1 1. Malam dan Rasa

Seorang gadis berlari kecil menuju sebuah halte bus. Dia menghindari derasnya air hujan yang mulai membasahi jalanan beraspal ibu kota Jakarta. Dia memegang gaunnya yang sudah terkena buliran air hujan.

"Menunggu adalah hal yang tidak kusukai," gerutunya sembari mengelus-elus lengannya karena tubuhnya sudah terasa dingin.

Sebuah mobil berhenti tepat di depannya, terbukalah kaca mobil tersebut. Terlihat senyum yang merekah di ujung bibir pria yang ada di dalam mobil. Tanpa mengucapkan sepatah kata gadis itu langsung masuk ke dalam mobil.

"Kenapa lama sekali sih?!" keluh gadis itu sembari memasang safety belt.

"Maaf ... jangan marah lagi ya? Nanti cantiknya hilang loh," sambung sang pria sembari menjalankan mobilnya.

"Gara-gara kamu pakaianku basah! Mana mungkin aku kembali ke kantor dalam keadaan basah seperti ini!" tukas sang wanita.

"Sudah hentikan Alekta, jika kamu menggerutu saja hilang cantiknya!" ucap pria itu sembari menggoda.

Alekta pun diam, dia sudah lelah jika terus harus menimpali pria yang ada di sampingnya yang sedang memegang kendali mobil.

Tidak berapa lama mobil berhenti tepat di sebuah rumah kecil. Pria itu melepaskan safety belt-nya dengan senyum lembutnya menatap Alekta.

"Kenapa kita ke sini? Bukankah seharusnya mengantarku ke kantor!" tanya Alekta.

"Kita masuk dulu lalu ganti pakaian basahmu dengan pakaian bersih," jawabnya.

Alekta membuka pintu mobil lalu dia berlari menuju rumah. Hujan yang deras membuat semua pakaian Alekta dan pria itu basah.

Pria itu melihat Alekta menggigil kedinginan, dia menarik tangannya lalu berjalan menuju kamar. Diambilnya handuk yang tertata rapi di dalam almari.

"Cepat mandi! Jangan sampai masuk angin!" perintahnya pada Alekta sembari menyodorkan handuk yang baru diambilnya.

Alekta mengambil handuknya lalu berjalan menuju kamar mandi. Sedangkan pria itu berjalan keluar dari kamar dengan membawa handuknya lalu dia memasuki kamar mandi yang berada di luar kamarnya.

Hujan semakin deras, suara sambaran petir begitu kuatnya disertai lampu kamar mandi yang padam. Sehingga membuat Alekta berteriak histeris.

Aaaaaaa ... Mendengar teriakan Alekta, pria itu langsung berjalan cepat menuju Alekta. Meski lampu padam, dia masih bisa berjalan menuju kamarnya. Karena dia sudah hafal betul dengan rumahnya.

"Alekta, kamu di mana?" teriak pria itu yang sudah berada di dalam kamarnya.

"Caesar, aku takut...," jawab Alekta dari dalam kamar mandi.

Caesar pun berjalan perlahan menuju kamar mandi, suara petir kembali menggelegar. Dan itu membaut Alekta kembali berteriak histeris.

Alekta Suryana, dia seorang gadis yang sangat pintar dan memiliki banyak talenta. Di umurnya yang baru menginjak 24 tahun dia sudah memegang tanggung jawaban sebagai wakil presdir sebuah perusahaan. Tidak ada satu hal pun yang ditakuti olehnya.

Namun, semua itu tidak benar karena dia memiliki ketakutan terhadap suara gemuruh petir di kala hujan. Itu sebabnya dia tidak terlalu menyukai hujan.

Caesar membuka pintu kamar mandi lalu berkata, "Kamu di mana, Alekta?"

Mendengar suara Caesar tanpa pikir panjang Alekta langsung memeluknya. Dia tidak menyadari jika saat ini tidak mengenakkan sehelai kain pun untuk menutupi tubuhnya.

Mata Caesar terbelalak dengan apa yang dilakukan oleh Alekta. Suara tangis Alekta terdengar olehnya. Dia pun langsung membalas pelukannya.

"Sudah ... Sudah tenang akan dirimu. Ada aku di sini," katanya dengan lembut.

Alekta masih menangis, dia sungguh tidak menyukai dengan suara petir. Itu membuatnya bisa teringat kembali akan kenangan masa lalu yang membuatnya menderita hingga saat ini.

Kilatan petir kembali menggelar, Alekta semakin erat memeluk Caesar. "Jangan lepaskan aku...."

"Tidak. Aku tidak akan melepaskan kamu," jawabnya dengan lembut.

Caesar merasakan tubuh Alekta bergetar, terasa sekali jika gadis yang memeluknya itu sangat ketakutan.

"Apa kamu bisa berjalan?" tanya Caesar dengan lembut pada Alekta.

"Kakiku tidak bisa digerakkan," jawabnya dengan lirih.

"Lepaskan tanganmu dulu, aku sulit bernapas!" ungkap Caesar sebab dia sudah merasa tidak nyaman dengan dirinya.

"Tidak!" imbuh Alekta.

Caesar pun melepaskan tangannya lalu menggendong Alekta. Dia berjalan perlahan di tengah kegelapan. Ada kelip cahaya dari ponsel yang ada di atas nakas.

Sehingga dia tahu dengan tepat di mana tempat tidurnya. Di rebahkannya tubuh Alekta secara perlahan.

"Lepaskan dulu ya. Aku akan mengambil lilin agar tidak terlalu gelap," ucap Caesar lirih.

"Tidak. Aku takut...," jawab Alekta yang masih mengalungkan kedua tangannya di leher Caesar.

"Jadilah anak baik, aku hanya sebentar!" sambungnya.

Alekta secara perlahan melepaskan tangannya, dia berusaha untuk tenang. Meski tubuhnya masih gemetar karena rasa takutnya belum hilang.

Dia duduk di atas tempat tidur dengan memeluk kedua kakinya yang ditekuk. Gelap, dingin serta suara hujan yang dirasa semakin deras. Di luar sudah terlihat gelap karena hari sudah malam.

Darrrrr ... Alekta terperanjat, suara halilintar yang begitu besar. Tangisnya menyeruak, dia sudah tidak bisa menahan rasa takutnya.

"Ayah, bunda ... Aku takut," gumamnya yang masih memeluk kedua kakinya yang ditekuk.

Dia terlihat seperti seorang gadis kecil yang takut dan tidak ada yang melindunginya. Rasa sedih dan takut semakin memuncak tatkala dia kembali teringat akan tragedi itu.

Tragedi yang membuatnya harus meminum obat penenang dan berhadapan dengan psikiater. Selama bertahun-tahun dia menghadapi semuanya seorang diri.

Caesar memasuki kamar dengan lilin yang menyala di tangannya. Dia melihat Alekta yang duduk sambil memeluk kedua kakinya. Terdengar gumaman darinya yang terasa memilukan.

Dia berjalan mendekat lalu menyimpan lilin yang menyala itu di atas nakas. Caesar duduk tepat di samping Alekta.

"Alekta...," panggil Caesar dengan lembut.

Namun, Alekta tidak mendengar panggilan Caesar dan dia pun tidak menyadari jika Caesar sudah berada di sampingnya.

"Alekta...," Caesar kembali memanggil Alekta kali ini dia menyentuh tangannya.

Tangannya terasa begitu dingin, tubuhnya masih gemetaran. Caesar langsung memeluknya dengan erat, seraya ingin membuatnya merasa terlindungi.

Entah mengapa dia tidak ingin melihat gadis di sampingnya itu merasa sedih dan kesakitan. Perasaan yang dipendamnya selama beberapa bulan ini kembali menyeruak.

"Tenangkan dirimu, aku ada di sini!" ucap Caesar dengan lembut sembari mengecup pucuk kepala Alekta.

"Mengapa kamu lama sekali?" tanya Alekta dengan lirih.

"Maaf," sambung Caesar.

Pelukan hangat Caesar secara perlahan membuat Alekta sedikit tenang. Namun, berbeda halnya dengan Caesar yang berusaha keras untuk meredam hasratnya.

Karena saat ini tubuh Alekta tidak terbungkus oleh sehelai kain pun. Sedangkan Caesar hanya menggunakan sehelai handuk yang melilit di pinggangnya.

Alekta membalas pelukan Caesar, kulit mereka saling menempel. Degup jantung Caesar mulai tidak beraturan. Hasratnya mulai meningkat tatkala menerima embusan napas Alekta yang terasa di tubuhnya.

Secara perlahan Alekta mengubah posisi tubuhnya yang duduk menjadi terbaring di atas tempat tidur dan di dalam pelukan Caesar.

'Sial! Aku tidak bisa menahannya!' batin Caesar.

avataravatar
Next chapter