webnovel

Malam Pertamaku – Kesalahan Berulang

Kutepis pikiran-pikiran buruk itu sebelum membuat kepalaku ingin pecah, dan langsung beralih ke Papa lalu mencium punggung tangannya dengan penuh takzim. Papa tersenyum dan mengelus puncak kepalaku sekilas sembari berkata, "Terima kasih, karena sudah menerima putraku yang memiliki banyak kekurangan. Jadilah wanita yang kuat, Nak. Pernikahan bukan sebatas senang-senang atau keromantisan belaka, tapi juga soal perjuangan bersama."

Kalimat tersebut keluar dengan nada suara yang sangat lembut, hingga membuatku terdiam dan merenungkannya. Benar kata Papa, pernikahan bukan hanya sebatas keromantisan saja, namun juga mengenai perjuangan bersama. Dengan ini aku akan memperjuangkan ridlo Tuhanku melalui ridlo suamiku, juga memperjuangkan kehidupan rumah tangga kita nanti.

Aku mengangguk dan tersenyum menatap Papa, sebelum akhirnya beliau berjalan menuju ke barisan keluarga besar kami untuk berfoto bersama. Lalu, berlanjut ke keluarga besarku, dan memulai acara resepsi di rumahku.

***

Gaun pengantin yang berat tadi sudah kulepas dan kembali dibawa pulang oleh tim MUA yang meriasku tadi. Kini, aku berada di kamar dan duduk di tepian tempat tidur, menunggu pak Bara kembali ke kamar dari berwudlu.

Saat ini aku sudah mengenakan mukenah dan bersiap untuk sholat isya' berjamaah dengan suamiku. Hatiku berdebar-debar karena ini kali pertama laki-laki yang bukan mahram menjadi imam atas kewajibanku pada Tuhan. Bukan berarti aku tak pernah sholat berjamaah, hanya saja kali ini kami hanya sholat berdua. Hanya aku dan pak Bara saja, dengan beliau yang menjadi imam dan aku makmumnya.

Ya Allah, selamatkan jantungku. Apa malam ini pak Bara akan langsung meminta haknya sebagai seorang suami padaku? Aku belum siap. Walau aku mencintainya, namun aku masih sedikit canggung dan takut akan hal tersebut.

Kuharap pak Bara akan amnesia mengenai hal tersebut untuk malam ini saja.

"Assalamu'alaikum," ujar seseorang dari arah pintu.

Kontan aku mendongak dan menatap pintu sembari menjawab salam tersebut.

Pak Bara tersenyum dan mulai membenarkan peci hitamnya seraya berjalan mendekat ke arahku. Diri ini sendiri hanya mampu diam dan gugup mendapati sang suami yang telah berada di hadapan.

"Hayuk sholat," ajaknya dengan suara yang sangat lembut menyejukkan.

Kuanggukan kepala dan mulai bersiap di atas sajadah makmum yang sudah kusiapkan bersamaan sajadah imam sedari tadi. Pak Bara mulai mengumandangkan iqomah dan aku menjawabnya dari belakang dengan lirih. Kami pun mulai sholat dengan khusyu' dan mengharap ridlo atas Tuhan untuk ibadah kami.

"Assalamu'alaikum warohmatullah."

Salam terakhir terucap dan Pak Bara mengusap wajahnya seraya mengucapkan hamdalah, begitupun apa yang kulakukan sebagai makmum. Lalu setelahnya, Pak Bara menoleh ke belakang dan menjulurkan tangan kanan, membuatku spontan menerimanya dan mencium punggung tangan kanannya dengan penuh takzim.

Tiba-tiba saja tangan kiri Pak Bara menarik rahangku dan mencium lembut pipiku. Aku terkejut dan lagi-lagi tak bisa mengatakan apa pun atas semua hal ini. Jantungku kembali berdebar, dengan bayangan hal-hal aneh yang mendadak mengitari benakku. Aku takut akan dilahap habis Pak Bara malam ini.

"Kamu kok jadi pendiem gini, sih?" tanya Pak Bara, menelengkan wajah dan tersenyum sangat manis.

"Enggak kok, Pak. Saya mana ada jadi pendiem?" jawabku sembari tersenyum cerah, menunjukkan jajaran gigiku yang terdapat gingsul di bagian kiri atas.

Pak Bara mengerutkan dahi dan menghela napas berat, membuatku menegak dan mematung seketika. Apa aku salah bicara? Apa nada atau kata yang kupakai kurang sopan? Haduh! Sadar, Arinda! Pak Bara sekarang adalah suamimu! Harusnya aku menggunakan bahasa krama yang sopan kepadanya.

"A-anu …, maafkan saya, Pak. Saya salah bicara, ya?" tanyaku lirih, tak enak hati pada suamiku sendiri.

Pak Bara tersenyum hambar dan menggeleng. Ia lantas memegang daguku dengan kedua tangannya, kembali menarik wajahku untuk mendekatinya dan membuatku berhenti bernapas seketika. Pak Bara menurunkan pandangannya, aku tahu suamiku tengah mengincar apa dan langsung kupejamkan mataku, tak sanggup menyaksikan apa yang akan ia lakukan padaku.

Benar saja, Pak Bara mengecup lembut bibirku dan menatapku dengan sangat dalam. Aku yang sudah membuka mata pun menurunkan alis dan spontan menutupi bibirku dengan kedua tangan.

"Kenapa ditutup?" tanya Pak Bara terlihat kebingungan.

Aku menggeleng kuat. "Kaget, Pak," jawabku, lagi-lagi dengan bahasa yang sepertinya akan kembali menyinggungnya.

Suamiku ini kembali menghela napas berat dan menatapku dengan serius.

"Saya ini suamimu sekarang." Saya tahu, Pak. Tadi pagi sudah ada ijab qabul di depan keluarga besar kita, kenapa Bapak mengatakannya lagi?

"Saya juga istri Pak Bara sekarang." Kalimat yang akhirnya keluar dari mulutku.

"Lalu kenapa kamu masih manggil dengan sebutan 'Pak'?" Pak Bara terlihat kesal.

Ekspresi suamiku yang tampak kesal ini membuatku tergeliti hingga akhirnya kelepasan tertawa. Hanya sedikit. Lantas tawaku yang hanya sedikit itu membuat Pak Bara melongo tak mengerti. Ia justru dengan cepat menarikku dalam dekapannya dan mendongakkan wajahku menatap ke arahnya.

Aku terdiam, berusaha menelan saliva dengan sangat berat. Pak Bara kembali mendekatkan wajahnya ke wajahku, dan kembali menghantam kecupan pada bibirku. Hanya kecupan singkat dan ia kembali menatapku, bertanya apa aku akan tetap memanggilnya dengan sebutan 'Pak' seterusnya.

Kalau bukan Pak Bara, lantas aku harus memanggil apa? Ternyata bukan nada atau pilihan kataku yang salah, namun cara panggilku pada Pak Bara yang membuat ia tampak merengut, bahkan hingga dua kali menghela napas berat.

"Iya," jawabku seraya mengangguk.

Cup. Kecupan kembali kudapat, dan diriku kembali mematung pula karenanya.

"Kamu akan manggil saya 'Pak' seterusnya?" Duh, iya!

Kuanggukan kembali kepalaku walau sedikit ragu, dan kini tanpa kata apa pun yang keluar dari mulutku. Namun kembali bibir ranum Pak Bara mendarat ke bibirku, bahkan kali ini tak hanya sebatas kecupan.

Aku melotot dan menahan tanganku di depan dada bidang Pak Bara saat ia mulai memagutku. Kudorong tubuhnya yang kekar untuk mundur, namun kekuatannya lebih besar dariku hingga aku mulai pasrah akan apa yang ia lakukan padaku. Toh, dia juga suamiku sendiri.

Pada akhirnya kubiarkan bibirku dimainkan oleh suamiku dengan lembut. Hingga tak lama kemudian Pak Bara berhenti dan diam sejenak, lantas menatapku dengan sangat serius. Pegangannya pada tubuhku mengendur dan ia hanya menatapku tanpa mengatakan apa pun dalam beberapa saat. Duh! Apalagi ini, ya Allah? Apa aku lagi-lagi melakukan kesalahan?

Astaghfirullah, padahal baru satu malam, tapi kenapa aku berkali-kali melakukan kesalahan pada suamiku? Apa aku sudah bisa dibilang sebagai istri pembangkang? Apa azab tengah mengintaiku dari belakang saat ini? Ya Allah, hamba meminta perlindungan dari-Mu.

"Kamu …." Saya kenapa?

Aku menatap serius Pak Bara yang masih menunduk. Beliau perlahan mendongak dan menatapku tepat pada bola mataku, hingga kini pandangan kami saling bertabrakan.

Pak Bara diam menelan salivanya, tampak dari jakunnya yang naik turun. Jantungku mulai berdebar sangat kencang. Apa kesalahanku sefatal itu, Pak? Apa engkau akan menghukumku yang bahkan takt ahu apa kesalahan keduaku?

Pak Barat terlihat membuka mulutnya dan hendak mengatakan sesuatu. "Kamu … sudah siap?"

***

Lamongan, 09 Februari 2022