83 MCMM 82

Happy Reading

"Assalaamu'alaykum," Gladys memberi salam saat memasuki halaman mungil namun asri milik Aminah. Saat itu Aminah dan Nabila sedang asyik berkebun.

"Wa'alaykumussalaam," jawab keduanya serempak seraya menoleh ke arah Gladys.

"Aaaah... kak Gladiiiiyyss!" Nabila langsung berdiri dan berlari menghambur ke dalam pelukan Gladys. Ia langsung tersedu dalam pelukan Gladys "Hiks.. hiks.. hiks... Bila kangen sama kak Adis,"

Gadys tersenyum sambil memeluk Nabila, Tangannya membelai punggung Nabila. "Kakak juga kangen sama kalian."

Gladys menghampiri Aminah yang berdiri di tempatnya sambil tersenyum. Ia menyalami dan mencium punggung tangan Aminah. Tanpa banyak basa basi, kali ini Aminah yang menarik Gladys ke dalam pelukannya. Mendapat sambutan hangat seperti itu Gladys tak mampu membendung air matanya. Entah mengapa kehangatan keluarga ini selalu berhasil membuatnya nyaman sekaligus merasa kehilangan.

Aminah memeluk erat tubuh Gladys. Gadis manja yang sudah memerangkap hati keluarganya, kecuali Banyu. Dasar anak bodoh, batin Aminah. Kenapa gadis sebaik ini disia-siakan?

"Kak Adis kok lama nggak main kesini? Ayah juga sudah nanyain terus tuh?" tanya Nabila saat mereka sudah duduk di ruang tamu sederhana namun terasa hangat.

"Dek, kok nanyanya begitu sih? Nak Adis pasti punya urusan lain yang lebih penting. Iya kan nak Adis?"

"Iya bu. Adis lagi sibuk mempersiapkan pernikahan dengan mas Lukas. Insyaa Allah akan dilaksanakan dua minggu lagi," jawab Gladys pelan sambil menundukkan kepala. Aminah meraih tangan Gladys dan menggenggamnya erat seolah ingin menenangkan.

"Yaaaa.. kak Adis beneran jadi menikah dengan dokter Lukas?" tanya Nabila dengan raut wajah kecewa. "Artinya kak Adis nggak bisa menjadi kakaknya Bila. Nanti kak Adis nggak boleh main ke sini lagi."

"Dek, jangan ngomong begitu ah. Kamu kan sudah tau kalau nak Adis akan menikah dengan dokter Lukas. Kalau kamu ngomong kayak gitu, nanti nak Adis akan sedih. Padahal seharusnya nak Adis berbahagia dalam menyambut pernikahan ini," tegur Aminah. "Nak Adis maafkan Bila ya. Nggak usah didengar ucapannya. Dia kalau ngomong kadang memang suka nggak disaring dulu."

"Nggak apa bu. Adis bisa mengerti kok kekecewaan dek Bila, tapi jangan khawatir kalian tetap adik-adik kak Adis. Kamu dan Aidan sudah kakak anggap sebagai adik sendiri," ucap Adis seraya tersenyum. Digenggamnya tangan Nabila yang masih terlihat kecewa. "Kak Adis kesini mau tanya, kamu dan Aidan mau nggak menjadi bridesmaid dan bestman?"

"Hah?! Itu apaan kak?" tanya Nabila bingung. Sejurus kemudian wajahnya menjadi cerah dan sepertinya ia mengerti permintaan Gladys. "Ooh.. itu yang kayak mas Banyu dan kak Adis dulu ya? Semacam pengiring pengantin gitu?"

"Iya.. 100 buat kamu!" Gladys tergelak melihat Nabila mendadak loncat-loncat kegirangan.

"Dek, kamu kok girang banget sih?" goda Aminah yang juga ikut tergelak melihat kelakuan anak bungsunya.

"Bu, adek tuh sering lihat di yo****e, pernikahan artis dan anak orang kaya. Pakaian pengiring pengantinnya cantik-cantik banget. Kalau adek jadi pengiring pengantin, berarti adek akan pakai baju cantik begitu kak?" Gladys mengangguk.

"Kamu akan pakai baju dan dandan yang cantik." Wajah Nabila langsung meredup. "Lho, kenapa dek?"

"Adek takut nggak pantas.Teman-teman kak Adis pasti cantik dan dewasa. Nanti adek jadi ugly duckling. Paling jelek sendiri. Mana pendek lagi."

Aminah yang mengerti kecemasan putri bungsunya langsung memeluk bahunya. "Kalau kamu ragu kamu boleh menolak kok. Nggak papa kan nak Adis?"

"Nggak papa bu. Kalau memang dek Bila ragu kakak nggak akan memaksa. Lagipula kata siapa kamu jelek. Mas Banyu selalu memuji kecantikan kamu. Kata mas Banyu, wanita tercantik di dunia ini cuma dua, ibu dan dek Bila," jawab Gladys. Nabila menunduk malu sambil tersenyum.

"Oh ya bu, Adis kesini mau menyampaikan undangan untuk ibu dan ..... " Gladys terdiam sejenak. "Mas Banyu."

"Adis juga mau ajak dek Bila untuk ketemu dengan penjahit." lanjut Gladys.

"Kapan kak?"

"Hari ini kamu bisa?"

"Gimana bu? Boleh adek pergi dengan kak Adis? Please, boleh ya bu," pinta Nabila dengan wajah memelas. "Adek kangen pengen ngobrol sama kak Adis."

"Lho, bukannya kamu sudah janji hari ini mau bantu ibu membereskan taman?" Aminah tak langsung memberikan izin. "Nanti siapa yang bantu ibu?"

"Mas Banyu aja yang bantuin ibu, ya. Sebentar lagi mas Banyu juga balik dari kios, kok. Boleh ya bu? Please...." Aminah geleng kepala sambil tersenyum melihat tingkah Nabila. "Ya sudah, sana kamu mandi dan ganti baju. Jangan lama-lama, kasihan nak Adis kalau kelamaan nungguin kamu."

"Aidan kemana bu? Adis juga mau ajak dia untuk fitting jas. Kalau untuk cowok kan lebih simpel."

"Aidan lagi menginap di rumah ayahnya. Semalam dek Daffa telpon meminta Aidan datang. Katanya di rumah sepi, karena Agus dan Nungki pergi ke undangan," jelas Aminah. "Diminum dulu nak Adis teh hangatnya. Kebetulan hari ini ibu bikin risoles kesukaan nak Adis."

Sambil menunggu Nabila bersiap-siap, Gladys mengobrol ringan dengan Aminah. Mereka sengaja tidak membicarakan tentang Banyu.

"Bu, kira-kira om Pram bisa datang ke acara pernikahan Adis nggak?" tanya Gladys sambil menikmati kue buatan Aminah. "Waktu itu Adis janji akan mengundang om Pram ke acara pernikahan Adis."

"Kalau menurut Banyu, kondisi mas Pram sudah membaik. Rencananya minggu depan Banyu akan mengantar ayahnya berobat ke Malaysia lagi."

"Semoga saat Adis menikah nanti om Pram bisa hadir ya bu." Aminah mengangguk sambil tersenyum menenangkan. Entah mengapa ia menangkap ada ketidakyakinan dalam diri Gladys.

"Nak Adis, maaf ibu lancang bertanya seperti ini. Nak Adis sudah mantap kan akan menikah dengan dokter Lukas?"

"Kenapa ibu bertanya seperti itu?"

"Entahlah, ibu seolah melihat keraguan dalam matamu. Bukan ibu mencoba ikut campur dalam urusan ini. Tapi kenapa ibu tidak merasakan aura kebahagiaan yang biasanya dipancarkan oleh calon pengantin? Apakah kamu masih ragu?" Gladys diam tak menjawab. Ia malah asyik menyesap tehnya.

"Hehehe.... kelihatan banget ya bu?" Gladys balik bertanya. "Adis memang masih agak ragu, tapi bukan karena mas Lukas. Adis merasa ragu acara bisa berjalan lancar karena ternyata mami dan mamanya mas Lukas terlalu ikut campur. Padahal mereka sudah janji untuk tidak ikut campur dalam urusan konsep acara."

Aminah tergelak mendengar jawaban Gladys. Diraihnya kembali tangan Gladys dan diusapnya dengan penuh kasih sayang. "Wajar kalau semakin mendekati hari pernikahan, calon pengantin merasa gugup dan stress. Ada rasa was-was acara tidak berjalan dengan sempurna. Ada berbagai kekhawatiran mengenai ini itu. Saran ibu, kamu lebih banyak berdoa dan minta sama Allah supaya diberi kemudahan."

"Bu, Adis semalam mimpi buruk."

"Kenapa? Kamu lupa baca doa ya sebelum tidur?" goda Aminah. "Atau tidur sebelum shalat isya?"

"Iih.. bukan gara-gara itu. Justru mimpi itu muncul setelah Adis shalat malam. Adis lupa bagaimana cerita mimpinya. Yang Adis ingat, Adis terbangun dengan perasaan cemas. Entah apa sebabnya." Aminah mengangguk-angguk mencoba memahami kegalauan apa yang melanda Gladys.

"Perbanyak berdoa sama Allah ya nak Adis. Hanya itu yang ibu bisa sarankan. Nak Adis sudah cerita tentang hal ini ke mami?" Gladys menggeleng. "Lho kenapa?"

"Malah tambah ribet, bu. Mami dan Adis memang sering berdebat tapi kami saling sayang. Mungkin seperti itu cara kami menunjukkan rasa sayang kami," Gladys terkekeh saat mengingat maminya. " Lagipula kalau Adis cerita, nanti mami malah heboh sendiri. Ujung-ujungnya mami yang stress. Lah wong mami lebih stress daripada Adis dalam mempersiapkan pernikahan ini."

Setelah beberapa saat menunggu, Nabila keluar dari kamar. Siap untuk pergi dengan Gladys.

"Bu, adek pamit dulu ya. Oh ya bu, nanti pulangnya adek mampir ke rumah ayah ya. Kata mas Aidan, ayah kangen sama adek."

"Iya. Salam ya buat ayahmu," sahut Aminah.

"Cieee ibu mulai kirim-kiriman salam nih. Bu, gimana kalau ibu CLBK saja sama ayah?" goda Nabila seraya mencium pipi sang ibu.

"Hush! Kamu tuh malah ngegodain ibu. Sudah sana berangkat. Kasian nak Adis kelamaan nungguin kamu." Aminah mencubit pelan pipi Nabila sambil terkekeh.

"Maaf ya kak, tadi Bila shalat Dhuha dulu."

"Iya nggak papa. Kak Adis senang kok sempat ngobrol dengan ibu. Ayo kita berangkat sekarang."

Keduanya berpamitan pada Aminah. Saat keduanya hendak keluar rumah, nyaris saja Gladys bertabrakan dengan Banyu yang sepertinya baru balik dari kios.

"Eh, kamu Dys...." Hanya itu yang sanggup Banyu ucapkan. Dipandangnya Gladys. Lagi-lagi hatinya mengkhianati. Masih ada rasa rindu terhadap gadis itu.

"Mas, adek pergi dulu ya sama kak Adis. Pulangnya adek mau ke rumah ayah," Nabila berpamitan pada Banyu seraya mencium punggung tangan sang kakak.

"Kamu mau kemana? Hari ini nggak ada liqo?" tanya Banyu masih menahan tangan Nabila.

"Liqo lagi libur mas. Ustadzah Filda kemarin melahirkan, ustadzah Ainun sedang safar mengikuti ustadz Bimo ke Aceh," jawab Nabila. "Adek diajak kak Adis ketemu tukang jahit."

"Tukang jahit? Mau ngapain?"

"Mau belajar masak. Ya mau jahit baju dong, mas." Nabila terkikik melihat kakaknya salah tingkah. Ia tahu Banyu sengaja menahannya. "Adek mau bikin baju buat acara pernikahan kak Adis."

Kali ini Banyu melepaskan tangan Nabila. Tatapannya nanar memandang Gladys yang sedari tadi hanya diam saja. Tanpa sadar keduanya saling pandang selama beberapa saat hingga akhirnya Nsbila menepuk lengan Banyu.

"Mas.. mas Banyu!! Eh kok malah bengong sih. Adek pergi dulu ya."

"Se-selamat ya Prin...eh Dys." Akhirnya Banyu buka suara.

"Terima kasih mas. Jangan lupa datang ya. Undangannya aku titip ke ibu."

"Insyaa Allaah."

Banyu masih berdiri di teras selama beberapa saat setelah Gladys dan Nabila pergi. Semoga kamu bahagia princess, batin Banyu.

⭐⭐⭐⭐

"Gib, hari ini Vani praktek nggak?" tanya Erick saat mereka berkumpul di cafe. Sejak sebulan lalu Gibran dan Erick berkolaborasi membuka cafe di dekat salah satu kampus terkenal di jakarta. Sasaran mereka adalah para mahasiswa dan para dosen. Kebetulan cafe tersebut letaknya tak jauh dari rumah sakit tempat Vania bekerja.

"Praktik, sampai jam 7 nanti. Kenapa? Siapa yang sakit? Bini lo? Atau tante Zahra?" tanya Gibran sambil memperhatikan seorang waiter yang sepertinya salah mengantarkan pesanan. "Rick, coba lo panggil si Igun."

"Kenapa?"

"Kasihan tuh anak baru kena marah sama customer," ucap Gibran sambil menunjuk ke arah waiter yang dimaksud.

"Oh iya, elo belum jawab pertanyaan gue. Siapa yang sakit? Kenapa nggak panggil dokter Gustav. Dia kan dokter keluarga kita."

"Si Ge sudah seminggu ini lemes banget. Nggak mau makan, muntah-muntah. Gue rasa gerd-nya kambuh. Kebanyakan clubbing tuh anak. Jadi calon dokter kok senang banget clubbing." Erick bersungut-sungut mengingat kelakuan Geraldine. "Mama sudah bilang panggil dokter Gustav aja. Ge menolak. Dia maunya diperiksa dokter yang masih muda dan cewek. Tumben banget tuh anak kayak begitu."

"Yee.. namanya juga anak muda bro. Dulu kita juga begitu. Bahkan elo dulu parah banget sering make out sambil clubbing," ledek Gibran yang disambut dengan lemparan serbet.

"Itu kan masa lalu bro. Wajarlah kalau nakal-nakal sedikit," elak Erick.

"Sedikit? Minum, nyoba-nyoba nyuntik, gonta ganti cewek hampir tiap bulan. Itu lo bilang sedikit? Gimana yang banyak?" Gibran geleng-geleng kepala mengingat betapa liarnya mereka saat masih mahasiswa. "Untung cepat ketauan sama Eyang. Kalau nggak, sudah mati lo gara-gara OD."

"Iya, gue beruntung banget eyang nemuin tuh barang-barang haram di kamar gue. Habis itu gue langsung disidang dan dikirim ke pesantren."

"Ada hikmahnya bro. Elo jadi bisa ketemu sama cucunya pemilik pesantren yang sekarang jadi bini lo. Beruntung banget lo, Qori mau menerima diri lo yang penuh dosa begini."

"Lo tau nggak Gib, pertama kali gue liat Qori lewat depan asrama, waktu terasa berjalan lambat. Semua terlihat blur. Yang keliatan jelas cuma dia. Sumpah cantik banget. Beda banget sama cewek-cewek yang pernah jalan sama gue."

"Memangnya lo nggak tau kalau Qori itu sobatnya Gladys?"

"Yaelah... elo kayak nggak tau gue aja. Mana mungkin gue memperhatikan cewek tertutup kayak dia. Lo tau kan cewek-cewek yang gue kencani bajunya kurang bahan semua." Gibran dan Erick tergelak mengingat masa lalu mereka.

"Sekarang Ge yang mengikuti jejak lo sebagai tukang clubbing. Memangnya tante Zahra nggak marah tuh liat Ge kayak begitu?"

"Mama marah, tapi papa membela Ge terus. Katanya mumpung masih muda. Biar saja bersenang-senang dulu. Nanti kalau sudah menikah baru deh jadi anak baik-baik."

"Eyang nggak ngomel?"

"Menurut lo? Ya ngomel lah. Tapi lo tau kan si Ge orangnya nggak pedulian gitu. Semua omongan mama dan eyang nggak didengar. Kalau habis dimarahin dia malah pergi clubbing dan nggak pulang. Biasanya nginap di hotel."

"Adek lo liar, bro. Jangan-jangan adek lo juga sudah nggak perawan," celetuk Gibran.

"Nggak tahu deh. Yang pasti sudah dua minggu ini dia nggak clubbing. Rebahan mulu. Makanya gue mau minta Vani nanti mampir ke rumah buat periksa si Ge. Kalau sama Vani dia kan sudah kenal baik. Bahkan kalau nggak salah pacar lo pernah jadi konsulen dia."

"Oke, nanti gue dan Vani mampir kesana."

"Sorry, Ge pesan hanya Vani yang boleh datang." Gibran menatap Erick heran.

"Adek lo aneh," komen Gibran yang dibalas Erick dengan mengangkat bahu.

"Gue agak khawatir, Gib."

"Kenapa?"

"Sakitnya mirip pas awal Qori hamil. Jangan-jangan Ge hamil. Wah, bisa habis tuh disidang sama mama dan eyang."

"Semoga tebakan lo salah Rick. Adek lo kan bukan anak kemarin sore yang nggak ngerti cara main aman. Kalaupun sampai beneran dia hamil, ya tinggal minta cowoknya tanggung jawab."

"Masalahnya, ada beberapa cowok yang dekat sama dia. Rata-rata senior dia dan ada juga sih satu dua orang yang teman kuliah. Nah, gue nggak tahu yang mana yang bikin dia hamil."

"Semoga sakitnya memang bukan karena ngidam. Gue sudah cukup pusing ngadepin mami dan Gladys yang ribut melulu dalam menyiapkan pernikahan ini," ucap Gibran sambil mengacak rambutnya. "Kalau ketambahan masalah adik lo, eyang bisa colaps."

⭐⭐⭐⭐

avataravatar
Next chapter