1 Mencintai Kehilangan

Jika kalian bertanya apa itu mencintai? Maka aku akan menjawab jika itu adalah tentang menunggu ataupun mengiklaskan. Cinta yang datang karena Allah, jikalaupun dia pergi, maka itupun karena Allah.

Jangan bersedih, lalu ikhlaskan. Ketika ikhlasmu menjadi kesulitan untukmu, maka Allah akan mudahkan engkau.

Percaya, bahwa janji Allah itu nyata, itu bukti.

Aku berjalan memasuki kamar, meraih handphone yang tadi ku taruh di meja nakas.

Sebelum mencuci piring aku memang sudah berniat berselancar di dunia maya, hanya pekerjaan rumah harus lebih dulu ku utamakan.

Aku tidak mengerti untuk apa aku membuka sosial media jika tidak ada hal menarik yang bisa ku temui. Tapi, mimpi semalam membuatku teringat sesuatu, dan itu membawa perasaan yang telah lama hilang menjadi teringat kembali.

Masa lalu.

Bisakah itu menjadi kenangan belaka?

Rupanya walaupun berapa kali aku berusaha melupakan, menghilangkan, cerita lampau itu pada dasarnya tidak akan pernah hilang. Karena itu nyata, itu benar terjadi.

Walau beribu andai ku katakan. Seandainya tidak akan  pernah menjadi sebenarnya, itu adalah sesuatu yang memang tidak dapat di rubah.

Sebuah postingan tentang seseorang yang tadi malam memasuki mimpiku, menyadarkan aku tentang sesuatu.

Inilah saatnya dia kembali setelah sekian lama mengejar mimpinya. Kembali pada tempat dimana sejak awal dia berada.

Lantas, bisakah aku melihatnya?.

Lalu ingatan itu secara alami memasuki pikiranku.

Aku tidak pernah berpikir dapat merasakan suatu perasaan yang mendalam, terlebih saat masih SMA.

Namun tanpa ku sadari seseorang telah merebut hatiku lebih dari yang biasanya ku berikan.

Sosoknya yang berbeda membuatku tanpa sadar memperlakukannya beda dari orang lain yang juga pernah singgah terlebih dahulu.

Pertemuan yang diawalinya lewat sosial media pada awalnya tidak terlalu ku perhatikan, namun mengenalnya lebih jauh membuatku tahu seperti apa sosoknya. Dia berbeda dari kebanyakan lelaki yang ku kenal.

Dia baik, rajin dan sosok yang tanpa sadar adalah salah satu dari imajinasiku.

Sosok yang selalu ku idamkan dapat hadir dalam kisah asmaraku.

Dia bukan hanya membawaku pada perasaan nyaman, namun dia juga membimbingku untuk menyadarkanku tentang kewajibanku sebagai seorang wanita muslim.

Yang dulunya tidak pernah sholat, jadi mulai mengerjakan, walau masih bolong-bolong. Yang tadinya sudah absen baca Al-Qur'an jadi mulai kembali belajar setelah dengar dia ngaji.

Semua hal positif sejak aku mengenalnya membuatku semakin mengaguminya, lantas berubah menjadi menyukainya, dan tanpa sadar berambisi memilikinya.

Kak, aku wanita biasa yang masih dalam tahap belajar, masih biasa di temani dengan status yang namanya pacar.

Lalu kedekatan yang terlalu nyaman ini tidak bisa ku terima hanya sebatas teman. Aku butuh sebuah kepastian.

Aku tahu dia mulai menyadari perasaanku, dia mulai lebih berhati hati, namun aku yang egois memilih untuk menghindar.

Akalku mengatakan, sebelum terlanjur berubah menjadi cinta lebih baik melepaskan dan menerima yang bisa memberi kepastian.

Aku memilih untuk menjalin hubungan dengan orang lain, yang tak lain adalah teman masa SD ku.

Tapi, ketika tahu dia menghindar setelah tahu aku tidak lagi sendiri.

Aku mulai goyah, aku panik dan perasaan tidak nyaman dengan begitu besar menghancurkan prinsipku tentang sebuah kepastian tentang suatu hubungan.

Ah, jangan tanya setelahnya.

Karena pada akhirnya aku memilih sendiri dan kembali berharap padanya.

Dia memberikanku hal yang lebih baik dari status pacar. Hanya lagi lagi rasa takut kehilangan memcerca ku dengan keinginan untuk memilikinya.

Dia tahu rasaku, dan akhirnya memutuskan untuk mengajakku bertemu secara langsung, karena selama ini, kami hanya bertemu sekedar mencuri pandang jika berpaspasan ataupun saling melempar senyum jika tak sengaja bertemu di jalan.

Dan pertemuan pertama kami di rencanakan pada malam tahun baru.

Namun sayang, cuaca yang tidak mendukung dan situasi yang mempersulit membuat pertemuan pertama kami gagal.

Aku harus menelan kecewa dan penyesalan.

Hingga akhirnya tepat pada malam di akhir bulan Febuari, kami baru bisa benar benar bertemu.

Oh, pada saat itu aku benar benar merasa sangat bahagia, hatiku bahkan seakan ingin loncat dari tempatnya.

Walau sedikit kecewa karena dia membawa dua temannya di malam pertama pertemuan kami, tapi itu tidak menghapus rasa senangku.

Andai dia tahu, bahwa pertemuan itu telah sekian lama aku nanti.

"Kenapa basonya nggak di makan? Malu sama kakak? "

Aku melirik sekilas, baru menyadari baso pesananku yang sedari tadi hanya ku pandangi.

Aku mengangguk lalu melihat sekilas kedua temannya yang duduk di belakang kami.

"Kakak juga malu sebenarnya, "

Dalam hati aku merasa ingin menjerit.

Untuk mengalihkan perhatian aku mengambil botol saus, berniat menambahkan ke mangkuk baso ku yang ternyata masih belum diberi saus sama sekali.

Beratnya botol menyusahkanku, hingga tanpa sengaja malah terkena pinggir mangkuk.

"Susah ya? Sini, biar sama Kakak. "

Aku harus menahan senyumku saat dia dengan manis menaburkan saus ke baso pesananku.

Manisnya...

Kembali aku melirik kedua temannya. Salah satu dari keduanya sedari tadi selalu memperhatikanku, sedangkan yang satunya memilih pura pura tidak peduli.

Sejujurnya temannya yang memperhatikanku itu belakangan ini sedang dekat denganku, hanya aku tidak menyangka mereka ternyata teman dekat.

Sebuah kebetulan yang tidak pernah terbayangkan.

Setelah makan, dia dan kedua temannya berpisah.

Lelaki yang ku sukai itu lalu mengajakku pulang karena takut terlalu malam, dia menghargai batas jam malam yang orang tuaku berikan.

Tidak lebih dari jam sembilan malam.

Dia menghentikan motornya saat melewati jalanan sepi.

Masih ada waktu untuk bicara sebelum jam sembilan, itu sebabnya dia mengajak pulang agar kami punya waktu berdua..

"Aku suka sama kakak, " ungkapku terlebih dahulu.

Aku bingung saat dia turun dari motor, membantuku untuk turun, lalu di kejutkan dengan pelukannya.

Ya tuhan, pelukan.

Pada saat itu aku ingin agar waktu berhenti. Agar aku selalu dapat merasakan pelukan hangatnya.

Hangat dan nyaman.

Dan lewat pelukan ini perasaan kami tersampaikan.

Namun dengannya bukanlah hanya tentang sebuah perasaan nyaman. Rasa takut kehilangan semakin tumbuh lebih besar, lebih kuat.

"Jadi kita pacaran sekarang? " tanyanya saat motornya berhenti di gang masuk ke rumahku.

Aku mengangguk dengan malu, "Iya. "

"Salim dulu. "

Dengan menahan degup jantung yang semakin memburu aku meraih tangannya. Setelah salaman dan di iringi senyuman aku berbalik. Tidak sabar untuk sampai ke rumah dan masuk kamar.

Ingin rasanya aku menjerit saking senangnya.

Dengannya.

Sosok kakak kelas sewaktu SMP, yang sering ku lihat secara sekilas, kini berubah menjadi pusat dari perhatianku.

Lalu pertemuan kedua kami.

Seperti biasa dia akan memelukku dan aku akan menikmatinya.

"Mana tangannya? "

"Apa itu? " Tanyaku saat melihatnya mengeluarkan sesuatu.

Sebuah jam tangan mungil berwarna hitam berada di tangannya.

"Buat kamu, biar nggak kesiangan. "

Aku menutup bibir saat tangannya meraih tanganku yang kecil. Dan memakaikannya.

"bagus"

"Iya, imut. Kaya kamu. "

Aku mencibir, agak sebal jika dia mulai menjadikan fisikku lelucon.

"Makanya, olahraga, hari minggu itu dipake joging bukan jalan jalan cari makan. "

"Iya. " jawabku sebal.

Dan malam itu kami habiskan dengan cerita tidak jelas, dan bahasan yang tidak jelas pula.

Setidaknya itu salah satu cara agar aku punya alasan untuk terus bisa bersamanya.

Tapi rupanya, hubungan yang aku kira akan berjalan baik, malah menjadi buruk setelah status berubah menjadi pacar.

Sifat nya mendadak berubah beberapa hari ini. Dia menjadi cuek dan dingin, bahkan mengabari pun harus aku yang terlebih dulu memulai.

"Kangen. " Tulisku lewat pesan singkat.

Tak lama dia membalas dan mengajakku bertemu.

Seharusnya aku menolak, seharusnya kami tidak bertemu malam itu jika hanya hal pahit yang akan terjadi.

Tapi rasa rindu tidak dapat ku pungkiri.

Akhirnya malam itu kami bertemu. Melepas rindu setelah seminggu menahannya.

Aku melihat kertas fotocopy di motornya. Dia bilang itu alasannya agar di ijinkan keluar malam.

"Anter ke tempat cuci foto ya. " ucapku.

Kebetulan kakakku memintaku untuk mencetak foto anaknya untuk di kirim ke Ayahnya, berhubung mendengar aku akan keluar rumah.

Sebenarnya itupun hanya salah satu alasanku saja agar bisa bertemu.

Dan tutupnya tempat cetak foto tidak terlalu masalah untukku.

Kami lalu berhenti untuk mengobrol.

Sebenarnya aku yang lebih banyak bicara, dia lebih banyak diam dan mendengarkan.

"Sebenarnya kakak sayang aku nggak sih? " Tanyaku, mengungkapkan hal yang sejak lama ingin ku sampaikan.

"Aku ingin kakak terbuka, cerita sama aku. Terserah apa aja, bukan cuma aku yang cerita. "

Rasa panas dimata coba ku tahan, setidaknya aku telah mengungkapkan keluh kesahku tentang dirinya.

Aku tahu dia cuek, jutek dan pendiam, tapi aku pacarnya, aku ingin dia terbuka kepadaku.

"Sebenernya, ada yang ingin kakak bicarain sama kamu. "

Kata katanya mendadak membuat perasaanku tidak enak, sejujurnya sudah dari sekolah aku merasakan perasaan ini, cuma aku coba hilangkan.

"Sebentar lagi kakak, UN. Kamu juga masih kecil, masih kelas 10. Masih harus lebih banyak belajar. Kakak kasihan sama kamu, takut hubungan kita ganggu belajar kamu juga Ujian kakak. "

"Jadi kakak mau kita putus, gitu? "

"Maaf dek. Kamu jangan marah ya. Jangan nangis. "

Bukannya menenangkan, itu malah membuatku merasa semakin sakit. Aku tahu alasannya masih bisa ku terima, terlebih di sudah kelas 3 SMK. Sudah banyak hal yang harus dia fikirkan.

"Nggak nangis, Cuma sakit. "

Melihatku yang diam sepertinya membuatnya serba salah.

Aku tidak dapat menahannya, terlebih jika itu tentang impiannya. Hanya saja aku berharap memang itu alasan di balik keputusannya, bukan karena alasan lainnya.

"Aku mau pulang. "

"Iya, tapi janji jangan nangis. "

Andai tidak malu, mungkin aku akan berteriak dan memakinya karena ucapannya itu.

Belum lama motor melaju dia kembali menepikan.

Di bawanya diriku kembali ke pelukannya. Menenangkan jika saja aku benar benar menangis.

Tapi nyatanya aku tidak menangis, bukan karena aku kuat, bukannya sok tegar, hanya saja rasa sakit itu terlalu kuat, hingga aku seakan kehilangan air mataku sehingga sesak yang tidak tersalurkan akan semakin terasa menyesakkan.

"Kamu belajar yang rajin. Jangan pacaran dulu. "

"Iya, pacaran itu dosa. "

"Itu kamu tahu. Kita sekarang aja lagi buat dosa. Percuma sholat, percuma pinter ngaji, kalo pada akhirnya berbuat dosa juga, zina juga. "

Dalam hati aku membenarkan, tapi juga tidak dapat membohongi, kalau bersamanya adalah dosa manis yang tidak aku sesali, setidaknya belum.

Dan setelah sampai rumah, aku baru bisa menangis.

Ternyata memang benar, jika air mata akan tumpah setelah semua hal buruk itu terjadi.

Seperti katanya, 'Kalo jodoh pasti akan bertemu lagi'.

Mainstream, tapi tak urung aku mempercayainya.

Setelah putus kami masih kontekkan, masih sering saling tukar kabar. 

Aku akan menyemangatinya saat dia Ujian, memberi selamat di hari ulang tahunnya, di hari kelulusannya. Sampai akhirnya seiring waktu, semua mulai menjauh. Terlebih saat kabar dia jalan dengan orang lain, yang juga masih berstatus pelajar terdengar.

Aku memilih menjauh, karena dia memang sudah jauh.

Aku tidak dapat lagi mengharapkannya ketika patah hati menekanku untuk melupakannya.

Lalu dia datang, memberi kabar yang mampu membuatku lemas.

Dia akan pergi jauh dan dalam waktu yang tidak sebentar.

Ketika dia akan mengejar mimpinya maka aku hanya bisa kembali mendo'akan.

'Semoga kamu bahagia, Kak. '

***

Ketika kamu menjauh, aku hanya berdiri. Dan ketika kamu akan kembali, lantas kini Allah yang akan menjauhkan.

Aku tidak tahu harus seperti apa berekspresi, aku bahagia karena dia akan kembali.

Keinginan untuk melihatnya kembali telah bertahun tahun ku pendam.

Tapi, pulangnya ia adalah di saat aku yang akan mengejar mimpiku.

Dari dulu aku selalu berdo'a untuk bisa melihatnya walau hanya sekilas, tapi, apa dayaku jika Allah tidak perkenankan itu.

Aku meraih guling, menahan tangis ketika pikiran liar mengatakan jika aku memang tidak akan bisa kembali bertemu dengannya.

Penantian selama bertahun tahun yang menyiksa akan selalu tetap menjadi harapan semu.

Ketika takdir memaksaku memilih, antara mengejar mimpi atau melihatnya?

Lantas apa yang harus aku pilih.

Jika mimpiku adalah pertanda Allah tentang dia yang memang bukan jodohku.

Ketika Allah jauhkan aku dengannya.

Allah jauhkan aku dengan segala tentangnya.

Masih adakah pilihan untukku?

Tidak.

Pilihanku hanya satu, mencoba mengikhlaskan.

Karena ketika aku memutuskan untuk mencintai, maka aku harus siap untuk kehilangan.

Mencintainya adalah rasa cinta yang Allah tanamkan, dan kehilangannya pun adalah awal dari rencana yang Allah datangkan.

Karena pada dasarnya, tiada yang lebih menyakitkan dari 'mencintai-kehilangan'.

avataravatar