3 S1 003 Hari Pertama Bersama

Audia langsung turun, begitu mobil mereka berhenti di basement apartemen milik Alvin, di bilangan Jakarta Selatan—lokasi apartemen mewah berdiri. Dengan kesal Audia membanting pintu mobil CR-V hitam itu dan menghentakkan kakinya setiap kali melangkah. Kebiasaan yang selalu dia lakukan saat sedang kesal.

"Audia ...," panggil Alvin, namun Audia tidak mengindahkan panggilan itu. Tetap berjalan sambil menghentakan kaki. Membuat Alvin menggeleng-gelengkan kepalanya. "Audia!" serunya kemudian, membuat Audia menghentikan langkahnya. "Kamu mau ke mana?"

"Eh?" Masih tetap memunggungi Alvin, mukanya memerah karena malu, tapi dia enggan menoleh. Dia sadar sedari tadi hanya berjalan berputar-putar di pelataran parkir itu.

"Sini, Sayang," panggil Alvin merendahkan suaranya seraya memberi kode arah jalan yang harus mereka ambil. 

'Apa? Sayang katanya?' batin Audia, membuatnya bergidik. Namun dengan menurunkan gengsinya, Audia menurut mengikuti Alvin di belakangnya, daripada dia makin terlihat konyol memutari lahan parkir di basement itu untuk yang ke sekian kalinya.

Parkiran di apartemen Alvin ini memang terbilang luas, jika bukan penghuni apartemen, bisa dipastikan bakal salah arah jalan menuju lift. Seperti Audia. Karena konsep hunian apartemen tempat Alvin tinggal ini menyatu dengan mall dan juga perkantoran. Hampir semua penghuni apartemen mewah ini bahkan memiliki akses lift pribadi yang berhenti tepat di depan pintu unit dan hanya pemiliknya saja yang bisa memakainya dengan menggunakan kartu khusus.

Tampak Alvin menggunakan kartu khususnya itu sementara Audia mendelik di belakangnya. 'Dasar orang kaya,' batinnya.

Apartemen mewah, pastinya berisi dengan barang-barang mewah, sudah barang tentu Alvin bakal memilih untuk memiliki lift pribadi yang terjaga keamanannya, bukan? Tidak ada yang salah dengan pilihannya itu. Dan lagi Audia bakal menikmati semua fasilitas mewah itu juga, karena dia adalah istri orang kaya itu. 'Hiks,' batin Audia.

Di dalam lift, Audia masih memasang raut wajah sebalnya. Bibir maju, pipi menggembung, membuang muka.  Well, sifat yang harus Alvin pelajari mulai sekarang dari istrinya, jika ia ingin pernikahannya langgeng. Dan mulai mencari cara untuk merayunya. Terbit senyum di sudut bibirnya. Membuat Audia yang mencuri-curi pandang ke arah suaminya itu menyipitkan matanya. Curiga!

Terdengar bel tanda lift tiba di tujuan.

Pintu lift terbuka, mereka tiba di lantai 37, tepat di unit milik Alvin. Alvin dengan segera meraih tangan Audia dan menuntunnya, yang tentu saja dengan segera mendapat tatapan tajam dari matanya yang bulat besar. 

"Kamu melamun terus sepanjang kita naik tadi. Aku cuma khawatir kamu terbawa turun lagi ketika pintunya tertutup. Apakah salah?" tutur Alvin, menjelaskan mengapa dia memegang tangan Audia. Dan Audia makin mengerucutkan bibirnya, namun kakinya ikut melangkah keluar dari lift.

Audia mengerjapkan matanya berkali-kali. Bola matanya tak henti-hentinya memindai setiap sudut apartemen itu yang didominasi warna hitam dan putih. Khas lelaki—lajang—mungkin?

Ditaksirnya luas unit ini sekitar 150-160 meter per segi. Sangat luas untuk ukuran lelaki lajang. Mengingat, mungkin saja Alvin menyewa—atau membeli apartemen ini saat dirinya belum bertunangan dengan model cantik itu.

Mengingat ini, perasaannya mendadak menjadi berat. Tak kurang dari 12 jam lalu dirinya masih berstatus wanita lajang. Dan sekarang? Statusnya berubah 180 derajat menjadi istri—pengganti—mungkin? Eh? 'Kenapa harus aku? Dan kenapa ternyata dia itu dosen menyebalkan itu, sih?' batinnya merutuki nasib.

Audia tanpa sadar sudah mengelilingi sebagian isi unit itu. Matanya tampak berbinar kala netranya menangkap  marble granite countertop, dining table, drying machine, gas stove, kitchen set, microwave, refrigerator, di dapurnya Alvin, persis seperti yang dimiliki para selebritis atau para  master chef  yang suka ia ikuti dalam acara memasak di televisi dan Youcube.

Setiap kali menonton acara itu, setiap kali itu pula Audia berkhayal memiliki dapur seperti mereka—satu saat nanti, agar bisa menyalurkan hobi  cooking  dan  baking-nya. Benar-benar mewah.

'Mimpi apa semalam kau Didi?' batin Audia seraya mengulas senyum.

Perubahan ini tentu saja tidak luput dari pengamatan Alvin yang sedari tadi membiarkan Audia leluasa menjelajahi unitnya.

Alvin berdehem sekali, saat Audia tengah asyik mengelus-elus  marble granite countertop  ukuran 100x100cm di depannya. Matanya tampak berbinar sekali. Mungkin jika lamunannya tidak diusik Alvin, Audia bakal menciumi meja itu saking antusiasnya.

"Kamu hobi masak? Bikin kue?" tanya Alvin.

"—" tampak semburat merah di wajah putih Audia.

"Atau hobi ngumpulin resep masakan dan kue-kue, tapi eksekusi kapan-kapan?" tanyanya menggoda. Kontan langsung merubah raut wajah bahagia Audia ke wajah sebalnya tadi. 

"Kita lanjut ke kamar, yuk." Ntah mengapa ajakan ini malah membuat Audia seketika menegang dan menatap mata Alvin tajam.

"Lho, kamu memang gak akan tidur? Atau mau tidur di dapur? Sepertinya kamu sangat tertarik dengan meja itu," ujar Alvin seraya menunjuk meja granit hitam-abu itu dan tersenyum nakal.

'Kamar tidur yang luas? Lemari baju pribadi yang bentuknya seperti ruangan?' Isi pikiran yang memenuhi kepala Audia kala membayangkan kamar milik Alvin—eheum, suaminya.

Alvin berjalan memimpin dan masuk ke dalam kamarnya, masih bernuansa hitam putih. Audia lagi-lagi dibuat terpana—sebut saja dia norak. Luas kamar Alvin itu sebesar 3 kamar—miliknya, Romi, dan si kembar Hari dan Heru jika digabungkan.

Dan benar saja, ada   walk in closet—ruang khusus tempat menyimpan pakaian, sepatu, dan lain-lain, di dalam kamarnya ini, yang dia lihat saat Alvin membuka pintu ruangan itu untuk mengambil pakaiannya.

Satu kata yang lolos dari mulut Audia. "Wow." Dan langsung spontan ia menutup mulutnya. Membuat Alvin tersenyum tipis. Istrinya benar-benar seperti anak kecil—mudah berubah moodnya.

"Mau bersih-bersih dulu?" tanya Alvin seraya membawa dua stel pakaian. Miliknya dan juga milik Audia. 

'Eh, bentar-bentar, ini baju buatku atau, punya calon istrinya yang kabur itu? Kok, tau-tau udah ada baju wanita di sini?' batin Audia. Pasalnya memang Audia belum pulang ke rumahnya sejak akad nikah pagi tadi, apalagi membawa pakaiannya untuk ganti.

Seakan bisa membaca pikiran Audia, Alvin lantas berkata, "Ini aku pesen khusus tadi siang buat kamu, dan sudah dicuci. Tinggal pakai." 

Audia tampak tercengang. 'Orang kaya, mah, bebaaaas.'

"Dan ini pakaian dalamnya. Semoga ukurannya sesuai semua, ya," ucap Alvin Seraya menyodorkan 1 set pakaian dalam berwarna nude, yang Audia taksir keluaran terbaru  Victorina Secret.

Tangan Alvin masih terulur di udara—memegang pakaian dalam, Audia tampak ragu menerimanya. 'Ya Tuhan, dia sampe beliin daleman juga? Wait ... what? Tau dari mana dia ukuranku?' Tampak semburat merah di wajah Audia. Sangat merah, karena tiba-tiba wajahnya terasa panas, menjalar hingga ke telinganya.

"Mau tidak?" tanya Alvin gemas, tiba-tiba muncul ide jahat. "Atau ... kamu lebih suka tidur tanpa daleman?" ucap Alvin lirih dengan nada menggoda. 

Audia spontan berteriak, merebut pakaian dalam itu, mengambil bajunya yang di atas ranjang, dan langsung berlari ke dalam kamar mandi yang ada di kamar itu. Menutup pintu dan menguncinya. Membuat Alvin tergelak dan suaranya membahana memenuhi ruangan itu. Konyol!

***

avataravatar
Next chapter