webnovel

Ada Yang Harus Pergi Dan Ada Yang harus Datang,

"Sabar ya Amira,bapakmu pasti akan sembuh!"Para tetangga yang ikut mengantar ke RS berusaha menenangkan Amira.

"Terimah kasih bu,"Suara Amira terdengar sangat lirih.

Zahra datang dengan tergesa-gesa menghampiri Amira.

"Bagaimana?apakah bapak sudah ditangani dokter?"Karena berlari nafas Zahra terengah-engah.

Amira hanya mengangguk,lalu memeluk Zahra kemudian tangisannya pecah dalam pelukan Zahra.

"Aku takut....aku belum siap,aku takut Zahra."

"Hey....tidak akan terjadi apa-apa pada bapak,bapak pasti sembuh,tenanglah kendalikan dirimu."Zahra mengusap -usap bahu Amira dengan lembut.

"Amira dan si eneng....berhubung sudah malam,kami mau pamit pulang,besok kami datang lagi ya."Para tetangga berpamitan pada Amira dan Zahra.

"Terimakasih bapak ibu...maaf kami tidak bisa mengantar."Suara Amira terdengar serak.

"oh....gak apa-apa."Para tetangga bersamaan meninggalkan ruangan itu.

Tinggalah Zahra dan Amira berdua,mereka menunggu di depan ruang UGD.Amira berjalan mondar mandir,menunggu dokter keluar dari ruangan tersebut.

Ini adalah rumah sakit terdekat dari tempat tinggal Amira,rumah sakit ini bukanlah rumah sakit besar karena letaknya ada dipinggiran kota J,namun fasilitasnya cukup lumayan.

"Amira tenanglah,duduklah....berdoalah dan fikirkan hal-hal positif untuk kesembuhan bapak."Zahra merasa lelah melihat Amira mondar mandir didepan pintu UGD.

Amira menuruti saran Zahra dan duduk disebelahnya.

"Aku sudah pernah merasakan seperti ini berkali-kali,saat ibuku masih ada."Zahra berusaha tegar mengingat masa lalu.

"Ayo bantu bapak dengan doa."Zahra menggenggam tangan Amira.

10 memit kemudian dokter keluar dari ruang UGD bersama seorang perawat.

"Apakah kalian berdua keluarga pasien yang bernama bapak Yamin?"perawat bertanya pada mereka berdua.

"Ya"Jawab Zahra dan Amira bersamaan.

"Dokter ingin berbicara diruangannya,mari ikuti saya!"Perawat tersebut berjalan di depan Zahra dan Amira.

Sampai diruang Dokter yang menangani pak Yamin mereka dipersilahkan duduk.

"Dokter,bagaimana kondisi bapak saya?Suara Amirah sedikit tertekan,berharap semua baik-baik saja,namun hatinya berfirasat buruk.

"Kondisi pasien sangat buruk,dari pemeriksaan dan analisa saya,sepertinya pasien mengidap kanker paru-paru,namun begitu,besok akan kita lakukan pemeriksaan lebih lanjut."Dokter sangat gamblang memaparkannya.

"Kalau boleh tau sudah stadium berapa dok?"Zahra memberikan pertanyaan dengan harapan itu belum parah.

"untuk stadium besok akan kami beritahukan,saya belum bisa memastikan karena saat ini pasien belum mendapatkan pemeriksaan yang lebih akurat."Dokter menambahkan penjelasan lagi.

"Apa boleh kami melihat bapak dok?"suara Amira bergetar.

"Tentu saja,tapi harus menggunakan pakaian yang sudah disediakan oleh bagian RS ini."Dokter tersenyum pada Amira dan Zahra

"Baik dok....terimakasih,kami permisi."Zahra berdiri dan mengajak Amira keluar dari ruangan dokter.

Dilorong dari ruang dokter menuju ke ruang UGD tempat pak Yamin sedang dirawat,seorang perawat sedang berjalan tergesah-gesah.

"Pak Yamin ingin bertemu Amira dan Zahra,apakah kalian orangnya?"

"ya"mereka menjawab serentak.

Setelah mengenakan pakaian serta penutup kepala juga masker yang sudah disediakan khusus oleh pihak RS,Zahra dan Amira bergegas menemui pak Yamin.

Didalam ruangan tersebut,pak Yamin berbaring disebuah tempat tidur,dengan mulut dan hidungnya yang sudah terpasang dengan alat-alat medis yang kini membantu saluran pernafasannya,ada beberapa botol cairan yang terhubung di nadi pergelangan tangannya,serta mesin pembaca detak jantungnya yang sedang nyaring berbunyi seperti bunyi detik bom yang siap meledak kapan saja.Ha...pemandangan ini sudah dilihat oleh Zahra beberapa bulan yang lalu,ini membuat ingatan Zahra menolak untuk menerimah kenyataan itu.

Zahra dan Amira mendekat pada tubuh lemah pak Yamin yang sedang berbaring.Tangan pak Yamin memberikan isyarat pada mereka berdua untuk segera mendekat.

"Bapak.....bapak akan sembuhkan?"Amira menahan tangisnya dengan suara yang tertekan.

Pak Yamin melambaikan tangannya pada Amira,Amira memegang lembut tangan pak Yamin.Senyuman tersungging dibibir tua pak Yamin.Kemudian matanya melirik Zahra,memberikan isyarat padanya untuk datang mendekat.

"Bapak....yang kuat ya,bapak pasti sembuh."Zahra tersenyum memberi kekuatan pada Amira dan pak Yamin.

"Saya titip Amira,kalian harus saling menjaga."Suara pak Yamin nyaris tidak terdengar,namun kedua gadia itu mengerti apa yang diucapkan oleh pak Yamin.Zahra dan Amira saling memandang.

"Bapak sudah gak kuat."Nafas pak Yamin semakin tersengal-sengal,mesin yang mirip dengan bunyik detik bom semakin berdetak tak beraturan.

"Aku akan memanggil dokter."Zahra akan bergegas keluar,namun Amira segera mencegahnya.

"Disini saja,kita harus membuat bapak tenang sebelum dia pergi,kamu mau kan?"Mata Amira memelas pada Zahra.

Zahra melihat kepedihan yang sangat dalam disana,akhirnya dia menuruti permintaan Amira.Mereka berdua ingin membuat pak Yamin bahagia di detik-detik terakhir di hidupnya.

"Kami berjanji,mulai dari sekarang kami akan saling menjaga,kami adalah bersaudara."Zahra meyakinkan pak Yamin.

Senyuman bahagia tersimpul di bibir pak Yamin sampai akhirnya mesin itu berbunyi panjang dan pak Yasmin perlahan menutup matanya.Dia seperti tertidur pulas,wajahnya begitu damai.

"Bapak..."Amira meneteskan air matanya namun kali ini tangisnya tidak histeris,mungkin dia sudah mengikhlaskan kepergian pak Yamin.Kini pak Yamin tidak merasakan sakitnya lagi.

"Aku akan memanggil perawat dulu."Zahra menepuk bahu Amira dan berjalan keluar memanggil perawat.

Dua orang perawat masuk melihat kondisi pak Yamin,selang beberapa menit seorang dari lainnya keluar untuk memanggil dokter,sedangkan yang lainnya tetap mengontrol dan melihat keadaan pak Yamin dengan membaca mesin yang berbunyi aneh itu.

"Silahkan tunggu di luar,dokter akan segera tiba untuk memastikan kondisi pasien."perawat memerintahkan pada kedua gadis itu.

"ayo."Zahra menuntun tubuh Amira untuk keluar dari ruangan itu.

Saat sampai di pintu keluar,mereka berpapasan dengan dokter dan perawat,keduanya nampak tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan tersebut.

Amira dan Zahra duduk di kursi yang sudah disediakan untuk menunggu didepan ruangan tersebut.

"Sabar ya Amira....kamu harus ikhlas."Zahra memeluk Amira.

"Bapak sudah tidak sakit lagi."Suara Amirah sangat sedih.

"Mulai sekarang kita akan selalu bersama,kamu saudaraku sekarang,aku hanya punya kamu didunia ini."Suara Zahra bergetar mengucapkan itu.beberapa jam yang lalu dia memberi pertanyaan pada Amira seperti apa rasanya mempunyai seorang ayah,tapi sekarang mereka berdua merasakan nasib yang sama.

"Maafkan kami yang sudah sangat merepotkanmu?,maafkan bapak kalau ada salah sama kamu."Suara lembut Amira sangat lemah terdengar.

"Hey....aku senang bisa membantu kalian dan juga bapak sudah menolongku,bapak tidak ada salah padaku,bapak orang baik.Baru saja aku iri melihatmu karena masih merasakan kasih sayang seorang ayah,tapi sekarang...."Zahra tidak berani melanjutkan kata-katanya.

Amira memeluk Zahra,dan menangis terisak-isak."Terimakasih Zahra,terimakasih atas semua kebaikanmu,aku tidak tau apa jadinya bila tak ada kamu,dengan kondisi seperti ini kalau kami diusir oleh bu Ratna aku tidak bisa membayangkan keadaan bapak."

"Sudahlah Amira,jangan berkata seperti itu,aku sangat senang melakukannya....Tuhan selalu mengirimkan pertolongan pada setiap orang yang memerlukan bantuan,bapak juga sudah menolong aku menghindari kejaran anak buah Baron."Zahra juga meneteskan air matanya.

"Maaf...pasien sudah meninggal,tolong diselesaikan seluruh biaya perawatan agar pasien bisa segera dibawa pulang menggunakan mobil ambulan."Seorang perawat menghampiri mereka dan memberikan intruksi.

"Baik suster."Zahra menghapus air matanya.

"Zahra...."Amira menatap Zahra dengan perasaan bercampur aduk.

"Semua sudah aku siapkan,kamu jangan khawatir,kamu tunggu disini ya."Zahra tersenyum pada Amira.

Amira memeluk Zahra sambil menangis tersedu."Aku tidak tau,bagaimana aku harus membalas semua ini,maafkan kami sudah membuatmu repot,maaf...."

"Kita keluarga kan?bukankah keluarga sudah seharusnya saling membantu,jangan fikirkan dan jangan pernah katakan itu lagi."Zahra meyakinkan Amira.

"Jangan menangis lagi,kamu harus tenang,kita masih butuh banyak tenaga untuk mengurus jenazah bapak,ok...."Zahra menghapus air mata Amira.

Amira mengangguk,tanda setuju atas semua kata-kata Zahra.

"Baiklah aku akan melunasi semua biaya perawatan bapak dulu,aku akan segera kembali."Zahra meninggalkan Amira yang sedang menatapnya dari belakang.

"Terimakasih Tuhan,Engkau sudah mengirimkan malaikat pada kami."

Sementara itu di ruangan lain....

"Apa yang sedang kau lukis?"Denis mencoba mencari tau apa yang sedang Alex kerjakan.

"Bukan urusanmu."Alex menjawab datar.

Denis tidak memperdulikan Alex,tangannya merebut kertas hasil karya Alex."Ho...ho...wow..bukankah ini gadis yang tadi."

"Tutup mulutmu dan kembalikan padaku."suara Alex terdengar sangat datar.

"Apa yang sedang kalian ributkan?aku tidak bisa beristirahat."suara serak itu membuat kedua pria itu tersiam dan memalingkan wajah mereka ke arah wanita tua yang sedang berbaring di kamar rawat inap itu.

"Oma sudah bangun?"Denis berpindah tempat,kini dia mendekat pada oma.

"Lihat oma....rumor tentang Kakak seorang gay,ternyata itu tidak benar,lihat ini wanita yang sudah berhasil membuatnya jatuh cinta."Denis menunjukkan lukisan sketsa hasil karya Alex.

"Jangan bergosip,kembalikan padaku."Suara Alex masih datar.

"Kenapa jelek sekali,kulitnya hitam,kamu bodoh memcari calon istri."oma seketika memgomel.

"Wah....oma ini hanya sketsanya,kakak melukisnya dengan pensil,kalau dilihat aslinya,wanita itu sangat cantik."Denis membela Alex.

"Jangan kau fikir dengan kata-katamu itu,aku akan mengampuni,cepat kbalikan."Alex menatap Denis dengan tatapan dinginnya.

"ha....baiklah,"Denis menyerahkan gambar sketsa itu pada Alex,entah kenapa setiap kali Alex menatapnya dengan tatapan seperti itu membuat denis takut.

"Kapan kamu akan mengenalkannya padaku?"Oma memberikan pertanyaan yang sulit dijawab oleh Alex,bagaimana bisa dia dalam waktu dekat memperkenalkannya pada oma,sementara dia sendiri belum mengenalnya.

"Kalau begitu jangan salahkan aku,kalau aku akan kabur lagi,dan lain waktu mungkin kalian akan menemukanku sudah tidak bernyawa."Oma merajuk.

"No....no..Oma,jangan berkata seperti itu,aku pastikan kakak akan membawanya secepatnya pada oma."Denis nyerocos tanpa aturan.

"Apakah kau tidak punyak otak sama sekali,saat berbicara kata-katamu seperti kentut,seenaknya keluar."Kali ini Alex benar-benar kesal dibuat Denis.

"Hei kakak,aku tau dia sibuk...tapi nanti aku yang akan bicara pada pacarmu."Denis berbohong agar omanya percaya.

"Tutup mulutmu"Suara Alex selalu datar.

"Aku akan menunggu saat itu,aku tidak perduli dia dari keluarga miskin atau kaya,yang penting dia baik dan sayang padamu,dan segeralah kalian menikah."Sepertinya oma percaya dengan kata-kata Denis,wajahnya terlihat berseri-seri ketika berkata tentang pernikahan.

"Aku yang akan menikah dulu."Denis menggida kakak dan omanya.

"Kepalamu akan aku botaki jika itu terjadi."Oma memukul kepala Denis pelan.

"Siapa yang akan menikah?"Suara itu berasal dari pintu.Itu mama Denis.Nyonya Kartika Wijaya.

"Mama....aku sangat merindukanmu,kenapa seperti anak kecil,main kabur-kaburan?Wanita itu mencium tangan oma dan kedua pipinya.

"Jangan basa-basi,kalian semua sudah tidak ada yang perduli padaku."Suasana hati omah berunah lagi.

"Jangan seperti itu ma,kami sangat menyayangi mama."Senyuman menghiasi bibir nyonya Kartika yang merah dengan lipstik tebalnya.Tapi itu senyuman palsu,sebenarnya dalam hatinya dia senang kalau oma lenyap dari muka bumi ini.

"Aku ingin pulang malam ini juga,aku sudah baikkan."oma ketus.

"Baiklah oma aku akan mengurus terlebih dahulu semua administrasi dan biayanya."kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Alex.Dia merasa tidak nyaman setiap kali harus bertemu dan berbicara dengan tantenya.

Alex keluar dari ruangan itu,saat berjalan menuju salah satu lorong matanya tidak sengaja melihat Zahra,dia mempercepat langkahnya,paling tidak dia harus tau siapa namanya.

"Nona....hei nona tunggu."Suara Alex kali ini terdengar sangat kencang.Membjat semua orang menoleh padanya.

"Maaf tuan,pelankan suara anda agar tidak mengganggu pasien yang lain."Salah seorang perawat menegur Alex.

"Baik..."Suara Alex kembali datar.

"Apa mas memanggil saya."Zahra sadar panggilan Alex ditujukan padanya.

Alex sudah di hadapan Zahra,mulutnya terbungkam namun matanya berkata-kata.

"Sebenarnya kenapa orang ini?"Zahra heran melihat ekspresi Alex yang ada didepannya.

"Mas saya buru-buru,apa ada yangningin mas sampaikan?"Zahra bertanya kembali pada Alex,namun Alex masih dengan ekspresi yang sama."Orang yang aneh"Zahra kembali berkata dalam hatinya.

"Mas saya ada urusan yang sangat penting,apakah mas baik-baik saja?"Zahra memberikan pertanyaan terakhirnya,kalau orang yang dihadapannya masih seperti ini,dia harus pergi meninggalkannya.

"Kakak.....,"Denis memukul kepala Alex,ini adalah kesempatan langka untuknya,kapan lagi....selama ini dia yang selalu ditindas Alex.

Alex terkejut,dan menyadari apa yangbterjadi.

"Maafkan saya,kalau boleh saya tau siapa nama nona?"Alex bertanya dengan gugup.

Denis terkekeh di sampingnya.

"Aku Zahra,aku harus menyelesaikan administrasi,aku harus membawa pulang jenazah ayahku."Zahra terburu-buru meninggalkan Alex dan Denis.

"Zahra tunggu sebentar,biar kami yangburus biayanya,atas nama siapa?Denis memgambil inisiatif.

"Oh...tidak perlu,aku masih bisa."Zahra menolak keinginan Denis.Sementara Alex kembali bengong dan melamun sambil terus menatap Zahra,matanya terus mengikuti kemana tubuh Zahra bergerak.

"Ayolah...itu akan memakan waktu,kebetulan pemilik RS ini adalah paman kami,kamu kembali ke kamar dan uruslah jenazah ayahmu,"Denis masih berusaha meyakinkan Zahra.

"Apa tidak apa-apa?"Zahra sedikit tertarik oleh tawaran Denis.

"Tidak apa-apa,berikan alamat dan nomor ponselmu,kami akan datang melayat besok."

"Oh...baiklah,aku akan membayarnya pada kalian setelah besok kita bertemu,aku sangat buru-buru."Zahra memberikan selembar kertas berisikan alamat tempat tinggal Amira dan nomor ponselny.

Zahra menjabatbtangan Denis dan mengucapkan terimakasih,namun ketika dia mengulurkanntangannya pada Alex,alex haya menatapnya.

"Apakah dia baik-baik saja?"Zahra bertanya pada Denis sambil melirik pada Alex.

"Kakak....Zahra akan pergi."Denis kembali memukul kepala Alex,kali ini sedikit keras,hingga Alex terkejut karena rasa sakit.

"apa....kenapa pergi?"Alex menerima uluran tangan Zahra.

"saya harus memgurus jenazah ayah saya."Zahra menjelaskan kembali.

"Maaf tangan saya."Zahra bingung melihat tingkah aneh Alex sambil berusaha menarik tangannya dari genggaman Alex,namun itu gahal.

"Aduh ,maaf tangan saya sakit."Zahra meringis.

"Kakak..."Denis melepaskan tangan Zahra dari Alex.

"Mmmmm....maaf aku kurang fokus,aku kurang tidur."Alex gugup....

"Saya pamit dulu"Zahra meninggalkan Alex dan Denis.

"Ha....kau ini sangat idiot."Denis mengomeli Alex.

"Apa kau bilang?"Alex tidak terimah.

"Siapa namanya?"Denis mulai naik darah

"Aku...lupa bertanya."Alex memjawab datar.

"ha....dasar idiot."Kali ini Denis diatas angin.

"Kau...beraninya kau."Alex memukul kepala Denis.

"Ini....dasar idiot."Denis menyerahkan kertas berisi alamat Zahra dan nomor ponselnya.

"Apa ini?"Alex memandangi kertas itu seperti orang bodoh.

"Itu alamatnya,dan nomor ponselnya,besok kita datang melayat,ayahnya meninggal,harusnya kau berusaha menunjukan rasa simpatikmu padanya."Kali ini Denis memutar balik keadaan.

"Wah....kamu hebat,kamu sangat jenius."Alex girang.

"Namanya Zahra,Bagaimana bisa kamu seperti orang idiot dihadapannya,bagaimana dia akan tertarik padamu kalau kau bersikap seperti itu?"Dinis mengomelinya habis-habisan.

"Mintalah hadiah padaku,suasana hatiku sangat baik."Alex tersenyum pada Denis.

"Benarkah?"Denis tidak percaya.

"Benar."Alex mengulanginya.

"Baik.....bagaimana dengan ferrari 458 Italia."Denis ragu-ragu mengatakannya.

"Kau akan memdapatkannya."Alex masihbtersenyum.

"Ha....ha....ha....ha...,benarkah?kau serius?"Denis berteriak gembira.

"Pegang kata-kataku."Alex masih dengan senyumnya.

Next chapter