20 20. Semakin Kesal

"Kau...,"

"Tidak usah banyak bicara lagi!" sela Elvano sehingga Alekta tidak bisa bicara lagi.

Alekta tidak mengira jika akan bertemu kembali dengan pria seperti dia. Dalam hatinya berdoa semoga dia tidak pernah bertemu dengannya setiap hari.

Karena itu akan membuatnya semakin kesal atau bisa jadi dirinya tidak bisa hidup dengan tenang. Elvano mendudukkan Alekta di atas kursi mobil, dia menutup pintu mobil.

Elvano langsung duduk di kemudian setir, tanpa banyak bicara dia menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang cepat. Karena dia harus segera bertemu dengan seseorang yang begitu penting.

Alekta terdiam, dia kembali teringat akan Caesar. Semua sikap lembut dan agresifnya begitu membekas di hatinya.

Namun, mengapa dia dengan mudahnya bisa melakukannya dengan wanita lain. Apakah selama ini yang dilakukannya hanya karena permainannya saja atau hanya untuk menjebak dirinya.

Alekta terus berpikir keras sebenarnya apa yang menjadi tujuan Caesar. Apakah tujuannya hanya untuk menikmati setiap lekuk tubuhnya. Kalau itu benar maka Alekta merasa sudah tertipu hingga menyerahkan kesuciannya.

Jalanan terlihat padat, inilah yang paling tidak disukai oleh Elvano jika berada di Jakarta. Semuanya tidak bisa sesuai dengan yang diprediksikan.

"Kenapa lama sekali!" gumam Elvano.

Alekta menatap ke arah depan, dia merasa tidak enak karena sudah mengubah jadwal Elvano. Namun, dia masih merasa kesal karena sikap dingin pria itu.

Dari pertama bertemu di Singapura, sikapnya sudah membuatnya sangat kesal. Andai saja tadi dia tidak melamun dan terjatuh, mungkin dirinya tidak akan bertemu dengannya.

"Kamu bisa turunkan aku di sini! Setelah itu kamu bisa kembali melanjutkan pekerjaanmu!" ujar Alekta pada Elvano.

Elvano hanya diam, dia tidak mengatakan apa-apa. Baginya meninggalkan wanita yang sedang terluka bukanlah hal yang pantas dilakukan.

Jalanan mulai sedikit lancar, Elvano langsung menambah kecepatan mobilnya. Beberapa saat kemudian mereka tiba di rumah sakit.

Alekta membuka pintu mobil, dia hendak berjalan dan memasuki rumah sakit. Elvano hanya melihat sejauh mana wanita itu bersikap kuat.

Benar saja, Alekta tidak bisa menggerakkan kakinya. Dia hampir terjatuh dan Elvano kembali membantunya.

"Jangan berpura-pura kuat jika kamu sedang lemah!" ujar Elvano sembari menggendong Alekta kembali.

Elvano berjalan memasuki rumah sakit, seorang perawat memberikan bantuan dengan sebuah kursi roda untuk Alekta.

Namun, Elvano menghiraukannya dia masih saja menggendong Alekta dan bertanya di mana dokter yang bisa membatu masalah kaki yang terkilir.

Perawat tadi langsung menunjukkan sebuah ruangan. Elvano pun langsung mengikuti perawat itu. Dia mendudukkan Alekta di sebuah ranjang.

Tidak begitu lama seorang dokter tiba dan langsung memeriksa Alekta. Alekta pun langsung ditangani dengan cepat.

Ternyata perlu dilakukan penanganan yang lebih serius. Dokter mengatakan jika kaki Alekta tidak terkilir.

Dokter pun menyarankan untuk dilakukan rontgen. Alekta pun berpikir jika kakinya terluka parah.

"Lakukan saja, Dokter!" ucap Elvano dengan tegas.

Dokter pun menyuruh seorang perawat untuk membawa Alekta ke ruang rontgen. Dengan sigap sang perawat  membawa kursi dorong lalu membatu Alekta untuk duduk di kursi tersebut.

Setelah itu sang perawat membawa Alekta ke ruang rontgen. Setelah melakukan rontgen Alekta menunggu hasilnya.

Beberapa saat kemudian hasil sudah diterima oleh dokter. Sang dokter pun langsung memberikan arahan pada asistennya untuk memasang gips pada kaki Alekta.

Setelah semaunya selesai Alekta keluar dengan dua orang perawat yang mendorong ranjang menuju sebuah ruang rawat inap.

Rupanya sang dokter mengatakan jika dirinya harus berada di rumah saki untuk beberapa hari.

Alekta sudah terduduk dibatas ranjang rumah sakit dengan kakinya di gips. Dia melihat Elvano masih berada di ruangan sembari duduk di atas sofa.

Elvano terlihat kesal tiap kali mendapatkan panggilan atau pesan dari ponselnya.

"Pergilah. Aku masih bisa mengurus semuanya sendiri," ucap Alekta yang sudah tidak tahan dengan sikap Elvano.

"Pergi ... hanya itu saja yang kau katakan sedari tadi!" timpal Elvano.

Mendengar apa yang dikatakan oleh Elvano membuat Alekta menghela napas panjang. Dia tidak mengerti dengan pria yang ada di sampingnya itu.

Andaikan dia bukan kakak dari Casandra, mungkin saat ini dirinya sudah meluapkan semua emosinya. Seperti membentak, mencaci maki bahkan mengusirnya.

Beberapa saat kemudian tibalah Casandra, napasnya terengah-engah seperti habis berlari karena di kejar oleh setan.

"Ada apa denganmu? Kau seperti habis dikejar hantu saja?!" tanya Alekta pada Casandra.

"Bukan dikejar hantu! Tapi aku serasa dikejar iblis!" jawabnya sembari melirik ke arah Elvano.

"Terserah kau mau sebut aku apa!" tukas Elvano sembari berjalan meninggalkan ruangan.

Alekta terkekeh melihat sikap Elvano seperti itu. Begitu pula dengan Casandra, dia sama sekali tidak takut jika Elvano akan membakarnya hidup-hidup jika dia terlambat lebih lama lagi.

"Bagaimana keadaanmu?" Casandra berkata sembari berjalan mendekat.

"Ya beginilah, dokter mengatakan aku harus tinggal di rumah sakit beberapa hari. Aku belum menghubungi ibu dan ayah," jawab Alekta.

"Kamu tenang saja, mereka berdua tidak ada di rumah. Aku dengar mereka pergi ke luar kota selama beberapa hari ini." Jelas Casandra.

"Dari mana kamu tahu itu? Aku saja sebagai putrinya tidak tahu?!" tanya Alekta.

Casandra terkekeh-kekeh melihat ekspresi Alekta yang sedang cemburu padanya. Itu membuat dia semakin bersemangat untuk menggodanya.

"Karena mereka lebih sayang aku, sehingga mengatakan ke mana mereka pergi." Casandra menggoda habis-habisan Alekta.

Mendengar semua apa yang dikatakan Casandra membuat Alekta semakin kesal. Dia pun tidak banyak bicara lagi. Bibirnya seperti ditutup oleh perekat.

Tidak tahan dengan wajah Alekta sepeti itu membuat Casandra terkekeh kembali. Saking tidak bisa berhenti, air matanya keluar.

"Hentikan tawamu itu! Aku sungguh kesal dibuatnya!" tukas Alekta.

"Iya. Iya aku hentikan," timpal Casandra sembari berusaha untuk mengontrol tawanya.

Setelah tawa Casandra berhasil terhenti, suasana kembali sepi. Alekta pun beristirahat sejenak.  

Ditatapnya Alekta dengan lekat, dia sangat menyayangi sahabatnya ini. Casandra tidak ingin melihat sahabatnya menderita karena seorang pria berengsek.

Casandra akan melakukan apa saja untuk melindungi sahabatnya itu. Karena baginya Alekta adalah sahabat sekaligus seorang saudari.

"Kamu harus belajar melupakan pria berengsek itu lalu memulai hidup barumu dengan pria yang lebih baik darinya." Ucap Casandra.

Ponsel Alekta bergetar, ada yang menghubunginya. Casandra melihat layar ponsel tertera nama Caesar.

Dia merasa kesal karena melihat nama itu, ingin rasanya dia mencaci-maki pria itu. Namun, Casandra tidak mungkin berteriak di sini karena bisa membangunkan Alekta.

 Casandra berjalan ke balkon lalu dia mengajar telepon dari Caesar. Terdengar suara pria yang begitu memuakkan.

"Hentikan ucapanmu yang menjijikkan itu. Camkan ucapanku ini, jauhi Alekta karena dia akan segera menikah dengan seorang pria yang lebih baik darimu!" ujar Casandra pada Caesar.

 

avataravatar
Next chapter