webnovel

19

"Assalamualaikum," ucapan salam dari sang nenek yang baru pulang.

"Waalaikum salam nek," Arsha yang memang berada diruang tamu langsung menyambut dan menyalami tangan keriput milik nenek.

Bukan hanya mencium tangan, tapi ia juga langsung memeluk nenek uma tanda bahwa ia sungguh rindu akan dekapan hangatnya.

"Kamu kapan tiba Sha?" Pertanyaan yang meluncur dari sang nenek membuat Arsha melepas pelukannya. Belum sempat ia menjawab Arka yang baru keluar dari dapur langsung mencium tangan nenek.

"Nek, sehat kan nek."

Nek Uma tersenyum melihat betapa santunnya pria yang ada dihadapannya itu.

"Sehat Alhamdulillah. Kamu gimana?"

"Alhamdulillah nek, sehat juga,"

Arsha yang merasa diabaikan berdehem pelan, nenek dan Arka pun mengalihkan pandangan mereka kearah Arsha. Arsha yang merasa ditatap pun berdehem canggung.

"Nek, ayo duduk sini," ajak Arsha untuk mengalihkan pandangan Arka yang sedari tadi menatapnya begitu dalam.

"Kamu kok nggak hubungain nenek kalau mau kesini. Coba kalau kamu telpon nenek pasti nenek nggak akan pergi kerumah uni mu."

"Arsha udah ngabarin Sita kok nek," ujar Arsha sambil melirik Sita yang baru keluar dari kamarnya.

"Sita lupa ngasih tau nenek Kemaren, maaf ya nek," sambar Sita kala nek Uma menatap tajam kearahnya.

Nenek menghela nafas pelan "kalian akan tinggal lama kan disini?" tanya wanita paruh baya itu memastikan.

"Maaf ya nek, tapi saya nggak bisa lama disini. Lusa saya udah harus kembali terbang nek," kali ini buka. Arsha yang menjawab, melainkan Arka.

"Tapi kalau Arsha ingin tinggal lebih lama disini nggak papa kok," lanjut Arka.

"Iyaudah nggak papa," ujar sang nenek.

"Nenek mau kekamar dulu sebentar."

Setelah nek Uma berlalu kekamar, keheningan menghampiri mereka. Arka berdehem untuk mengalihkan fokus Arsha kepadanya.

"Kamu nggak papa kan kalau aku pulang lebih dulu?"

"Nggak papa mas."

Setelah mengucapkan hal itu, Arsha kembali bungkam. Bingung harus berbicara apa.

"Kalau gitu, gimana kalau siang ini kita langsung ngomong sama nenek kamu, karna gimanapun, tujuan kita ya untuk minta restu sama keluarga kamu."

Arsha menatap Arka, lalu ia mengangguk.

"Mas," panggil Arsha pelan.

"Kenapa? Hm."

Arsha tak langsung menjawab, ia menatap serius kearah Arka, membuat Arka khawatir. Ia takut terjadi sesuatu kepada Arsha.

"Arsha, are you okay?" Tanya Arka menatap Arsha dalam.

Arsha menghela nafas berat, "aku cuma mau kamu mikir dua kali mas, buat nikahin aku."

Begitu kalimat itu meluncur dari mulut Arsha, Arka langsung membuang pandangannya kearah samping.

"Kita udah bahas ini berapa kali sih Sha, kami masih ngeraguin aku? Aku harus gimana biar kamu percaya kalau aku serius mau nikahin kamu?" Tanya Arka frustasi.

"Aku cuma takut kamu ninggalin aku nantinya mas," ujar Arsha pelan.

Arka mengubah posisi duduknya untuk menghadap Arsha, ia memegang kedua bahu Arsha lembut.

"Kamu liat mata aku Sha, please," gumam Arka lembut.

"Apa kamu bisa ngerasain kesungguhan aku? Aku nggak pernah main-main soal perasaan Sha. Apalagi ini untuk masa depan kita," jelas Arka.

Sungguh ia tak bisa kalau harus disuruh untuk berhenti ditengah jalan. Apalagi mereka sudah sampai dititik ini, tinggal selangkah lagi yang harus mereka lalui untuk masa depan yang sudah mereka rancang.

Kalau sudah begini kenapa Arsha harus kembali meragu?

"Aku cuma mau mastiin kalau kamu nggak akan berhenti ditengah jalan mas."

"Sha, kamu harus ingat, bahwa aku pantang untuk mundur ketika hatiku sudah berkata maju."

"Dan jangan pernah meragu tentang aku lagi please," lanjut Arka.

Arsha dapat melihat kesungguhan yang terpancar dari kedua bola mata hitam milik Arka. Ia dapat merasakan betapa pria yang ada di hadapannya ini sungguh-sungguh akan perkataannya. Membuat Arsha yang sempat dilanda ragu kini sudah yakin dengan segala keputusan yang akan ia ambil nantinya.

"Maaf, aku sempat raguin keseriusan kamu. Aku benar-benar minta maaf mas," ucap Arsha lirih, hampir menyerupai bisikan.

"Iya, aku minta sama kamu buat jangan pernah ragu lagi buat kita."

Arsha mengangguk pasti, membuat Arka yang melihat kesungguhan itu, tersenyum dibuatnya.

********

"Nek," panggil Arka pelan. Kini mereka tengah duduk santai di ruang keluarga, karna mereka baru saja selesai makan malam.

"Iya nak?"

"Arka mau ngomong serius sama nenek," ujar Arka gugup.

Nek Uma masih setia mendengarkan. Hingga Arka kembali buka suara.

"Jadi, Arka mau minta restu sama nenek buat menikah dengan Arsha."

Huft, akhirnya kata itu keluar juga dari mulut Arka.

Nek Uma belum memberi tanggapan, membuat Arsha yang ada disana jadi semakin gugup, takut permintaan Arka tidak diterima.

Cukup lama nek Uma diam, hingga ia berdehem pelan untuk mengusir kesunyian yang sempat mampir.

"Apa nak Arka serius dengan ucapannya?"

Arka yang mendapat pertanyaan tiba-tiba pun langsung mengangguk mantap.

"Nak Arka, ada banyak hal yang tidak kamu ketahui tentang Arsha."

Arka masih setia mendengarkan perkataan nek Uma.

"Nak Arka bukan pria pertama yang datang menjumpai nenek untuk meminta Arsha dijadikan pendamping hidup."

"Dan, nak Arka juga orang kesekian yang sungguh-sungguh dalam perkataanya yang menjumpai nenek. Tapi nenek belum pernah dihampiri oleh lelaki yang langsung minta restu untuk menikahi Arka, banyak pria yang datang kemari hanya untuk meminta Arsha tanpa perlu restu dari nenek."

Arka sempat terkejut mendengar penuturan nek Uma, tapi ia yakin kalau restu yang ia pinta kepada nek Uma pasti tidak akan dipersulit.

Ia melirik kearah Arsha yang sedari tadi menundukkan pandangannya. Dapat ia tebak kalau sekarang Arsha tengah menahan air mata karna penuturan sang nenek.

"Banyak cobaan yang sudah cucu nenek ini hadapi nak, belum pernah sekalipun nenek mendengar keluh kesahnya. Bahkan ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa ibunya lebih memilih pergi dari pada bertahan hidup dengannya. Tidak ada Isak tangis yang ia keluarkan dihadapan nenek. Tapi meskipun begitu, nenek selalu tau kalau hatinya sangat terluka. Dia cucu nenek yang paling kuat nak."

Arsha tak dapat menahan air matanya, ia pun beranjak untuk duduk disamping sang nenek, tanpa aba-aba ia langsung memeluk nek Uma. Didekapnya sang nenek.

Ia kira, sang nenek tak pernah tau kalau hatinya pernah sakit saat sang ibu lebih memilih pergi. Ia kira selama ini nenek nya tidak pernah peduli kepadanya.

Tapi saat ini, prasangka nya salah. Ternyata wanita tua yang kini ada didalam dekapannya begitu peduli. Hanya saja neneknya lebih memilih diam.

********

Batam, 23 November 2019.

Next chapter