1 Rencana Perjodohan

Drrttt ... Drrttt ...

Benda pipih milik Narendra yang ia letakkan di atas meja kerjanya bergetar, Narendra melirik benda pipih miliknya itu. Ternyata Ibu Vita yang meneleponnya. Narendra langsung menggapainya, lalu ia menggeser tombol hijau pada layarnya.

[Hallo, Bu.]

[Iya Ren, kamu sudah di kantor?]

[Iya, ada apa Bu?]

[Ibu mau menanyakan lagi, tentang rencana perjodohan itu, bagaimana kamu mau kan?]

Laki-laki yang biasa disapa Rendra itu duduk di kursi kerjanya, tangan kirinya memegang ponsel, sedangkan tangan kanannya memegang di keningnya, ia merasa pusing jika mendengar sang ibu berbicara masalah rencana perjodohan ia dengan seorang gadis yang merupakan kembang desa di kampungnya.

[Kan sudah aku katakan sebelumnya, aku belum berkeinginan untuk menikah, apalagi menikah dengan Lingga, aku tidak mencintainya.]

[Menikah itu tidak membutuhkan modal cinta, cinta bisa datang setelah kalian menikah. Ingat, usiamu sudah menginjak tiga puluh tahun.]

[Tapi, aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak aku cintai, Bu!]

[Pokoknya ayah dan ibu mau kamu untuk cepat-cepat menikah karena kamu anak kami satu-satunya, ayah dan ibu ingin segera mempunyai cucu dari kamu.]

[Oke, biar aku cari sendiri wanita yang ingin aku nikahi.]

[Ya sudah, terserah kamu, ibu hanya ingin yang terbaik untuk anak ibu]

[Iya]

Ibu Vita menutup teleponnya, ia kecewa dengan Narendra yang merupakan anak satu-satunya itu, padahal kedua orang tuanya ingin menjodohkannya dengan seorang dokter di kampungnya, yang bernama Lingga, namun Narendra selalu menolak dengan rencana perjodohan itu. Narendra dan Lingga sudah berteman sejak kecil, mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Orang tua Lingga merupakan orang terpandang di Desa Narawita ini, ia adalah seorang juragan yang memiliki banyak sawah, sehingga hasil penjualan yang diperoleh dari panen padi di sawahnya itu bisa ia gunakan untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi dan bahkan ada yang menjadi seorang dokter.

Sedangkan Narendra sendiri, setelah lulus sekolah menengah atas, ia merantau ke Jakarta untuk beradu nasib disana, awal kerja disana sebagai office boy disalah satu perkantoran, lalu dari hasil kerjanya itu, ia bisa membiayai kuliahnya sendiri. Setelah lulus kuliah, ia kembali melamar pekerjaan sesuai pendidikannya. Akhirnya ia bisa bekerja sebagai karyawan kontrak di salah satu perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, karena kinerjanya yang bagus, beberapa tahun kemudian ia diangkat menjadi seorang Direktur Utama. Tak mudah bagi Narendra untuk berada di posisinya sekarang, butuh perjuangan dan kerja keras yang tak mengenal lelah setiap harinya. Makanya ia tidak memikirkan adanya wanita dalam hidupnya. Karena baginya, karirlah yang menjadi prioritasnya saat ini, karena ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya.

Narendra kembali melanjutkan pekerjaannya, ia tak ingin terlalu memikirkan perkataan sang ibu yang selalu menginginkan dirinya untuk segera menikah. Menurutnya, nanti ia juga akan bertemu sendiri dengan jodohnya.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Masuk!" Ucap Narendra.

Tak lama kemudian, masuklah seorang office girl yang membawakan secangkir kopi untuk atasannya itu, lalu ia meletakkan cangkir yang berisi kopi ke atas meja kerja Narendra.

Narendra memandang gadis itu, sepertinya ia seorang anak baru, karena Narendra belum pernah melihat gadis itu sebelumnya.

"Hei ... " Panggil Narendra, seketika gadis yang bertubuh langsing itu menoleh ke arahnya.

"Kamu baru ya bekerja disini?"

"Iya Pak, saya baru bekerja hari ini." Jawab gadis itu dengan wajah polosnya.

"Pantas saja, saya baru melihat kamu."

"Iya, permisi Pak." Ucap gadis itu lalu beranjak keluar ruangan.

Narendra melihat kembali secangkir kopi yang dibawakan office girl itu.

"Hei, tunggu!" Narendra memanggilnya lagi, lalu gadis itu kembali menoleh.

"Ada apa, Pak?"

"Itu bukan cangkir yang biasa saya pakai, tolong ganti cangkirnya, ganti juga kopinya. Tapi kopinya yang ini jangan dibuang, silahkan kamu minum saja, lalu kamu tanyakan pada seniormu, mana cangkir yang biasa saja pakai!"

"Baik, Pak!" Jawab gadis yang rambutnya dikuncir ke belakang itu seraya mengambil kembali cangkir yang berada di atas meja.

"Hei, tunggu!" Narendra masih memanggilnya lagi, gadis muda itu pun kembali menoleh.

"Ada apa lagi, Pak?"

"Nama kamu siapa?"

"Nama saya Zoya."

"Oke, silahkan lakukan apa yang saya perintahkan tadi ya Zoya!"

"Baik, Pak."

Zoya beranjak ke pantry untuk mengganti cangkir yang biasa digunakan oleh atasannya itu.

"Lho Zoy, kenapa cangkir kopinya dibawa lagi?" Tanya Risma, salah seorang seniornya.

"Salah cangkir, Mbak. Si bos nggak mau pakai cangkir ini."

"Oh iya, maaf saya lupa kasih tau ke kamu. Ini cangkir yang biasa bos pakai!" Ucap Risma seraya memberikan cangkir itu pada Zoya, lalu Zoya pun membuatkan kopi baru untuk atasannya itu.

Tok ... Tok ... Tok ...

Zoya kembali ke ruangan Narendra.

"Masuk!"

Zoya pun langsung membuka pintunya, lalu meletakkan cangkir itu di atas meja kerja sang atasan "ini kopinya, Pak."

"Oh iya, terima kasih." Ucap Narendra sambil memperhatikan wajah Zoya yang masih sangat muda.

"Usiamu berapa?"

"Baru sembilan belas tahun, Pak." Jawab Zoya sambil menunduk.

"Oh, masih sangat muda."

"Iya."

"Ini pengalaman pertama kamu kerja ya?"

"Iya, Pak."

"Ya sudah, semoga betah ya bekerja disini."

"Iya, Pak."

Zoya keluar dari ruangan Narendra, lalu ia kembali ke pantri untuk mencuci gelas-gelas yang kotor.

Ini memang pengalaman kerja yang pertama bagi Zoya. Setelah lulus SMA, ia berusaha melamar pekerjaan dimana-dimana, namun tak juga ia dapatkan. Apalah arti ijazah SMA dijaman sekarang? Sungguh sulit mendapatkan pekerjaan di ibu kota ini hanya dengan mengandalkan ijazah SMA-nya. Zoya sempat setahun menganggur, ia hanya di rumah, membantu ibunya, lalu main ke rumah temannya, begitu saja kegiatannya setipa hari. Untuk meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi, kedua orang tuanya tidak mampu, jadi ia harus mencari uang sendiri untuk biaya kuliahnya nanti, makanya saat ada lowongan pekerjaan sebagai office girl ini di infokan oleh salah seorang tetangganya, ia langsung melamar di perusahaan penyalur tenaga kerja itu.

"Gimana, sudah membuatkan kopi untuk Pak Rendra?" Tanya Aida, salah satu teman kerja Zoya.

"Sudah, tapi tadi sempat salah cangkir, untungnya langsung cepat-cepat aku ganti."

"Iya, Pak Rendra tuh nggak mau kalau kopinya disuguhkan dengan cangkir yang berbeda."

"Aneh ya, padahal cangkir sama aja, yang terpenting kan kopinya." Ucap Zoya.

"Begitulah kalau bos."

"Tapi untungnya dia nggak marah sama aku."

"Pak Rendra tuh nggak galak, hanya sedikit tegas dan rada bawel aja." Ungkap Aida.

Zoya sudah sedikit tahu tentang atasannya itu. Sebisa mungkin ia akan bekerja dengan baik di perusahaan ini, karena ia sangat butuh uang untuk biaya kuliahnya nanti.

Zoya melirik jam pada gawainya, sudah jam dua belas siang.

Kring ....

Telepon yang berada di pantry berbunyi.

"Angkat, Zoy!" Titah Risma, lalu Zoya langsung mengangkat panggilan itu.

[Hallo, ke ruangan saya ya!]

[Maaf, ini siapa?]

[Pak Rendra!]

[Oh iya maaf Pak. Baik, nanti saya ke ruangan Bapak]

Narendra menutup teleponnya.

avataravatar
Next chapter