2 S1 002 Dia Suamiku?

Audia dan Alvin masih duduk dengan begitu canggungnya di atas pelaminan. Tidak ada interaksi dari keduanya, selama setengah jam mereka duduk dan berdiri kemudian duduk kembali, menerima ucapan selamat serta doa dari para tamu undangan, yang jumlahnya tidak kurang dari 3000 undangan. 

Berkutat dengan pikirannya masing-masing, seraya tetap memamerkan senyum di wajah mereka kapada para tamu yang menyalaminya. Meski Alvin sendiri terlihat santai, berbeda dengan Audia yang merasa tegang dan campur aduk perasaannya.

'Mentang-mentang anaknya lama jomblo. Papa seenaknya aja nerima lamaran dadakan dari orang ini. Siapa tadi namanya? Alvin? Kok, mukanya kaya kenal, ya? Mirip siapa gitu  ....' batin Audia.

Audia tidak akan mau menerima pernikahan mendadak ini, andai saja bukan karena ayahnya itu.

Resepsi terus berlanjut hingga satu jam ke depan, tampak Alvin menepuk pelan tangan Audia yang sedari tadi saling meremas—kebiasaannya dari kecil apabila merasa cemas atau tidak nyaman.

"Kamu mau makan dulu?" tanya Alvin di telinga Audia, yang membuatnya merasa geli dengan hembusan napasnya.

"—" 

"Kok, malah bengong? Sebelum ganti pakaian, mau makan dulu? Kamu lapar gak?" tanya Alvin kembali karena Audia masih tergugu dalam lamunannya.

"Eh?" 

"Makan dulu aja, yuks," ajak Alvin seraya menarik tangan Audia. Dan menautkan jemari-jemarinya di antara jemari-jemari Audia yang terlihat mungil di tangan Alvin.

Mereka turun dari pelaminan menuju meja yang telah disediakan khusus untuk kedua mempelai pengantin juga orang tua mereka.

Tampak kedua orang tua mereka tengah menyantap hidangan yang telah disediakan oleh katering sambil berbincang santai. Terlihat hangat dan akrab.

Menemani santapan mereka alunan musik dan lagu-lagu pernikahan dari wedding singer mulai terdengar.

Alvin mengambilkan aneka macam makanan yang telah terhidang di mejanya ke piring istrinya yang langsung mendapat tatapan tajam Audia.

"Banyak amat!" serunya saat melihat piring makan di hadapannya telah penuh berisi nasi dan aneka macam lauk pauk.

"Harus makan banyak. Tamunya masih banyak, lho. Biar kamu gak pingsan nanti," tutur Alvin seraya mengulas senyum.

'Wow. Ada berapa banyakkah itu?' batin Audia. Dirinya memang tidak tahu, tho, awalnya ini bukan pernikahannya.

"Mau aku suapin?" tanya Alvin, karena semenjak tadi, makanan itu masih  bergeming di piringnya.

"Gak usah. Aku bisa makan sendiri!" jawab Audia galak dan mulai mengambil sendok dan garpunya.

Dengan cepat, makanan di piring itu berpindah dan meluncur masuk ke dalam mulut Audia. Alvin hanya menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Tak disangka gadis yang sejam lalu telah sah menjadi istrinya itu ternyata galak.

Menyesal?

Kita lihat saja nanti.

***

Tepat empat jam kemudian pesta akbar itu selesai digelar. Para tamu undangan mulai berkurang, menyisakan beberapa tamu dari kerabat dekat dan keluarga saja.

Audia dan Alvin pulang bersama, menuju rumah orang tua Alvin dengan mengendarai Rolls Royce Phantom yang telah dihias dengan rangkaian bunga. Sementara kedua orang tua mereka menyusul di belakang mobil pengantin itu.

Empat kendaraan pribadi nampak memasuki perumahan elit di bilangan Jakarta itu, salah satu perumahan yang juga dibangun oleh Mandala Hutomo Tbk.

Audia dan Alvin yang tiba lebih dahulu kemudian turun dan masuk ke dalam rumah bergaya eropa tersebut. Audia tampak berdecak kagum dengan rumah itu. Rumah yang sangat besar, dan halamannya yang luas. Beberapa kali lipat besarnya dari rumah yang ia tempati bersama kedua orang tua dan ketiga saudaranya.

"Wow, besar banget rumahnya, ya, Kak," ujar Hari Direja, adik Audia tatkala kakinya berpijak di halaman rumah itu.

"Beruntung banget, ya, kak Didi—panggilan Audia sehari-hari di rumahnya," balas Heru Direja, adik Audia yang lain—saudara kembar identik Hari.

"Ayo masuk, kalian berdua ini malah bengong di luar," ujar Romi sang kakak tertua.

Mereka pun menyusul memasuki rumah tersebut. Audia dan kedua orang tuanya sudah berada di dalam lebih dahulu.

"Jadi nanti Audia tinggal di sini, tho, Jeng Sri?" tanya Ning, ibu Audia kala mereka duduk-duduk di ruang keluarga.

"Ya, ndak, tho, nanti nak Audia tinggal dengan Alvin, di rumahnya," jawab Sriwedari, ibu Alvin.

"Anak-anak kita ini, kan, belum berkenalan secara resmi, tho," ujar Prima. "Terima kasih banyak, ya, Pak Supomo, langsung menerima lamaran anak kami yang sangat mendadak ini."

Supomo tampak tertawa sejenak. "Tidak masalah. Kita ini, kan, teman dari kuliah dulu. Memang tak disangka, ya, ternyata anak-anak kita ini berjodoh."

"Ke mana ini para manten, kok, belum keliatan, ya?" tanya Ning.

"Mungkin masih berganti pakaian dulu di kamar Alvin," jawab Sriwedari.

Tak lama kedua orang yang sedang dibicarakan itu pun terlihat menghampiri. Alvin yang telah berganti pakaian dengan kaos polonya yang berwarna putih, celana panjang khaki.

Sementara Audia mengenakan terusan berwarna putih—pakaian yang tadi dikenakannya saat akan menghadiri undangan. Keduanya kemudian duduk bersisian dalam keadaan masih canggung. Memulai perkenalan singkat yang belum mereka lakukan pagi tadi sebelum akad nikah berlangsung.

***

"Jadi, Mas, dosen aku?" tanya Audia saat mereka berdua dalam perjalanan di dalam mobil pribadi Alvin.

Setelah perkenalan singkat di kediaman Mandala Hutomo, kedua orang tua Audia dan ketiga saudaranya pamit pulang. Pada malam harinya Audia dibawa Alvin ke tempat tinggalnya. 

Alvin berdehem sekali. "Ya, begitulah."

"Pantes aku, kok, kaya ngerasa kenal sama muka Mas Alvin," tutur Audia menyocokan memorinya. "Mas ngajar apa, ya?" 

"Arsitektur." Audia menganggukan kepala sambil mulutnya membentuk huruf 'o'.

'Eh?  ....  Wait  ...  what?' Tiba-tiba syaraf-syaraf otaknya menekan memori di hipokampus.

"Pak Mandala?" tanya Audia memastikan. Yang langsung mendapat anggukan dari Alvin. "No way!" jerit Audia tidak percaya. Matanya membulat menatap lekat Alvin.

"Kenapa?" tanya Alvin heran.

"Pak Mandala yang kutau, mengajar memakai kacamata. Kok, bisa beda banget, ya, tanpa kacamata?" ujar Audia masih tidak percaya, bahwa yang di hadapannya ini adalah 'pak Mandala yang itu'.

A Mandala H, demikian yang Audia ingat saat dosen baru itu memperkenalkan diri saat pertama kali mengajar. Mengenakan kemeja kotak-kotak, rambut klimis, disisir rapih ke belakang, kacamata selalu bertengger di hidung mancungnya itu. Datang dengan membawa tas berisi laptopnya serta satu buku diktat untuk mengajar.

Dosen angkuh, sok cool, pelit senyum, muka datar,  killer. Sangat berbeda dengan Alvin yang kini menjadi suaminya. Tak disangka 'pak Mandala yang itu' dan Alvin—suaminya, ternyata adalah orang yang sama. A Mandala H, ternyata kependekan dari Alvin Mandala Hutomo.

Ntah kenapa orang ini sengaja menutupi jati dirinya, sebagai anak dari pengusaha real estate terkenal, terkaya di Indonesia, Mandala Hutomo Tbk, saat perkenalannya dahulu di hadapan para mahasiswanya.

Orang yang selama di kampusnya selalu dia hindari. Karena insiden menyebalkan di hari itu. Di hari pertama 'pak Mandala yang itu' mengajar di kelasnya.

'Orang menyebalkan itu ternyata suamiku?' batinnya. 'Oh tidaaaaaak!'

***

avataravatar
Next chapter