webnovel

JATUH HATI

Saat melakukan transfer, Lusi sempat menoleh ke arah luar dan tatapannya tertuju pada sosok pria dewasa sedang menunggu dengan sikap wajah yang tampak sabar.

Dirinya tak menyangkal jika pria yang sedang menunggunya sangatlah berpenampilan yang sederhana namun memiliki wajah tampan, meskipun hanya  mengenakan kemeja putih lengan pendek yang dipadukan celana jins warna pudar serta sepatu boot hitam. Hmm, gumam Lusi sambil mencoba menerka asal pria tersebut. Yang pasti bukanlah asli dari daerah sini.

Lusi tak bertepuk sebelah tangan, saat membuka pintu dan tersenyum Lebar, langsung dibalas pria yang sudah menunggu sejak tadi.

Bahkan setelah menjauh dari mesin ATM, dia merasakan kalau pria tersebut sedang menatapnya dari belakang.

Penasaran tak dibiarkannya begitu saja. Lusi Berhenti melangka, dan segera berbalik ke arah pria itu.

Didapatinya tatapan yang ingin mengatakan sesuatu padanya. Seperti berharap untuk tidak secepat mungkin pergi dari tempat itu.

Ah, mungkin aku saja yang terlalu Berharap, gumam Lusi sambil membalikkan tubuhnya dan segera menuju halte.

Hanya 2 sampai 3 menit, pria tadi sudah berada disampingnya.

"Mau ke kampus?"

Lusi yakin pertanyaan itu ditujukan padanya.

"Tahu dari mana aku kuliah?"

"Tampang anak kuliahan udah kelihatan banget."

"Oya?"

"Ya, kira-kira gitu deh."

Tiba-tiba angkot yang ditunggu sudah berhenti di depan halte.

"Mau naik ini juga?"

Pria itu menggangguk.

Angkot yang mereka naiki menuju terminal pusat kota tidak terlalu lama dalam perjalanan karena bukan pada waktu jam macet, hanya berkisar kurang lebih sepuluh menit.

Di terminal, saat turun pria itu memberikan ongkos ke supir angkot.

"Dua orang," ucapnya.

"Thanks...," balas Lusi.

"Minta nomornya dong?," pintanya sambil mengeluarkan handphone dari saku jins.

Laki banget.

Entah apa ini namanya. Jatuh hati?

Someone, ketik pria itu pada notifikasi kontak baru.

Kedunya berpisah dengan membawa sepenggal puisu yang memiliki arti yang sama, namun belum dapat dipastikan seperti apa kisah di ujung esok.

***

Lusi duduk di bangku koridor kampus.

Handset bluetooth yang nempel ditelinganya mengalunkan single duet Anggi dan Mario, Tak Ingin Kau Terluka.

Ingatannya masih terngiang dengan kejadian saat perkenalannya tadi.

Sambil meresapi  arti pada bagian tertentu dari syair lagu Tak Ingin Kau Terluka. Sepertinya Lusi sedang membuat janji, tidak akan pernah berbuat hal yang bodoh hingga membuat pria yang baru dikenalnya tadi tersakiti.

      Jujur, ku ingin pelukmu

Tak ingin mengulangi kesalahan yang sama, seperti dimasa lalu.

"Wah... wah..., sepertinya ada yang lagi... ehem... ehem," goda sahabatnya.

"Hari ini aku happy banget," Lusi terus terang pada sahabatnya itu.

"Udah kelihatan kok dari mata kamu," ujar Rara masih menggoda.

"Ah, sok tau kamu," sahut Lusi asal-asalan.

"Haahaaa... haaaa...," tawa Rara lepas.

Lusi membelalakkan kedua matanya, agar tawa Rara terhenti.

"Sorry, aku ikut senang kok kalau kamu bahagia," Rara beralasan.

"Tapi, ini juga belum pasti..."

"Aku yakin kok, pasti itu cowok balik hubungi kamu."

"Kamu yakin?"

"Mana handphone kamu?"

"Mau ngapain?"

"Biar aku WA."

"Gila kamu."

"Lagian..., kamu nggak yakin."

"Iya... ya..., awas jangan nekat ya?"

"Nggak..., ayo ke kelas," sahut Rara sambil menarik tangan Lusi dan pergi dari koridor kampus.

***

Tanpa basa-basi dengan teman kerja yang bersebelahan meja kerja mereka, Bagas menekan tombol power pada laptopnya. Mulai konsentrasi dengan salah satu

file desain bangunan rumah minimalis 3 dimensi masih perlu penyempurnaan warna. Antara warna tembok dengan kusen. Sehingga pada beberapa tampilan dari tampak 3 dimensi dan beberapa tampilan perspektif akan terlihat serasi.

Kemudian membuka ulang Bab empat proses pewarnaan tembok, kusen pintu dan jendela 3 dimensi. Pada Subbab yang harus diganti gambar tembok dan kusen 3 dmensi yang direvisi pada drawing work Autocad.

Beberapa teman kerjanya melihat Bagas sangat serius.

Hari ini pekerjaan cukup banyak, hingga membuat beberapa rekan kerjanya merasa enggan untuk menyela.

"Pagi Mbak," sapa Bagas sambil memperhatikan beberapa rekan kerjanya yang tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Pagi, Bang...," terdengar suara lembut.

"Dimana nih?"

"Kantorlah..., emang dimana?"

"Kirain masih dirumah, makanya aku video call."

"Emang apa bedanya di rumah dan Kantor?"

"Jelas beda dong..." sambil menatap satu persatu rekan kerja yang saat itu ikut mendengar video call dengan salah satu editor bukunya.

"Oya? Kira-kira apa tuh bedanya?"

"Kalau di kantor yang kita bahas nggak jauh-jauh dari buku, kalau di rumah... pasti ada yang lebih menarik dong."

"Ooo gitu, lain kali Abang video call pas aku di rumah?"

"Emang boleh? Nggak ngeganggu nih?"

"Boleh-boleh aja, sih. Terus kapan ke Jakarta?" Sahutnya sambil mengalihkan topik pembicaraan

"Tau dari mana?"

"Sekretaris redaksi."

"Mbak Nana?"

"Iya."

"Sebenarnya mau ke Bandung, itu pun turun di Surabaya. Nanti setiap hari sabtu, kalau memungkinkan pastilah aku mampir  ke redaksi," jelas Bagas.

"Kok turunnya di Surabaya? Kenapa nggak lewat Jakarta terus ke Bandung?"

"Budgetnya harus lewat Surabaya, sih,"

"Ooo... gitu? Terus kamu masih punya waktu berapa hari sebelum kegiatan di Bandung?"

"Tiga hari, sih. Emang kenapa?"

"Besok aku pulang ke Surabaya, aku jemput di Bandara ya?"

"Oke, thanks. Terus ada revisi kapal layar 3 dimensi pada Bab empat ya?"

"Betul Bang, supaya animasi kapal layar terlihat lebih riil ya. Hanya itu, sih."

"Oke. Makasih, Mbak."

"Daaa..."

"Daaa..."

"Waaah..., bisa seakrab itu?" Sambung Dirk, salah satu rekan kerjanya.

"Udah lama kenal sama dia, jauh sebelum jadi editor aku."

"Gimana ceritanya, tuh?" Rid tampaknya penasaran.

"Masih jaman SMA kelas dua di Surabaya dia ikut lomba model rambut untuk salah satu produk shampo yang diselenggarakan majalah remaja bergender cewek waktu itu," jelas Bagas sambil menatap satu persatu keempat rekan kerjanya.

"Terus...?" Tampaknya Jeane penasaran dan ingin kelanjutannya.

"Tau sendiri kan..., waktu itu belum ada yang namanya handphone."

"Berarti waktu itu kamu suka baca...," sambung Rid ingin lebih tahu.

"Benar, berbagai cerita komik silat, wayang dan komik amerika yang koboi dan Indian. Bahkan cerita dongeng anak karya Hans Christian  Andersen sampai karya novel Abdullah Harahap,  Agatha Christi, Mira W dan banyak lagi. Semua hampir sudah aku lahap. Yang menyebabkan aku jadi hobby koresponden. Pokoknya suka berceritahlah," jelas Bagas panjang lebar.

"Saat melihatnya pertama kali di majalah, apa sih yang membuat kamu tertarik?" Tanya Jeane sedikit penasaran, sehingga membuat yang lain ikut tersenyum.

"Ya..., apa ya? Mmmmh..., aku melihat  tidak hanya wajahnya yang rupawan... Tapi juga merasakan bahwa dia seorang gadis yang sangat cerdas," jelas Bagas.

"Kayaknya masih klise," Jeane masih penasaran.

"Aku percaya sih apa yang dikatakan Bagas," Dirk membenarkan alasan Bagas.

***

Next chapter