangat humble kepadanya itu. "Kenapa anda menjadi sangat formal?" tanya Jesica dengan sorot mata penuh selidik.

"Sudah menjadi tugas baru saya untuklebih hormat kepada anda," jawab Robin.

"Tapi, nggak harus memanggil saya dengan kata NON kan?" Jesica menekankan kata yang dia maksud.

"Sesuai posisi anda nantinya di keluarga Admajda," jelas Robin.

"Ha… ha… " Jesica terkekeh. "menantu yang tidak inginkan," celetuk Jesica

"Dalam Sembilan bulan kita tidak tahu apa yang akan terjadi antara anda dan keluarga Admadja."

"Semua sudah di gariskan dan di tentukan oleh kelurga itu, jadi mau apa lagi?"

"Telepas siapa saya nanti, saya tidak nyaman dengan panggilan itu. Panggil nama seperti biasa saja," imbuuhnya.

Robin mengangguk paham dan segera pamit kepada Jesica. "saya pamit dulu, karena masih banyak kerjaan di kantor," pamit Robin. Jesicapun mengantarnya hingga depan pntu rumahnya. Setelah Robin meninggalkan rumah, Jesica kembali ke kamarnya yang ada di lantai dua. Baru beberapa langkah ia menapakkan kaki di atas anak tangga, dia mendengar suara mobillagi yang berhenti di depan rumanhnya. Jesica segera membuka pintu itu lagi. Karena dia mengira Robin kembali untuk mengambil sesuatu.

"Kamu!" seru Billy saat tersentak ketika melihat ssok Jesica sudah ada di depan wajahnya.

"Segitu menantinya ya, sampai gue dateng aja lo udah tahu," ledek Billy seraya masuk kedalam rumah.

"Yah! Saya kira itu Pak Robin," sahut Jesica.

"Robin?" ulangnya.

"Iya. Dia tadi baru saja pulang, aku piker ada barangnya yang ketinggalan makanya dia balik. Eh … tahunya…" Jesica mengurungkan niatnya untuk melanjutkan kalimatnya.

"Taunya apa? Ha! Siapa?" desak Billy.

"Eng…"

"Siapa?" potong Billy. Billy semakin mendekat kearah Jesica yang membuat Jesica tersudut di antara sofa dan Billy.

"P-pak R-robin," kata Jesica dengan gugup. Untuk pertama kalinya Jesica menatap wajah Billy dengan jarak yang amat dekat.

"Kayaknya kamu lebih dekat sama dia," kata Billy seraya meninggalkan Jesica yang masih mematung di ujung sofa ruang tamunya.

"Ya karena dia yang sering kesini," sahut Jesica,

"Dia kesini juga karena perintahku."

"Hemm!" Jesica melipat kedua tangannya dan duduk di sofa untuk menghilangkan rasa gugupnya. Diam-diam kakinya sangat lemas saat menatap mata Billy yang tepat didepan wajahnya.

"Lo kok duduk?" protes Billy.

"Lah! Memangnya kenapa?"

"Lo ambil tas atau ganti baju sana, ikut gue sekarang!"

"Kemana?"

"Ikut saja!"

"Nggak deh," tolak Jesica.

"Ya sudah lo nggak usah ganti baju," kata Billy seraya menarik paksa tangan Jesica.

"Pak…" mendengear suara JesicaBilly melepaskan tangan Jesica dan berhenti berjalan.

"Jes, ini untuk yang terakhir kalinya gue ingetin lo. Jangan panggil gue dengan kata itu. Bagi gue sekarang lo bukan orang asing. Walaupun gue belum bisa menerima elo sepenuhnya," jelas Billy.

"Kalau elo masih canggung menggunakan kata elo gue, lo bisa pakai aku – kamu," imbuhnya.

"Tapi…"

"Nggak ada tapi-tapian," potong Billy.

"Gue juga tahu kok, kalau elo belum bisa menerima gue," imbuhnya.

"I-iya," sahut Jesica.

"Iya apa? Coba lo praktekin," pinta Billy.

"Apa?"

"Ya itu…"

"Itu…"

"Bukan itu, panggilan lo ke gue," jelas Billy.

"Aku… kamu…"

"Astaga bloon amat lo," umpat Billy.

"Panggil nama gue," imbuhnya.

Jesica menarik nafas sebelum menuruti keinginan pria yang ada di depannya. "Bi…lly," ucap Jesica.

"Oke-oke! Ha…ha…" seru Billy dengan senang dan terkekeh. Jesica menatap aneh pria yang mulai berjalan didepannya. Entah apa yang terjadi dengan pria itu hari ini. Ia nampak sangat riang. Rasa angkuh yang biasa dia tunjukkan hilang begitu saja.

Billy mengajak Jesica kesuatu pusat perbelanjaan ternama di Jakarta yang selama ini belum pernah Jesica datangi. Jesica nampak bingun dengan area mall tersebut. sehingga dia tidak mau jauh-jauh dari Billy, dia tidak mau nantinya kehilangan jejak Billy.

"Billy!" panggil seseorang. Jesica dan Billy menoleh kebelakang secara bersamaan. Mereka melihat ada sosok perempuan yang berlari kecil kearah mereka.

"Tumben datang ke tempat begini?" tanya perempuan itu. Dia terlihat menata napasnya karena mengejar Billy dan Jesica.

"Memangnya ada aturan saya nggak boleh datang?" tanya balik Billy dengan tatapan yang sinis.

"Em… Boleh sih. Tapi dulu lo jarang banget datang ke tempat kayak begini," jawab wanita itu dengan enteng.

Jesica hanya menjadi penonton antara mereka berdua. Seolah Billy maupun wanita itu tidak melihat keberadaan Jesica. Hingga akhirnya wanita itu melirik kearah Jesica, "Asisten baru ya?" tanyanya dengan tatapan seolah jijik dengan Jesica. Jesica masih menatap Billy sebelum menjawab pertanyaan tersebut.

"Perkenalkan, saya Alexa. calon tunangan Billy," kata wanita yang mengaku menjadi calon tunangan Billy.

"Mantan!" sahut Billy dengan sorot mata yang menegaskan perkataannya barusan.

"Sepertinya tante Wanda tidak pernah menganggap aku sebagai mantan kamu, Bil."

Billy yang muak segera menarik tangan Jesica untuk meninggalkan Alexa. Alexa wanita penuh ambisi, sehingga dia tidak mau melepaskan Billy begitu saja. Jesica merasa bersalah ketika melihat pertengkaran antara Billy dan Alexa.

"Apa mereka putus karena aku?" batin Jesica.

"Apa aku batalkan saja pernikahan ini?" banyak pertanyaan yang sedang berputar di otak Jesica hingga membuat hatinya menjadi ragu untuk melanjutkan hubungan ini, meskipun hanya sementara.

"Aku mau pernikahan ini dibatalkan," ucap Jesica secara tiba-tiba. Hingga membuat Billy berhenti tiba-tiba.

Next chapter