87 MCMM 86

Kebahagiaan tidak melulu karena dicintai ataupun mencintai, memiliki atau dimiliki...

Kadang kebahagiaan tercukupi dengan melihat orang-orang di sekitar kita berbahagia...

Kebahagiaan terasa lebih nikmat saat dibarengi dengan rasa syukur atas segala nikmat dariNya...

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading ❤

"Sayang... dimana kamu taruh kemejaku yang warna hitam?"

"Ada di lemari gantung. Semalam sudah aku siapkan."

"Oke, ketemu! Terima kasih ya sayang."

"Ayo sarapan dulu. Aku sudah masak lho."

"Waah, masak apa nih?"

"Yang simpel aja mas buat pagi ini, nasi goreng seafood. Kebetulan kemarin pas belanja lihat udang kok gede-gede banget."

"Wah, kelihatannya enak. Oh ya, apa rencana kamu hari ini?"

"Hmm.. paling ke kantor habis itu jemput Salma di daycare. Hari ini aku sudah janji mau ajak dia ke taman. Anakmu itu walau baru dua setengah tahun tapi kalau sudah dijanjikan sesuatu pasti bakal ditagih terus."

"Persis umminya."

"Enak aja, abinya tuh yang kayak begitu. Umminya mah nggak pernah menuntut apa-apa."

"Iya deh... kayak abinya. Aku ngalah saja daripada malam ini disuruh tidur di kamar Salma."

"Sekali-sekali tidur di luar nggak apa-apa, mas."

"Enak aja. Kalau lagi winter begini kan enaknya tidur di kamar sambil pelukan."

"Huuu.. itu sih maumu mas."

"Aku duluan berangkat ya. Ada meeting dengan investor baru. Doain proyek yang ini lolos. Kalau lolos, aku akan membelikan Salma baju princess yang dia minta sejak bulan lalu."

"Hati-hati ya. Oh ya, nanti malam ada ada undangan makan dari Brian. Jangan sampai telat."

"Hmm....."

⭐⭐⭐⭐

"Pak, besok pesawatnya jam satu siang. Ada yang perlu disiapkan buat ibu? Kemarin ibu bilang dia mau bawa kue buatannya. Tapi saya khawatir nggak akan lolos di bandara sana,"

"Biar nanti saya yang ngomong sama ibu. Oh iya, ingatkan Bintang untuk menyelesaikan dokumen yang akan saya tanda tangani sebelum jam makan siang. Karena saya ada janji makan siang di luar. Jangan lupa ingatkan Ridho untuk segera mentransfer gaji para karyawan hari ini. Kemarin perintah transfer sudah saya setujui. Saya nggak mau pergi tapi masih memiliki tanggungan di sini. Dan kamu, jangan lupa siapkan dokumen-dokumen yang besok akan saya bawa."

"Baik pak. Ada lagi pak? Oh ya, bapak benar-benar nggak mau didampingi oleh mas Restu?" tanya sekretaris bernama Citra itu.

"Nggak perlu. Karena kepergian saya kesana bukan hanya urusan pekerjaan, tapi juga urusan keluarga. Kasihan Restu kalau harus mendampingi saya untuk urusan yang bukan urusan kantor. Biar Restu mewakili saya disini. Kamu bantu dia ya."

"Siap pak! Kalau tidak ada lagi yang lainnya, saya permisi dulu pak."

"Satu hal lagi Cit, bilang sama Restu untuk cepat-cepat melamar kamu. Soalnya pak Maulana sudah sering tanya-tanya soal kamu. Kayaknya dia suka sama kamu."

"Ah, bapak bisa saja. Mas Restu mau menunggu adik bungsunya wisuda dulu pak. Setelah itu baru melamar saya."

"Kelamaan. Nanti keburu kamu dikhitbah orang lain lho.."

"Siapa yang mau dikhitbah, pak?" tanya Restu yang masuk sambil membawa setumpuk dokumen.

"Citra mau dikhitbah Maulana kalau kamu nggak buru-buru mengikat dia."

"Yang benar Cit? Kamu ada hubungan apa dengan Maulana?" tanya Restu cemburu.

"Nggak ada hubungan apa-apa. Tuh pak Banyu aja yang asal ngomong," elak Citra. "Pak Banyu sih, mas Restu jadi salah sangka deh."

"Kamu itu kelamaan, Tu. Cewek cantik dan shalihah model Citra begini jangan kelamaan dipacarin. Mendingan buru-buru dinikahi, minimal dikhitbah sebelum nanti ada yang mendahului. Maulana dari divisi marketing sudah sering menanyakan soal Citra. Kamu tahu kan kalau Maulana sudah setahun menduda."

"Saya mau menunggu adik saya wisuda dulu, Pak. Insyaa Allah bulan depan dia wisuda. Setelah itu baru saya akan ke rumah orang tua Citra," ucap Restu sambil menatap kekasihnya. Yang ditatap langsung tertunduk malu dan buru-buru keluar ruangan. Banyu dan Restu tertawa melihat hal itu.

"Pak, beneran nggak perlu saya dampingi?"

"Nggak usah. Semua sudah kamu siapkan kan? Lagipula saya kesana kan cuma bertemu sebentar dengan mister Messut untuk tanda tangan perjanjian kerja sama kita. Setelah itu saya ada urusan keluarga. Kamu standby saja di sini Jaga gawang. Oh iya, pak Agus besok lusa akan datang. Tolong kamu kirim kendaraan untuk menjemput beliau ya dan langsung antar ke rumah."

"Siap bos."

⭐⭐⭐⭐

"Dek, elo nggak mau balik?"

"Nggak dulu bang. Masih banyak kerjaan disini."

"Mami kangen sama elo."

"Hmm..."

"Kok gitu doang reaksi lo? Papi juga nanyain kapan elo balik."

"Belum mood untuk balik bang. Lagipula gue nyaman disini. I enjoy my time here, with Salma."

"Tapi Dys... "

"Bang, gue mau meeting. Sudah dulu ya, bang. Salam buat semuanya." Gladys langsung memutus pembicaraan dengan Gibran. Ia duduk termenung menatap pemandangan sungai Thames dari kantornya. London Bridge membentang seolah memperlihatkan sejarah kota tersebut. Di kepalanya terngiang-ngiang lagu London Bridge is Falling Down yang biasa ia nyanyikan bersama Salma. Mendadak ia kangen pada anak itu. Tak sabar rasanya bertemu dengannya sore nanti.

"Miss Adis, there's a phone call from home." Janetta, sekretaris bule yang memjadi asistennya, mengabari melalui intercom.

"Dys, Salma masuk rumah sakit. Tadi dia jatuh saat bermain di taman. Lengannya mengalami dislokasi...." Tanpa menunggu berita itu selesai Gladys langsung mengambil tas dan mantelnya.

"Janet, please tell Mr. Vernon to reschedule our meeting."

"But miss.. Mr. Vernon said that tomorrow he will leave to Turkey for a month. What about our project?"

"HOLD IT!"

"But miss....." Janet hanya bisa melongo saat Gladys secepat kilat berlari menuju lift.

Tak sampai setengah jam Gladys sudah sampai di rumah sakit. Tanpa banyak tanya ia langsung menuju ruang tunggu di depan IGD.

"Salma.. gimana Salma?" tanya Gladys panik.

"Sabar Dys... dia sedang dalam penanganan dokter. She'll be alright."

"Tapi mas.. kalau dia kenapa-napa gimana? Aku seharusnya tadi mendengar permintaan dia untuk mengajaknya ke kantor. Dia lebih aman bersamaku di kantor." Gladys mulai terisak hebat memikirkan kondisi Salma. Berbagai pikiran buruk berkelebat di kepalanya.

"Dia akan baik-baik saja. Aku tadi sudah bicara dengan tim dokter. Nggak perlu operasi pasang pen. Hanya selama beberapa bulan ini lengannya harus digips dan memakai penopang supaya tidak banyak bergerak."

"Ini salahku mas.. ini salahku...."

"Hei.. jangan menyalahkan dirimu. Ini sudah takdir Allah dia harus mengalami kecelakaan kecil seperti itu."

"Lengan dislokasi kamu bilang ringan? Mas, kamu sungguh keterlaluan. Coba kamu yang mengalami dislokasi lengan apa kamu masih bisa bilang itu kecelakaan kecil?" Gladys meradang sambil terus terisak. Hatinya sangat sakit membayangkan bagaimana perasaan Salma saat ini.

"Miss Salma's guardian?" Seorang dokter wanita keluar dari ruang IGD, melihat mereka. Gladys langsung maju.

"How is she doc? She needs operation? She'll be okay, right?" Gladys memberondong dokter dengan berbagai pertanyaan.

"Dys, sabar."

"She'll be okay. We'll move her to inward room." Setelah menjelaskan kondisi Salma, dokter tersebut meninggalkan Gladys yang kini sudah bisa bernafas lega.

"Mommy.... " Suara pelan gadis kecil itu membuat Gladys menoleh dan mendatanginya.

"Yes Salma. Are you okay honey? Mommy's here." Salma tersenyum lebar melihat kehadiran Gladys. Wajahnya langsung cerah saat melihat kehadiran sang mommy.

"Mommy, are you crying? Don't cry mommy. I'm okay. Look here mommy, the doctor gives me a candy. Can I eat it?" Salma yang baru berusia 2,5 tahun bertanya dengan suara bocahnya. Di usiannya yang relatif masih sangat muda kemampuan bicara Salma terbilang cukup baik.

"Yes dear you can eat it. It's a gift for you because you're a brave girl." Senyum Salma semakin lebar membuat pipi gembilnya membulat. Salma tak tahan dan langsung mencium pipi gembilnya.

"Tuh Dys, Salma baik-baik saja kan? Kamu, sebagai mommynya malah cengeng."

"Itu karena aku nggak tega membayangkan Salma yang kesakitan saat dia jatuh tadi. Ternyata Salma gadis pemberani."

"Seperti mommynya."

"Bisa aja kamu, mas. Nanti malam biar aku yang menemani Salma."

"Jangan Dys, biar aku yang menginap disini. Kamu pulang saja. Tadi Janetta menelponku dan memberitahu kalau kamu membatalkan pertemuan dengan Mr. Vernon. C'mon Dys, kamu harus profesional. Mr. Vernon salah satu klien yang nggak suka kalau ada yang ingkar janji. Janetta juga memberitahuku bahwa Mr. Vernon memberimu kesempatan untuk bertemu dengannya nanti malam di resto Prego jam 8 malam."

"Salma, is it okay if mommy can't sleep here tonight?" Salma memamerkan senyum lebarnya sehingga menenangkan Salma.

"It's okay mommy. I'm a brave girl."

"Baiklah mas, malam ini aku nggak menginap disini. Besok pagi aku akan kesini sebelum ke kantor."

⭐⭐⭐⭐

"Mas, ngapain sih aku dirawat segala? Aku kan cuma sedikit lelah," protes Aidan.

"Bukan mas Banyu yang khawatir. Tuh ibu yang menyuruh mas membawamu ke rumah sakit. Lagipula Sita juga setuju kamu dirawat di rumah sakit. Iya kan, Ta?"

"Iya mas. Soalnya kalau di apartemen Aidan nggak akan mau istirahat. Ada saja alasan dia untuk lembur sampai malam," jawab Sita yang kini sudah menjadi istri Aidan. Ya, Aidan dan Sita mengambil langkah berani untuk menikah setelah Aidan kuliah selama setahun karena Aidan tidak mau menjalani LDR. Aidan juga tak mau meniru Banyu yang sering ragu mengambil keputusan untuk menikah.

"Sayang, aku kan mengerjakan tugas kampus. Belum lagi kemarin dosenku, Mr. Brent menawarkan magang di resto miliknya dengan syarat aku bisa menciptakan menu-menu baru yang sesuai dengan trend anak muda. Kamu tahu kan sayang, aku butuh pekerjaan ini buat menopang hidup kita," balas Aidan sembari mencium mesra punggung tangan istrinya. Untunglah Sita memakai cadar sehingga pipinya yang merah merona tak terlihat oleh Banyu.

"Sayang, malu dong sama mas Banyu."

"Iya nih, kamu bikin mas jadi gerah Dan." sungut Banyu. Aidan dan Sita tertawa melihat muka Banyu yang ditekuk. "Lagipula ngapain sih kamu kerja mati-matian. Kamu kan tinggal bilang sama mas kalau kamu butuh biaya hidup. Ayah sudah mencadangkan sejumlah dana buat kamu dan Bila."

"Aidan mau belajar mandiri, seperti mas Banyu dulu. Walaupun ayah menyediakan dana yang Aidan tahu pasti sangat besar, bukan berarti Aidan harus bermalas-malasan. Biar saja dana itu mas Banyu kelola dan disimpan untuk anak-anak Aidan kelak. Biaya kuliah sudah ditanggung oleh ayah dan mas Banyu hingga nanti Aidan selesai, maka biarkan Aidan mencoba mandiri dan memberi nafkah pada Sita dari hasil keringat sendiri."

"Oke... oke.. mas nggak akan memaksamu untuk menerima biaya hidup dari mas, tapi tolong kamu jangan sungkan untuk minta sama mas Banyu kalau kalian butuh biaya. Apalagi kini Sita sedang hamil dan kalau nggak salah dua bulan lagi akan melahirkan."

"Siap mas. Tapi mas juga harus percaya sama Aidan kalau Aidan insyaa Allah akan sanggup hidup mandiri dan bisa bekerja keras seperti mas Banyu. Kan mas Banyu yang mengajarkan Aidan untuk tidak tergantung pada orang lain."

"Wah, adik mas benar-benar sudah dewasa nih. Di usiamu yang masih terbilang muda, kamu berani mandiri di negeri orang. Mas salut sama kamu, Dan."

"Semua ini karena didikan ibu dan mas Banyu."

"Ta, mas Banyu pulang dulu ya. Kasihan ibu sendirian di apartemen. Oh ya, tadi ibu titip makanan untuk kalian. Ayo kamu ikut mas Banyu ambil titipan dari ibu di mobil. Nanti mas mau langsung balik, Dan, mas tinggal dulu ya. Besok pagi ibu akan kesini, gantian dengan Sita."

"Mas, itu bukannya kak Gladys ya?" tanya Sita saat mereka keluar dari lift. "Itu lho yang lagi jalan sama cowok itu. Itu tuh cowok yang menggandeng anak kecil yang tangannya di gips."

Banyu langsung mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk oleh Sita. Benarlah apa yang Sita bilang. Itu memang Gladys, gadis galak yang selama ini dirindukannya. Selama tiga tahun ini Banyu kehilangan kontak dengan Gladys. Bahkan Aidan dan Nabila tak bisa menghubungi Gladys. Semua media sosial gadis itu tidak lagi aktif sejak kejadian batal menikah dengan Lukas. Kedua adiknya langsung mengirim pesan mengenai hal tersebut, namun Banyu baru bisa membaca sehari sesudahnya karena ia sibuk mengurus Pramudya yang kondisinya sempat memburuk saat menjalani pengobatan di Malaysia.

"Apakah itu anak dan suami kak Gladys ya? Bukannya kak Gladys waktu itu nggak jadi menikah dengan dokter?"

"Itu bukan Lukas," sahut Banyu pelan.

"Apa mas?"

"Nggak apa-apa."

"Mas Banyu nggak mau menyapa kak Gladys? Sudah lama kan kita nggak ketemu." Belum sempat Banyu menjawab dilihatnya Sita menghampiri Gladys.

"Kak Gladys... apa kabar?" sapa Sita saat tiba dihadapan Gladys.

"Eh.... siapa ya?" tanya Gladys ragu karena tak mengenali wanita yang menyapanya. Apalagi wanita itu menggunakan cadar. Yang terlihat hanya mata indahnya.

"Aku Sita, kak."

"Sita....?" Gladys tampak berpikir keras saat matanya tertumbuk pada sosok tegap yang menghampiri mereka. Sosok yang pernah mengisi hatinya. Sosok pria yang telah memporak poranda hidupnya beberapa tahun lalu. Banyu.

"Hai prin... eh hai Dys." Banyu buru-buru merubah panggilannya saat melihat pria di belakang Gladys memperhatikannya.

"Mas Banyu?"

"Mommy... let's go. I wanna go home now." Tiba-tiba gadis mungil yang lengannya digips menarik-narik baju Gladys. "Abi wanna go home too."

Banyu terpana saat mendengar gadis cilik itu memanggil Gladys. Mommy? Apakah itu suami dan anaknya Gladys? Apakah selama beberapa tahun ini ternyata Gladys telah menikah dan tinggal di negara ini? Siapa pria yang berhasil mempersuntingnya? Kenapa aku merasa familiar dengan wajah pria ini.

"Dys..." Pria itu menegur Gladys yang masih terpaku menatap Banyu. "Ayo kita pulang. Salma sudah mulai mengantuk."

"Eh.. mas... i-iya mas. Ayo kita pulang." Gladys tergagap saat ditegur oleh pria yang dipanggil ayah oleh gadis mungil itu. "Ehmm.. mas Banyu... Si..ta? Kami duluan. C'mon baby, let's go home. Assalaamu'alaykum mas."

Banyu tak sanggup menjawab salam yang Gladys berikan, Ia hanya mampu menatap sendu punggung gadis itu saat berjalan meninggalkan dirinya. Banyu terpana oleh penampilan Gladys yang kini jauh berbeda dengan yang dulu diingatnya. Kini gadis galak itu memakai hijab. Tak bisa dipungkiri hati Banyu masih bergetar saat melihat gadis yang selalu dirindukannya selama beberapa tahun terakhir ini.

"Mas... mas Banyu... mas!!" panggil Sita agak keras sehingga membuat Banyu terkejut.

"Eh... apa Ta? Kamu bilang apa barusan?" tanya Banyu tergagap. Sita tergelak melihatnya.

"Aku nggak ngomong apa-apa. Mas Banyu kok sampai terpesona begitu sih melihat kak Gladys. Dia tambah cantik ya mas berhijab seperti itu. Nggak heran kalau mas Banyu selama ini nggak bisa melupakan kak Gladys. Masih cinta sama dia ya, mas?"

"Ah, kamu bisa saja Ta. Itu hanya masa lalu. Lagipula sekarang dia sudah menikah dan punya anak dengan pria tadi."

"Kalau belum menikah, apakah mas Banyu masih mau mengejar dia?" tanya Sita ingin tahu.

"Entahlah. Aku nggak berani berharap. Lagipula aku nggak yakin dia sudah memaafkan aku yang sudah menyakiti hatinya." Pandangan Banyu menerawang menatap Gladys yang kini tak lagi terlihat.

⭐⭐⭐⭐

avataravatar
Next chapter