webnovel

Hari Baru Untuk Memulai Hidup Yang Baru.

"Ayo bangun tuan putri,matahari sudah terbit."Suara Amira membangunkan Zahra,gadis itu sudah sembuh dari demamnya,aromah sabun mandi dari tubuhnya tercium di setiap sudut ruang kamar yang sempit itu.

"Cepat sekali pagi ini datang."Zahra menggeliatkan tubuhnya.

"Aku akan ke kampus pagi ini,beberapa hari lagi adalah wisudaku,jadi aku harus menyelesaikan beberapa hal terlebih dahulu."Amira sedang merias dirinya didepan cermin.

"Aku dirumah saja,aku ingin melanjutkan tidurku."Zahra masih mengedipkan matanya dengan malas,sudah beberapa hari,sejak dimulai dari dia kabur, dia tidak mendapatkan jam tidur yang cukup,tubuhnya yang lelah menuntutnya untuk melakukan meditasi mimpi alias tidur.

"Baikah..."Aku sudah menyiapkan sarpan untukmu."Amira menyisir rambut hitamnya yang panjang.

"Terimakasih Amira."Zahra berkata dengan suaranya yang serak dan mata yang berkali-kali terbuka dan terpejam.

"Zahra...."Amira memanggilnya dengan ragu-ragu.

"Hem...."Matanya yang masih ngantuk membuat Zahra tak berdaya.

"Bisakah aku memakai uangmu dulu?"Amira menggigit bibirnya,wajahnya memanas seketika menahan rasa malunya.

"Aku tidak punya sedikitpun."Amira melanjutkan kata-katanya,wajahnya berpaling dan matanya tidak berani menatap Zahra.

Zahra seketika membuka matanya dan bangkit dari tidurnya,tidak berapa lama dia menyerahkan amplop berwarna coklat.

"Ini pakailah,gunakan untuk kebutuhan kuliahmu."

Amira menerimahnya dengan kepala tertunduk,air matanya menetes diatas amplop berwarna coklat itu membuat warna yang berbeda dari beberapa bagian lainnya.

"Hey.....jangan menangis."Zahra melihat itu merasakan tidak enak.

"Mungkin bapak tertekan dan merasa terbebani karena memikirkan biaya untuk print skripsi,budget riset dan biaya wisuda,bapak terpaksa berhutang pada renteinir dengan bunga yang sangat tinggi,mungkin karena itu bapak sakit dan akhirnya meninggal."Amira menangis sesenggukan.

"Jangan khawatir,uang ini pasti cukup untuk melunasinya,kita akan berjuang bersama,aku hanya punya kamu di dunia ini,kamu sekarang keluargaku,jadi apa yang aku punya itu adalah milikmu juga."Zahra menatap Amira.

Amira kehabisan kata-kata,dia hanya bisa menangis dan memeluk Zahra.

"Aku janji,setelah wisuda aku akan mencari kerja,aku akan mengembalikan uang yang sudah kamu keluarkan untuk membiayai keperluan kami."

"Jangan bicara seperti itu,jangan membuatmu menjadi beban.Aku ikhlas melakukan itu semua,aku tak tau akan jadi seperti apa hidupku kalau aku tidak bertemu bapak dan dirimu,aku buta dikota ini,kemarin aku sebatang kara di dunia ini,dan sekarang aku punya keluarga,itu kamu,jadi....jangan fikirkan untuk mengganti semua uang itu."Zahra mulai keberatan setiap kali Amira membicarakan semua uang yang telah digunakan untuknya dan pak Yamin.

"Apa kamu masih memganggapku orang lain? Apa aku tidak pantas menjadi saudaramu?"Zahra merasa Amira masih membatasi,seperti ada jarak diantara mereka.

"Bukan....bukan seperti itu,kamu jangan tersinggung,aku hanya merasa kami sudah terlalu banyak merepotkanmu."Amira buru-buru menjelaskan.

"Sudah ku bilangkan,aku senang melakukan itu karena aku menganggapmu keluargaku."Zahra merasakan kesedihan dihatinya.

"Zahra maafkan aku bila sudah membuatmu tersinggung,aku janji tidak akan mengulanginya."Amira mengulurkan jari kelingkingnya.

Zahra mengaitkan kelinkingnya pada Kelingking Amira.

"Mulai sekarang jangan pernah ungkit itu lagi,"

"Baiklah."Amira merasa lega.

Setelah Amira berpamitan untuk berangkat ke kampusnya,Zahra memutuskan untuk melanjutkan tidurnya.Dia berfikir untuk segera memulihkan tenaganya dengan menggantikan jam tidur yang beberapa hari ini tidak didapatkannya.

Sementara itu di tempat lain,Dirumah besar keluarga Pratama.Semua orang sedang berkumpul di meja untuk sarapan.

Oma sebagai orang tertua dikeluarga itu duduk di kursi seperti seorang pemimpin,sedangkan di sebelah kanan kursinya adalah Menantunya Anton Wijaya dan duduk disebelahnya Kartika Wijaya.Mereka adalah orang tua dari Denis Putra Wijay.Sementara Alex dan Denis duduk bersebelahan dihadapan orang tua Denis.

Next chapter