47 Ikatan (2)

Hujan kini turun membasahi kota pagi ini, memberi kesan romantis bagi mereka yang jatuh cinta dan juga memberi kesan galau bagi mereka yang tengah merindukan seseorang. Seperti Hanna saat ini, berbaring di kasur besar itu. Posisi kaki berada di atas bantal sedangkan kepalanya menjuntai menyentuh lantai dingin.

Hujan seakan tengah menertawakan nya. Tinggal sendirian di rumah yang cukup besar itu. Hanna selalu meyakinkan dirinya, jika Hasan sudah mengenakan seragam kebanggaan nya itu maka Hasan bukan lagi miliknya. Hasan juga milik negara ini.

Hasan...Hasan...berapa kali pun nama itu terngiang di telinganya, Hanna tidak pernah bosan. Namun kali ini berbeda. Entah mengapa ia khawatir dengan suaminya yang saat ini tengah bertugas.

Pandangannya tertuju pada sebuah foto pernikahan nya. Ia ingat saat itu debaran nya begitu kencang saat melihat wajah tampan Hasan. Apalagi saat perhatian Hasan kepadanya saat itu.

Mengingat hal itu membuat Hanna sadar, betapa berharganya Hasan bagi dirinya saat ini. Hasan-lah yang mengubah seluruh hidupnya, memberikan warna yang begitu cerah dalam kehidupan nya.

Hanna terus tersipu malu memikirkan tentang Hasan. Wajahnya, postur tubuhnya, penampilannya, dan senyumannya. Alasannya sangat sederhana, Hasan-lah pria pertama yang berhasil membuatnya merasa nyaman. Tidak seperti pria-pria yang dulu pernah dekat dengannya karena wajahnya yang memang sangat cantik serta ia adalah anak angkat kesayangan keluarga Herlam. Hasan justru mendekatinya karena kebaikkan yang dimiliki olehnya.

Terharu, sungguh Hanna sanga terharu saat Hasan memberi alasannya mendekati dirinya saat itu. Apalagi Hasan tidak tergoda dengan teman-temannya yang saat itu menggoda Hasan dengan pakaian seksi mempertontonkan bentuk tubuh yang aduhai.

Kekuarangan Hasan terletak pada sifatnya yang pecinta kebersihan. Contohnya saja saat Hanna lupa membersihkan remah-remah makanan di ruang tamu, Hasan akan segera mengeluarkan ceramah nya sepanjang ia membersihkan ruang tersebut.

Lima menit, Hanna Hanya memegang ponselnya tanpa ada keberanian menekan tombol nomor. Bagaimana jika disana tidak ada jaringan? Bagaimana jika dirinya menganggu nya?. Seketika binar semangat itu meredup, digantikan dengan hela napas lelah.

Deringan pertama, kedua, ketiga...mengejutkan Hanna yang tengah berada di kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Segera berlari menuju kasur dan meraih dengan cepat ponselnya uang berdering keras itu.

" Halo,bu."

" Nak, ibu sebentar lagi sampai ke rumah mu. Apa kamu ada di rumah,nak?."

" Hm, aku hari ini ada di rumah seharian,bu. Hari ini aku libur latihan..."

" Benarkah? "

Hanna heran dengan nada bicara ibunya yang nampak sedikit terkejut.

" Iya, bu. Pelatih membiarkan kami untuk beristirahat sehari agar stamina kami kembali terkumpul."

" Syukurlah kalau begitu, jangan terlalu memaksakan diri mu untuk berlatih. Walaupun kamu menyukai dunia ballet, tetap harus jaga kesehatan mu itu."

" Ibu tidak perlu khawatir, Hasan juga selalu mengingatkan ku, bu."

" Benar-benar suami yang pengertian, heh? "

Hanna tersenyum mendengar nada bercanda ibunya itu. " Hm, Hasan benar-benar perhatian dengan ku, bu."

" Kau beruntung mendapatkan suami seperti Hasan. Walaupun dia sibuk dengan pekerjaannya tapi dia selalu memperhatikan mu. Ibu sempat khawatir jika Hasan tidak memikirkan mu, nak."

" Aku dulu juga sempat khawatir,bu.tapi Hasan benar-benar memperhatikan ku. Bahkan sesekali menyempatkan diri menghubungiku jika di tempat dia bertugas memiliki sinyal yang cukup bagus."

"Ha~ibu heran juga, ya. Di zaman secanggih ini masih saja ada orang yang menolak teknologi-teknologi saat ini."

" Itu karena mereka tidak ingin merusak warisan leluhur mereka, bu. Lagi pula suku-suku yang menolak teknologi saat ini dalam perlindungan pemerintah. Jadi tempat tinggal mereka tidak akan diganggu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab."

" Hm... Kau benar nak. Ibu bahkan berterima kasih kepada mereka yang menjaga hutan dengan baik. Tanpa mereka, ibu yakin jika hutan akan habis dibabat oleh oknum tak bertanggung jawab."

" Oh, ibu sudah ada di depan gerbang rumah mu. Ibu akhiri panggilannya, ya... Dan segera keluar untuk menyambut ibu mu ini. "

Hanna menatap ke arah jendela kamarnya, terlihat ibunya yang baru saja turun dari motor milik ojek online dan sibuk mencari dompetnya.

" Baiklah, bu. "

Hanna mengakhiri sambungan. Segera ia mengeringkan wajahnya yang basah dan berlari menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Membuka pintu lebar-lebar dan melihat ibunya yang tengah tersenyum hangat kearahnya.

" Ibu..." Hanna segera menerjang Yuri dan memeluknya erat. Ia benar-benar merindukan sosok ibunya saat ini.

Yuri yang mendapat pelukkan kasih sayang dari Hanna segera membalasnya. Mencium pucuk kepala Hanna dan mengelus surai lembut Hanna.

" Kenapa anak ibu manja sekali sih? "

" Aku merindukan ibu."

Yuri tidak bisa tidak tertawa mendengar perkataan Hanna. Bagaimana pun juga, Hanna nampak jelas bukan hanya merindukan dirinya. Seketika senyuman jahil terlukis di wajah cantik nya.

" Masa? Bukannya kamu merindukan Hasan? "

"..."

Astaga betapa lucunya anakku ini, pikir Yuri.

Hanna menyembunyikan wajah merahnya di bahu Yuri. Terlalu malu untuk mengakuinya. Bagaimana bisa ibunya membaca pikirannya?.

***

Hujan kini mengguyur hutan dekat perbatasan. Hujan yang sangat dinanti-nantikan sebagian orang dan dibenci oleh sebagian orang. Salah satunya ialah Hasan yang benar-benar tidak menyukai hujan, karena hujan membuatnya teringat akan kenangan lamanya.

Sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu jati kini tengah diamati oleh regu Hasan. Rangga dan Lena bergerak mendekat. Dari gerak-gerik mereka berdua, mereka menyadari jika lawan yang mereka hadapi bukanlah lawan yang dapat diremehkan. Mereka bersembunyi di balik tumpukkan kotak bekas di pojok. Memperhatikan sekitar dengan netra tajam nya.

Ririn, Hafi, Dendi, dan Deno berada di posisi bagian barat 70 meter dari target. Berbaur dengan lebatnya hutan yang basah. PM2 V2 diarahkan ke depan. Fokus membidik orang-orang yang tengah asik bermain kartu sambil menikmati obat-obatan terlarang.

Hasan, Bima, Rian, dan Diki berada di bagian selatan. Memantau situasi saat ini. Terlihat dua orang pria berjas rapi keluar dari mobil jeep. Sangat jelas jika dua pria itu memiliki posisi tinggi dalam Organisasi Mirai.

Payung hitam menutupi kedua pria itu, membuat mereka tak dapat mengamati raut wajah mereka berdua dari kejauhan.

Syuttt!

Peluru bersarang di kaki Rian. Segera Diki menutup mulut Rian agar tidak berteriak kesakitan. Mereka semakin menunduk saat dua pria berjas itu memperhatikan tempat persembunyian.

" Mereka mendekat."

Mendengar bisikan dari Bima. Mereka berempat semakin menundukkan seluruh tubuh mereka. Lari pun percuma, mereka pasti akan dihujani oleh peluru dari segala arah.

" Bagaimana? "

Pria berkacamata hitam menoleh kebelakang.

" Hanya binatang..."

Segera mereka menjauh dari tempat persembunyian Hasan, Bima, Rian dan Diki.

Nur segera menghampiri Rian. Segera mengeluarkan peluru yang bersarang di kaki Rian menggunakan ilmu medisnya. Peluru panjang berbalut darah segar berhasil dikeluarkan oleh Nur dengan bantuan Diki.

" Kapten, perintah anda..."—Dendi

Hasan melirik ke arah Bima yang menyetujui keputusan Hasan.

" Lumpuhkan!"

Satu perintah dari Hasan membuat teriakkan yang begitu menyakitkan terdengar dengan keras. Mengkalahkan suara derasnya hujan saat ini.

Keributan itu membuat mereka semua keluar, melihat rekan-rekan mereka yang sudah tidak bernyawa lagi.

" Dua orang terlihat! "

Segera setelah mendengar teriakkan salah satu dari mereka, Lena dan Rangga menembak.

Musuh segera bersembunyi di balik tong kosong. Membalas dengan sangat brutal.

Syutt!

Gesekkan peluru dengan tong kosong itu sedikit menyakiti telinga mereka. Di tambah derasnya hujan dan teriakkan kesakitan dari rekan-rekan nya.

Mengumpat kesal saat netranya tak sengaja bertemu pandang dengan salah satu wanita berpakaian loreng yang tengah menyeringai kearahnya.

avataravatar
Next chapter