94 MCMM 93

Happy Reading ❤

"Bagaimana menurut ibu? Apakah mungkin mas Banyu dan kak Adis bisa bersatu?" tanya Sita dengan suara pelan saat mereka duduk menikmati suguhan kopi dan cemilan setelah selesai makan malam.

"Entahlah Ta. Ibu tak lagi berani berharap. Kamu lihat sendiri kan bagaimana sikap nak Adis. Dia tetap ramah sama kita tapi dingin kepada Banyu," Aminah menghela nafas. "Ibu nggak menyalahkan sikap nak Adis karena ibu mengerti sekali bagaimana dulu dia berjuang mengejar cinta Banyu, namun pada akhirnya Banyu meminta dia berhenti."

"Tapi bu, menurut Aidan masih ada kesempatan buat mas Banyu kalau memang dia serius ingin mendapatkan kembali kak Adis. Memang nggak akan mudah dan mungkin butuh waktu yang tidak sebentar," tambah Aidan.

"Wah, anak ibu semakin dewasa aja nih," goda Aminah. "Bijak kata-katanya."

"Harus dong bu. Aidan kan sudah menjadi calon ayah," jawab Aidan sambil merangkul sang istri. "Kehadiran ibu dan Sita dalam hidup Aidan menjadi pemicu supaya Aidan bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Apalagi di dalam sini sudah ada Aidan junior."

"Bu, perhatiin deh. Salma anaknya kak Intan kok lengket banget ya sama mas Banyu. Padahal menurut cerita kak Intan, mereka baru berinteraksi hari ini. Tadi siang dan malam ini," komentar Sita sambil menunjuk ke arah Salma yang sedang duduk di pangkuan Banyu.

"Menurut cerita Gladys, tadi siang saat pertama bertemu Banyu, Salma langsung memanggilnya 'daddy'. Bahkan Salma sempat ngambek karena keinginannya menjadikan Banyu sebagai daddy ditolak oleh Gladys." Intan menjelaskan. Yang lain terkejut mendengar cerita Intan. Mereka tak menyangka anak Salma bisa mwncetuskan ide seperti itu.

"Nak Intan, bagaimana dengan keluarga nak Adis? Apakah mereka masih berusaha menjodohkan dia dengan pria pilihan mereka?"

"Intan kurang tahu pastinya bu. Selama 3 tahun terakhir ini Gladys sama sekali nggak mau pulang ke Indonesia. Bahkan saat eyang Tari meninggal dia juga nggak mau pulang. Padahal Gladys adalah cucu kesayangan eyang Tari." Intan menatap prihatin kepada sahabatnya yang duduk menemani Salma. "Tapi menurut info yang Intan dapat dari Khansa, sepertinya orang tua Gladys, terutama mami Cecile, sudah menyerah mengenai urusan perjodohan. Semuanya terserah Gladys. Buat mereka sekarang yang penting adalah Gladys mau kembali ke Indonesia."

"Ibu dengar, nak Gibran mau menikah ya?"

"Iya bu. Itu salah satu masalah lain. Bang Gibran pengen banget Gladys hadir di pernikahannya. Tapi sampai sekarang Gladys belum berubah pikiran. Ia masih menolak pulang ke Indonesia."

"Apakah di sini kak Adis nggak punya pacar?" tanya Sita kepo. Intan menggeleng.

"Ada salah satu teman bule yang mualaf yang tertarik pada Gladys. Kami sering bertemu di pengajian yang diadakan di KBRI. Tapi Gladys selalu menolak diajak kencan. Dia sering menjadikan Salma sebagai alasan bila diajak kencan oleh Brian," jawab Intan. "Saya dan mas Haidar agak khawatir meninggalkan dia. Sebentar lagi mas Haidar akan menyelesaikan kuliahnya. Setelah itu kami akan kembali ke Indonesia. Entahlah nanti siapa yang akan menemani Gladys disini."

"Nak Intan, boleh ibu tanya sesuatu?"

"Apa bu?"

"Apakah kamu yang merencanakan makan malam ini?" Intan mengangguk.

"Intan ingin Gladys membuka hatinya kembali untuk Banyu. Karena Intan tahu, Gladys masih memiliki rasa untuk Banyu."

"Berarti mas Banyu sudah tahu kalau kak Adis belum menikah dan belum punya anak?" tanya Sita. Intan kembali mengangguk sambil tersenyum lebar.

"Wah, kak Intan cocok jadi sutradara atau penulis novel nih," puji Sita yang disambut tawa oleh yang lain.

Gladys menoleh saat mendengar tawa mereka. Intan dan Aidan mengangkat jempol ke arahnya.

"Salma, it's bed time." Gladys berusaha tak mempedulikan suara tawa para tamunya. Ia hanya ingin cepat-cepat menghilang dari hadapan Banyu.

"Mommy, I want to play with daddy," rengek Salma sambil memeluk erat leher Banyu. Ia tak mau melepaskan pelukannya. Padahal biasanya bila Gladys yang mengajak ia pasti akan langsung menerima. Tapi tidak malam ini.

"Salma, he's not your daddy dan he won't become your daddy," ucap Gladys sambil berusaha menekan perasaan tak sabarnya. "Mommy already told you about this."

"But mommy, I dont want to see you alone. Ummi has abi. You have no one." Ucapan Salma cukup menohok perasaan Gladys. "Why can't uncle Banyu become my daddy. Why mommy, why?"

"Yes, why princess?" tanya Banyu sambil menatap Gladys.

"Salma, let's go to the bathroom. You have to take a bath before sleep. You're already sleepy." Gladys tak mempedulikan pertanyaan Banyu. Ia berusaha mengambil Salma dari pangkuan Banyu.

"No mommy, no." Salma bersikeras menolak ajakan Salma. Ia semakin erat memeluk Banyu.

"Princess biarkan sebentar lagi dia bermain sama aku." Banyu berusaha membujuk Gladys. Ia tahu Gladys hanya ingin cepat-cepat menghindarinya.

"Salma, it's already pass your bed time," bujuk Gladys tanpa mempedulikan Banyu. "I've promised that I will read the story you choose. C'mon honey."

Salma menatap Gladys dan Banyu bergantian tanpa melepaskan pelukannya pada leher Banyu. Akhirnya... "Okay, but I want daddy to read the story for me."

Sesaat Gladys terdiam. Mendadak lehernya terasa tegang. Jantung berdebar lebih kencang dari biasanya. Ia membuang pandang. Itu ia lakukan karena tak sanggup melihat ke arah Salma. Bukan karena ia tak ingin, namun ia tahu sejak tadi Banyu terus memandanginya. Ada sesuatu yang berbeda pada tatapannya. Entah apa.

"Okay, uncle Banyu will read the story," Akhirnya Gladys menyerah. "Nggak papa kan.... mas?... Eh uncle."

Hati Banyu bergetar saat Gladys menyebutnya mas. Sejak pertama bertemu kembali, baru kali ini Gladys memanggilnya seperti itu.

"Little princess do you want me to read the story?" Salma mengangguk. Matanya memancarkan kecemasan. Salma cemas Banyu akan menolak.

"Is it okay with you,... mommy princess?" goda Banyu sambil mengedipkan sebelah matanya. Salma terkekeh melihat Banyu menggoda Gladys.

"Nggak usah norak!" sahut Gladys ketus. Banyu membisikkan sesuatu di telinga Salma yang langsung terkikik mendengarnya. Gladys langsung memandang curiga Banyu. Namun Banyu pura-pura bersikap normal.

"Mommy, will you sleep beside me while daddy read the story?" tanya Salma tiba-tiba dengan wajah polos. Mata Gladys langsung membulat saat mendengar permintaan Salma. Kemudian ia menoleh galak pada Banyu.

"Jangan suka mengajarkan hal yang nggak-nggak ke anak kecil," tegur Gladys kesal. "Tadi kamu ngomong apa ke Salma?

"Aku nggak ngomong yang aneh-aneh kok. Wajar kan aku minta kamu menemani kami? Pertama, aku dan Salma baru bertemu hari ini. Aku yakin kamu juga nggak akan membiarkanku membantu Salma membersihkan diri sebelum tidur. Kedua, aku nggak terlalu tahu bagaimana caranya mengurus anak kecil yang rewel. Kamu tahu kan kalau aku belum pernah punya anak. Ketiga aku ingin Salma merasa tenang dengan kehadiranmu di dekat dia. Aku berani bertaruh kalau kamu pasti lelah menyiapkan acara malam ini." Banyu memberi argumen yang tak mungkin ditolak Gladys.

"Mommy... please," bisik Salma dengan wajah memelas. Wajah yang mirip sang ummi bila hendak membujuknya. Mau tak mau Gladys tersenyum melihat wajah Salma. Dijawilnya pipi gembil Salma.

"Terima kasih," bisik Banyu saat ia menggendong Salma menuju kamar mandi. Gladys berjalan di depannya.

"Hmm..." Hanya itu reaksi Gladys.

Tak lama, mereka bertiga sudah berada di kamar Gladys. Seperti biasa, Salma ingin tidur bersama Gladys. Banyu memandangi sekeliling kamar Gladys yang di dominasi dengan warna merah muda dan putih. Warna khas kamar putri. Mirip warna kamar Nabila di rumah ayah mereka.

"Okay, now you pick the book." Mereka sedang memandangi deretan buku di perpustakaan mini yang ada di kamar tersebut.

"Mommy, I want you to pick a book for me. And daddy, you have to read it for me." Dengan gayanya yang sok bossy namun menggemaskan, Salma mulai memberi perintah. "Please."

Setelah memilih salah satu buku, Salma masuk ke dalam selimut dan bersiap-siap mendengar cerita yang akan dibacakan oleh Banyu.

"Mommy, lie down beside me please. I want to hold your arm while daddy read the book," pinta Salma. Ya memang kebiasaan Salma adalah memeluk lengan Gladys bila hendak tidur.

"Salma. please don't call him daddy. He's not your daddy. You've already have abi," tegur Gladys lembut. "Just call him uncle Banyu."

"No. I want to call him daddy." Salma bersikeras.

"You can call me daddy." Banyu menenangkan Salma yang matanya sudah mulai berkaca-kaca. "Biarin Dys. Nanti kalau kita nggak bertemu lagi lama-lama dia juga akan lupa."

Kita nggak bertemu lagi. Kalimat itu entah mengapa menggoreskan rasa pedih di hati keduanya. Namun keduanya menyimpan rapat-rapat rasa itu.

"Ya sudah, kamu rebahan saja di samping Salma. Biar bisa cepat mulai membacakan cerita untuk dia. Kamu juga pasti ingin cepat beristirahat kan?" tanya Banyu lembut.

"Tapi..."

"Nggak ada tapi-tapian. Malam ini aku nggak mau dibantah. Aku ingin kamu juga istirahat. Kamu sudah melakukan banyak hal untuk menyambut kami. Sekarang giliran aku yang melakukan sesuatu untuk membalas kebaikanmu." Banyu benar-benar tak ingin dibantah. Ia mendorong lembut tubuh Gladys hingga ia bersandar. Diselimutinya tubuh Gladys.

Banyu mulai membacakan cerita dengan suaranya yang dalam dan menenangkan. Suara yang mampu membuat Salma terlelap. Rupanya bukan hanya Salma yang terbuai dengan suara Babyu.. Gladys yang tadinya duduk bersandar kini sudah bergelung di bawah selimut sambil memeluk Salma. Keduanya terlihat begitu damai dalam tidurnya. Banyu masih melanjutkan membaca selama beberapa saat hingga akhirnya ia yakin keduanya sudah tertidur pulas.

Perlahan Banyu bangkit dari duduknya. J

Ia rapikan selimut hingga menutupi dada Gladys. Baik Salma maupun Gladys tak ada yang terbangun saat Banyu bangkit dari tempat tidur. Banyu berlutut di samping ranjang. Banyu tersenyum menatap Gladys yang sudah sangat lelap tidurnya. Terdengar dengkuran halus Gladys. Dengan hati-hati dielusnya kepala Gladys yang masih tertutup jilbab. Tak ada hal lain yang Banyu lakukan selama beberapa menit, selain memandangi Gladys. Ada getaran halus di hatinya dan seolah puluhan kupu-kupu beterbangan di perutnya.

"Mas Banyu," terdengar suara pelan memanggil diiringi pintu kamar yang terbuka. Rupanya Intan menyusul mereka. Banyu memberi isyarat agar Intan tidak berisik. Ia bangkit dan mengikuti Intan keluar kamar.

"Gladys sudah tidur? Salma?"

"Mereka tertidur dalam waktu hampir bersamaan. Sepertinya Gladys benar-benar lelah." Banyu menutup pintu kamar pelan-pelan.

"Ia memang seperti itu kalau sudah melakukan sesuatu. Kadang ia suka lupas istirahat. Oh iya, ibu mas Banyu mau ajak pulang. Sepertinya

Sita sudah lelah."

"Terima kasih ya Intan karena kamu mau bersusah payah mempertemukan kami."

"Sama-sama mas. Intan harap pertemuan ini bisa berlanjut ke arah yang lebih serius dan kalian bisa kembali bersama."

"Entahlah Ntan. Sepertinya hati Gladys sudah membeku. Sikapnya selalu dingin kepadaku. Padahal kamu lihat sendiri bagaimana sikapnya kepada keluargaku." Banyu terlihat kesal sekaligus sedih.

"Sabar mas. Yang namanya berjuang itu nggak pernah gampang. Kalau gampang itu namanya permainan bukan perjuangan. Makanya permainan dapat dilakukan oleh siapapun, tapi tidak demikian halnya dengan perjuangan. Dibutuhkan pengorbanan dan tekad yang kuat untuk memperjuangkan sesuatu. Di saat berhasil, maka kepuasan yang di dapat mampu memberikan kebahagiaan lahir dan batin."

⭐⭐⭐⭐

Alarm ponsel Gladys berbunyi nyaring. Gladys terbangun. Buru-buru ia matikan alarm tersebut sebelum Salma terbangun. Diliriknya jam yang ada di atas nakas. Waktu menunjukkan pukul 03.45. Waktunya untuk shalat malam. Gladys meraba kepalanya. Ia masih memakai jilbabnya. Demikian juga ia masih mengenakan baju yang sama dengan tadi malam. Pelan-pelan ia sibakkan selimut yang menutupi tubuhnya... Selimut? Siapa yang menyelimutinya. Biasanya ia jarang memakai selimut. Apakah semalam ia tertidur di depan Banyu? Ya tuhan, gimana kalau dia mendengar aku mendengkur? Gimana kalau tadi malam mulutku terbuka lebar? Ya ampun malu banget kalau begitu kejadiannya. Wajahnya langsung memerah.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Siapa yang kirim pesan jam segini? Gladys menghitung-hitung di Indonesia sudah jam 9 pagi. Apakah salah satu anggota keluarganya? Gladys membuka pesan tersebut karena menyangka itu dari keluarganya di Indonesia. Ah, paling-paling Khansa nih. Cuma Khanda yang tahu kebiasaannya bangun di jam-jam seperti ini.

"Assalaamu'alaykum princess. Jangan lupa shalat malam ya." Gladys otomatis melempar ponselnya ke atas ranjang. Ngapain dia kirim pesan jam segini? Iseng banget, omel Gladys. Buru-buru ia bangkit menuju kamar mandi. Selesai berwudhu, Gladys melirik kembali ponselnya yang masih tergeletak di ranjang. Ada dorongan untuk membuka ponsel karena dilihatnya lampu notifikasi berkedip-kedip. Ah, cuekin ajalah. Akhirnya Gladys memilih membiarkan ponselnya dan melanjutkan niatnya untuk shalat malam. Kegalauan hatinya mengalahkan keingintahuannya. Kalau dia membuka ponsel hanya akan menambah kegalauannya.

Sementara itu di tempat lain, Banyu tersenyum saat melihat pesannya dibaca. Ia tak mengharapkan apapun untuk saat ini. Melihat pesannya dibaca saja sudah membuatnya bahagia. Sabar Nyu, perjuangan baru akan dimulai.

⭐⭐⭐⭐

avataravatar
Next chapter