1 Prolog

Medan, January 1 2018. Pukul 00.00 WIB.

Disinilah mereka berada, di atap gedung Medan National University (MNU), merebahkan diri mereka menatap langit yang dihiasi kembang api.

Mereka terdiam, entah menikmati pemandangan di langit atau sibuk dengan pemikiran masing-masing.

Entah apa yang membuat mereka memilih merayakan tahun baru mereka di sini, Maya, Puspita, dan Rani.

"Resolusi 2018, ayo kita membuatnya!" seru Maya tiba-tiba.

Puspita dan Rani hanya menoleh sekilas ke arah sahabatnya itu dengan senyum mengembang.

"Kalian tahu kan, entah sampai kapan aku bisa bertahan. Aku tidak ingin mati dengan sia-sia. Ada banyak hal yang ingin kulakukan sebelum aku mati!"

Perkataan Maya sukses membuat kedua sahabatnya itu bergidik ngeri, keduanya langsung menegakkan badan dan menatap Maya sendu.

Maya, gadis cantik yang sayangnya sakit. Meski ia terus berjuang melawan kanker-nya, belum ada kemajuan yang cukup berarti selama ini, kondisinya semakin memburuk setiap harinya.

"Ayo kita lakukan bersama!" Maya ikut menegakkan badannya dan menatap kedua sahabatnya itu bergantian.

"Terdengar bagus, ayo kita buat!" dukung Rani.

Rani menarik tasnya mendekat lalu mengambil sebuah buku dan pena dari sana. Begitu pun Puspa dan Maya yang langsung mendekat dan memperhatikan saat Rani mulai menuliskan sesuatu di sana.

"This year, I will..."

Rani mendongak menatap kedua sahabatnya.

"Get ma first love, yooo!" seru Puspa dengan penuh antusias.

Rani tersenyum dan menulis apa yang diucapkan Puspa barusan.

"Get my first kiss!" sambung Maya.

Ketiganya terkekeh pelan saat Rani menulisnya di buku. Baiklah, berapa usia mereka? Bagaimana mereka bisa menyimpan ciuman pertama mereka sampai detik ini?

"Travel somewhere new," seru Rani semangat.

"Go to six concert!" imbuh Puspita.

"For me, I'll eat my all medicine with hapily!" Maya berseru dengan semangatnya.

Mendengar ucapan Maya, Puspa langsung menggenggam erat tangan Maya dan tersenyum penuh arti,

begitu pun Rani yang tengah menulis ucapan Maya dengan senyum yang mengembang di wajahnya.

"I wanna learn something new, maybe music, or basket?" Kata Rani sambil menulis keinginannya di buku. Selama ini, Rani tidak melakukan apa pun selain pergi ke kampus, dan tidur di rumah. Jadi, ia rasa ada baiknya jika dirinya bisa mencoba hal baru di luar.

"Aku harus mencari Naya! Apa pun yang terjadi, aku akan terus mencarinya sampai kami dipertemukan kembali! Setidaknya aku harus mengetahui keadaannya sebelum aku mati." sambung Maya. Ia mendongak menatap langit di atas sana yang dihiasi asap dari kembang api.

Naya adalah saudara kembar Maya, mereka berpisah saat masih kecil. Dan karena kini Maya hidup sendiri, ia berharap menemukan saudaranya itu secepatnya.

"Kau pasti akan bertemu dengannya! Pasti! Tapi please, jangan mengatakan sesuatu tentang mati atau apa pun itu! Kau akan hidup lebih lama dari yang dokter sialan itu katakan!" geram Rani. Ia merasa sakit setiap kali Maya mengucapkan sesuatu yang buruk soal kematian atau semacamnya.

Ayolah, seharusnya mereka tidak mengatakan sesuatu yang seperti itu pada pasiennya, tentang berapa lama lagi kemungkinan mereka bisa hidup. Mereka bukan Tuhan.

Maya hanya menampakan senyum tanpa dosanya pada sahabatnya itu. Ia hanya tidak ingin membohongi dirinya sendiri.

"Rani benar. Berhenti mempercayai dokter sialan itu! Dia bukan Tuhan! Kau akan hidup lebih lama dari yang bisa kau bayangkan!" imbuh Puspita.

Ia langsung merangkul Maya dan mengusap lembut lengan gadis itu, seolah lengan Maya adalah benda paling rapuh yang pernah ada, benda yang akan hancur saat kau menekannya sedikit saja.

"Ayo, kita lanjutkan!" seru Maya pelan.

"Ah, aku tahu. Di tahun ini, aku akan membuktikan pada semua orang bahwa aku bukanlah penyuka sesama jenis seperti yang mereka tuduhkan. Meskipun aku tumbuh besar di lingkungan yang hina, aku adalah Rani yang baik, normal, dan berprestasi!" seru Rani dengan emosional.

Selama ini, ia cukup tertekan atas penilaian semua orang kepadanya. Penyuka sesama jenis, tinggal di lingkungan prostitusi, dan masih banyak lagi rumor buruk tentangnya. Ia rasa, ia harus melakukan sesuatu untuk membuktikan bahwa semua yang orang-orang itu tuduhkan, salah besar.

Puspita dan Maya tersenyum penuh arti, mereka menggenggam tangan Rani untuk memberi dukungan pada sahabatnya itu.

"Hidup Rani!" teriak Puspita dan Maya dengan kompak, membuat ketiganya tertawa lepas.

"Aku juga, aku tidak akan lagi membiarkan kelinci brengsek itu menindasku. Di tahun ini, aku benar-benar harus terbebas dari makhluk menyebalkan itu!" tukas Puspita dengan semangat membara.

"Itu bagus! Dia harus berhenti mengganggumu dan mulai menghargaimu!" sahut Maya.

Puspita mengangguk mantap, meski entah dengan cara apa ia akan melakukannya.

"Harus!" ulang Puspita dengan penuh keyakinan.

Mereka lalu berpikir sejenak sebelum akhirnya menatap satu sama lain.

"Apa ada lagi yang harus kutambahkan?" tanya Rani.

Puspita dan Rani saling pandang lalu menggeleng dengan kompaknya.

"Baiklah, kurasa cukup." Rani menutup bukunya, ia lalu kembali merebahkan tubuhnya dan menatap langit di atas sana. Berkali-kali ia menghela napas panjang.

"Menurut kalian, apa Tuhan itu memang ada?" gumam Rani pelan. Namun tidak sepelan itu karena Puspita dan Maya bisa mendengarnya dengan cukup jelas.

"Tentu saja!" sahut Maya.

"Aku tidak yakin. Jika Tuhan itu ada, Dia seharusnya tidak melakukan ini pada kita! Kita ini orang baik kan? Kenapa Dia tidak memberikan kehidupan yang baik juga untuk kita?!" ketus Rani.

"Itu karena Tuhan tahu kalau kita akan baik-baik saja. Kita bisa melewati ini. Mungkin, Tuhan sudah menyiapkan kehidupan yang luar biasa untuk kita beberapa tahun yang akan datang. Kita tidak tahu kan?" sergah Maya.

Rani menghela napas panjang dan menarik Puspita serta Maya untuk ikut merebahkan tubuh mereka juga.

Ketiganya lalu menerawang jauh ke atas langit.

"Aku tidak meminta banyak. Aku hanya berharap Tuhan akan berbaik hati padaku dan membuat para manusia sialan itu berhenti menatap hina ke arahku!"

"Hei, Raniii, ayolah! Lupakan soal mereka. Mereka itu idiot! Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Abaikan saja mereka!"

Rani terkekeh geli mendengar ucapan Puspita barusan. Tapi, jika dipikir-pikir, tidak ada yang salah dengan ucapan gadis itu.

"Pus benar! Abaikan saja orang-orang idiot itu! Mungkin mereka terlalu banyak menonton acara gosip! Jadi otak mereka dipenuhi tuduhan-tuduhan busuk!" dukung Maya.

"Yeah, kurasa kalian benar! Hei, lihat kembang api yang baru menyala itu, menurutmu, dari mana itu dinyalakan?" pekik Rani saat sebuah kembang api kembali dinyalakan dan secara bertubi-tubi melukis langit malam dengan keindahan bunga berwarna-warni.

"Siapa yang peduli!" cibir Rani sambil menggeleng pelan.

"Guys, kita harus segera pergi sebelum Pak Penjaga menemukan kita dan menyeret kita turun!" Maya menyikut pelan lengan Rani.

"Tenang saja, dia itu pemalas, dia tidak pernah berkeliling pada malam hari!" samber Puspita.

"Tahu dari mana?"

"May, kau tahu? Setiap dinding di kampus ini, punya telinga!"

avataravatar
Next chapter