webnovel

Part 1

♥ Yoona Pov 

     Hari ini adalah hari perpisahan kami, setelah belasan tahun terus bersama. Aku yang memutuskan untuk menetap di Seoul harus merelakan kekasihku yang hendak berkuliah ke Jepang. Sedih, tentu aku sedih. Kami tidak pernah berpisah, dan hal ini adalah pertama kalinya untuk kami.

     Pagi ini kami berjanji untuk bertemu di taman yang ada di sekitar Sungai Han. Aku menggunakan jas tebal berwarna biru langit, warna kesukaannya, kekasihku. Sambil menggenggam minuman kaleng yang hangat, melawan udara yang semakin menusuk. Ya, musim dingin sepertinya sudah tiba. Dan itulah yang membuatku bersedih, karena aku tidak bisa melewati musim dingin ini bersamanya.

"Yoona-a!" panggil seseorang dari kejauhan. Tentu aku mengenal suara itu. aku langsung menoleh, benar sekali, dia adalah kekasihku. Tengah melambai-lambaikan tangannya diseberang jalan. Aku senang sekali, itu dikarenakan ia membawa bunga kesukaanku, mawar putih.

"Ne.." sahutku yang mulai melangkah menghampirinya. Pada saat itu jalanan terlihat sangat ramai dilintasi kendaraan. Kekasihku berada jauh di hadapanku, menunggu lampu lalu lintas berubah warna, dan aku masih setia menunggunya disini. Setelah sabar menunggu, akhirnya lampu merah menyala. Para pejalan kaki pun mulai melangkah untuk menyeberang, begitu juga dengan kekasihku.

     Mata kami terus bertemu, dia yang masih jauh disana tidak juga melepaskan pandangannya dariku, begitu juga denganku. Aneh, jantungku berdetak tidak karuan. Ia semakin mendekat, hingga akhirnya aku tidak mampu melepaskan diri darinya, dari ciumannya. Ya, itu adalah kebiasaannya disaat bertemu denganku. Tanpa malu ia mengecup lembut bibirku, tidak sekalipun menghiraukan pandangan orang disekitar kami.

"Mianhae, aku sudah membuatmu menunggu lama. Ini untukmu." ujarnya. Ia memberikan mawar putih itu padaku. Aku yang sudah sangat malu langsung menarik tangannya untuk menjauh dari sana.

"Tunggu." katanya mendadak dan membuat langkah kami terhenti.

"Waeyo?" kataku. Kulihat raut khawatir dari wajahnya.

"Eomma sudah menungguku, kami harus segera berangkat." wajahnya terlihat menyesal. Aku tak mampu menjawabnya. Hatiku perih mendengar itu. kami bahkan tidak punya waktu untuk mengobrol.  "mianhaeyo, aku berjanji, aku akan sering menghubungimu." ucapnya lembut.

"Kalau begitu pergilah.. " aku mengbelakanginya.

"Jangan begitu, kau tidak ingin melihatku pergi?" dia memelukku dari belakang, tetap tidak menghiraukan pandangan orang.

"Pergilah, aku takut tidak kuat melihatmu pergi." ucapku meyakinkannya. Ia mengecup rambutku pelan.

"Baiklah, aku pergi. Tunggu kabar dariku." dapatku dengar suara langkah kakinya yang semakin menjauh. Semakin menjauh, dan semakin aku menyadarinya. Aku sangat mencintainya.

Brukkkkk!

     Terdengar bunyi hantaman yang sangat keras. Tak lama dari itu hiruk pikuk warga memenuhi sistem pendengaranku. Ada yang berteriak histeris dan juga meminta pertolongan. Aku belum membalikkan tubuhku. Aku takut untuk melihat itu, sesuatu membuat pikiranku menjadi liar. Ditambah kini jantungku seakan enggan memompa, sulit untukku bernafas.

    Siriney ambulan terdengar lancang. Begitu juga dengan mobil polisi yang terus berdatangan. Aku, aku masih terdiam disana. Aneh, air mataku mengalir, hatiku seakan remuk. Aku semakin penasaran, apa yang sebenarnya terjadi dibelakangku. Maka itu dengan menguatkan diri, aku berbalik untuk melihat apa yang sebenarnya telah terjadi.

Dug Dug Dug!

     Tubuh itu terbaring lemah. Diam seakan tak bernafas. Wajahnya nyaris tertutupi darah. Aku berlari mendekatinya. Beberapa orang sedang memberikan pertolongan untuknya. Memberikan nafas buatan, memukul dadanya, memberinya oksigen lalu membawa tubuhnya bersama dengan mobil ambulan. Seperti itulah yang terlihat olehku. Yang setelah itu baru menyadari situasi yang sebenarnya.

     Tak mampu berdiri, aku terduduk di atas aspal. Tak ada tangis, hanya helaan nafasku yang tersengal. Namun setelah kembali mengingat wajah yang dilumuri darah itu, tangisku pecah seketika. Aku terisak keras. Sangat keras. Warga mulai menghampiriku, namun tidak ku hiraukan. Aku sadari mawar putih yang ada digenggamanku. Rusak tak berbentuk.

"Andwe.." lirihku. Semangat mendadak menghilang dariku. "Sehun-a.." aku pun terjatuh lalu pingsan.

--

     Aku berkuliah disalah satu universitas di Seoul. Beraktifitas seperti biasa tentunya. Saat ini aku sedang bekerja di salah satu kafe yang terletak di lingkungan kampus, ya, itu adalah pekerjaanku. Karena aku hanya sebatangkara, aku harus menghasilkan uang untuk biaya hidupku.

     Sudah 3 tahun semenjak kepergiannya. Tidak, dia belum tiada, ibunya membawanya ke jepang untuk berobat disana. Tepat setelah kecelakaan itu terjadi, hingga saat ini aku belum bertemu dengannya. Sungguh, aku sangat merindukannya. Aku tidak memiliki cara apapun untuk menghubunginya. Nomornya tidak bisa dihubungi, begitu juga dengan nomor ibunya. Menyusulnya ke Jepang juga tidak mungkin, uangku tidak cukup untuk itu. Menunggunya dalam kenangan, mungkin saat ini hanya itu yang bisa aku lakukan.

     Aku berjalan ke halaman kafe, mengantar kopi pesanan pengunjung. Brukkk! Aku terjatuh beserta kopi yang aku bawa. Kemeja putihku kotor terkena tumpahan kopi. Kulihat mereka menertawaiku, tidak ingin melawan, aku hanya bisa bangkit, membersihkan semuanya dan kembali kedalam kafe.

"Yak! Kenapa kau tidak pernah melawan? Wae? Kau takut dipecat ayahku?" kata Jessika yaitu putri pemilik kafe tempat dimana aku bekerja. Dialah yang membuatku terjatuh. Aku hanya tersenyum kepadanya dan kembali melangkah masuk. Argggh! Aku mengerang kesakitan. Itu karena Jessika menarik rambutku. "marahlah! Aku ingin mendengarmu memarahiku." ucapnya dengan kasar.

"Tolong lepaskan tanganmu.." ucapku lembut menahan sakit.

"Hoh, kau tetap tidak melawan? Apa aku harus menarik lebih kuat? Hah!" aku semakin meringis kesakitan. Benar-benar diluar batas. Aku langsung meraih tangannya dan memutar dengan kuat. Ia berteriak kesakitan, lantas tangannya yang menarik rambutku pun terlepas.

"Yoona!" bentak seseorang. Ketika aku menoleh, terlihat ayah Jessika si pemilik kafe, aku langsung melepaskan tangannya. Pria tua itu menghampiriku lalu menamparku keras. Wajahku terhempas tak kuasa menahan tamparan itu. Perih sekali rasanya. "kau sudah sangat kelewatan! Akan ku potong setengah gajimu." ia pergi meninggalkanku.

"Ahjussi, ini tidak seperti yang kau lihat.. Ahjussi!" ia tidak lagi mendengarku.

"Yak, dari mana kau pelajari gerakan itu?" kata Jessika setelah itu. Aku hanya meraih kain serbet yang tersangkut disaku celanaku, lalu membersihkan meja. Sesekali ku tepis air mata yang mengalir di pipiku yang lembam. "aish! Kau memang menyebalkan. Mianhae, tadi aku hanya bercanda." lalu ia juga pergi meninggalkanku beserta teman-temannya. Aku berhenti membersihkan meja.

     Baru aku sadari, dari kejauhan banyak orang yang sedang memperhatikanku. Menghina dan prihatin? Ya, seperti itulah tatapan mereka terhadapku. Namun.. Aku seperti melihatnya disana. Berjalan dibelakang kerumunan orang yang sedang memperhatikanku. Tentu aku langsung berdiri dan melangkah cepat untuk mengejarnya.

     Pria itu terus berjalan, aku yang kini sedang mengikutinya tak juga menegurnya. Aku masih sangat ragu, benar atau tidak. Yang jelas tubuh mereka sangat serupa, begitu juga dengan aroma tubuhnya--karena sepertinya dia masih menggunakan parfum yang sama--hal yang sangat aku rindukan.

     Hanya berjarak 2 meter, aku terus mengikuti langkahnya. Tidak menghiraukan tatapan orang yang meleceh dikarenakan pakaian yang aku gunakan, ya, aku masih menggunakan kemeja putih yang dipenuhi noda kopi. Melewati gedung-gedung tinggi di kampus itu, ia terus melangkah tanpa henti.

"Yak, Sehun!" panggil seorang pria dari arah belakangku. Langkahnya terhenti, begitu juga denganku. Tubuhku mematung, bahkan menggerakkan mulut pun aku tak mampu. Pria itu berbalik, sayangnya ia tidak melihatku, tetapi melihat pria yang tadinya memanggilnya. Namun bukan itu yang membuatku mematung. Wajahnya..

     Aku sangat yakin bahwa dia adalah Sehun, kekasihku. Tapi, kenapa dia tidak melihatku dan malah pergi begitu saja bersama temannya itu? Lalu, ada apa dengan rambutnya? Mengapa warnanya menjadi blonde seperti itu? Dan juga pakaiannya, pakaian yang ia gunakan tidak serapi dulu, dia yang kini hanya menggunakan kaos oblong polos berwarna putih dengan jaket kulit polos berwarna hitam. Celana jeansnya sobek disana sini, sepatu bootnya hampir menyentuh betis, walau terlihat gaya, namun itu bukanlah gaya pakaian Sehun yang aku kenal.

     Aku terus mengamatinya yang melangkah pergi. Aku tidak memiliki kekuatan untuk berjalan. Pikiranku sudah dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai dirinya. Dugg! Dia berhenti melangkah dan kini tengah menoleh kepadaku. Merasakan tatapan itu, aku mematung. Dapatku rasakan tatapan penuh tanya dari matanya. Tapi hanya beberapa detik, yang setelah itu dia tak lagi terlihat olehku. Aku benar-benar dapat memastikan, dengan yakin kukatakan bahwa pria itu adalah Sehun, kekasihku.

--

♥ Sehun Pov

"Yak, ada apa denganmu? Kenapa kau terlihat murung? Yak Sehun!" aku mendengar pertanyaan itu, namun entah mengapa aku lebih memilih memikirkan gadis itu. Gadis yang tadinya menatapku. Aku seperti mengenalnya. "aish kau ini. Yak Oh Sehun!" akhirnya aku berhasil terlepas dari wajah gadis itu, karena hyung memukul kepalaku keras.

"Hyung.. appo." lumayan sakit.

"Maka itu jangan tidak menghiraukanku." dia mengelus rambutku. "malam ini apa kita batalkan saja?" kata hyung kepadaku.

"Ani, kita harus datang kesana." jawabku tanpa berpikir.

"Kau yakin? Kita hanya berdua, sedangkan mereka--"

"Aku sudah tidak sanggup melihatmu yang terus dipukuli mereka. Aku janji, akan kuhabisi mereka semua, jadi kau tidak perlu melakukan apapun." ucapku dengan santai. Ya, selama aku berada di Jepang. Aku berlatih bela diri dengan keras. Jadi apapun rintangan yang menghadang, aku tidak akan pernah takut untuk menghadapinya. Tidak sombong, ini kejujuran.

"Apa kau tidak mengenal bahaya?" aku menggeleng. "memangnya apa saja yang kau lakukan disana. Lalu kenapa kau memilih menyambung perkuliahanmu disini? Bukankah disana lebih baik?"

"Entahlah. Aku hanya ingin kesini."

"Baiklah, malam ini kita hampiri mereka. Kali ini aku juga akan berusaha, jika perlu akulah yang melawan mereka, sebagai balas jasa karena kau sering menyelamatkan nyawaku." ingin sekali aku tertawa mendengar itu. Karena yang ku tahu hyung bukanlah orang sekuat itu.

     Siapa hyung yang kumaksud? Dia pria yang dulunya pernah tidak sengaja aku selamatkan. Ketika itu aku baru saja pindah ke kampus itu. Aku belajar hingga larut malam. Diperjalananku menuju parkiran sepeda motor. Aku melihat seorang pria sedang pukuli oleh enam orang pria lainnya. Merasa iba aku pun menolong orang tersebut. Ternyata aku berhasil. Pria itu bernama Chanyeol, cukup tampan bagiku, namun terlalu berisik untukku. Semenjak hari itu dirinya selalu mengikutiku.

     Dan malam ini adalah malam dimana kami kembali bertemu dengan orang yang dulunya pernah menghajar hyung. Mereka mengatakan bahwa bos mereka ingin bertemu denganku. Aku tidak tahu menahu siapa bos yang mereka maksud, sepertinya bos mereka bukanlah salah satu dari pria-pria yang kuhajar habis-habisan pada malam itu. Dengan motor biruku yang terlihat seperti robot, kami pergi menemui mereka.

     Ruangan itu begitu gelap. Berada dibelakang perkarangan kampus. Aku memarkirkan motorku tidak jauh dari sana. Kakiku melangkah masuk kedalam ruangan itu--yang tampak seperti gudang tak terurus. Beberapa saat kemudian sebuah cahaya terlihat dari sudut ruangan. Terlihat seorang pria disana, dari wajahnya terlihat seperti kaum Chinese. Wajahnya disinari lampu yang berada diatasnya. Sesaat aku menyadari sesuatu. Aku hanya sendiri, tanpa hyung. Sudahku tebak, hyung tidak berani masuk kedalam.

"Annyeong." bahasa koreanya lumayan juga. Dia tersenyum hina kepadaku. "kau Oh Sehun?" Tanya pria itu.

"Ne." jawabku singkat menatapnya tenang tanpa takut.

"Akhirnya kau datang juga." ia mulai bangkit dari duduknya. Melangkah santai menghampiriku. "alasanmu datang kesini?"

"Jangan ganggu hyung lagi." menatapnya yang berdiri dihadapanku.

"Karena itu? Bukan dikarenakan aku yang memanggilmu?" tambahnya dengan muka sinisnya. Aku menggeleng pelan. "hoh, haha.." ia tertawa meleceh. "apa kau tahu siapa orang yang sedang kau bela?" raut wajahnya terlihat menahan amarah. "hyung mu itu telah membunuh kekasihku!" matanya memerah. Aku tak tahu harus berbuat apa, karena sesungguhnya aku tidak tahu masalah ini. Hyung tidak pernah menceritakannya padaku. Aku juga tidak tahu harus mempercayai siapa, aku tidak terlalu mengenal hyung. "apa kau masih mau membelanya?"

"Bohong! Itu tidak benar." hyung berlari masuk hendak menghampiriku. Dua orang pria datang entah dari mana dan langsung menahannya. Mereka memaksanya untuk duduk disebuah kursi lalu mengikat tubuhnya.

"Terserah kau mau percaya atau tidak." pria berwajah Chinese itu berjalan menuju hyung. Tanpa kasihan ia menendang tubuh hyung hingga terpental beserta kursinya. Aku berlari ke arahnya mencoba menghentikannya. Namun kini tubuhku di tahan oleh empat orang pria yang aku juga tidak tahu berasal dari mana. "tapi yang pastinya, malam ini aku harus membunuhnya." kata-katanya membuatku merinding. "dan kau, jika kau tidak ingin menyia-nyiakan nyawamu. Bergabunglah denganku, maka aku tidak akan menyentuhmu." aku tidak menjawabnya. Hanya mengamati hyung yang kini sedang dipukuli oleh mereka.

    Aku terus melihat itu. Hyung seperti tidak ada kesempatan untuk bernafas, wajahnya sudah dipenuhi dengan luka. Walau aku masih ragu terhadapnya, tetapi naluriku berkata lain. Ditambah ketika melihat banyaknya darah yang keluar dari tubuhnya. Aku semakin gerah melihat itu. Tidak bisa, aku harus menghentikannya.

"Hentikan!" terikakku. Mereka berhenti memukuli hyung. Pria bewajah Chinese itu menatapku menantang.

"Apa aku bilang? Hah, kau tetap membelanya?" kata pria itu.

"Benar atau tidak, itu bukan urusanku. Tetapi naluriku berkata bahwa aku harus menolongnya." menatap pria berwajah chinese itu tak kalah menantang. "dan sepertinya aku harus memulainya sekarang." dengan gerakan cepat aku hetakkan tanganku dengan kuat sehingga aku berhasil meloloskan diri dari mereka. Aku tangkis kepalan tangan pria yang hendak memukulku lalu memukul wajahnya berkali-kali hingga pria itu tersungkur lemah. Sedikit melompat, melayangkan kakiku tepat di ulu hati pria lainnya. Dua orang pria berlari kearahku, tanpa takut aku juga berlari kearah mereka lalu melakukan tendangan ganda. Mereka terjatuh, tidak denganku. Terlalu mudah untukku melakukannya.

     Belum sempat mereka bangkit, aku sudah menendang tubuh mereka dengan kuat. Mereka pun terkapar tak berdaya. Kulihat dibelakangku, masih terlihat empat orang pria lagi, dan sepertinya mereka menggunakan pisau dan juga balok. Itu bukanlah masalah untukku.

"Kemarilah." ucapku menantang. Pria berpisau berlari kearahku, belum sempat ia melayangkan pisaunya, aku sudah terlebih dulu menghentak tangannya dengan kakiku, pisaunya terlepas, ia terlihat ketakutan. Aku pun memanfaat itu, dengan lincah kepalan tanganku menghantam wajahnya bertubi-tubi dan kakiku menendang tubuhnya hingga ia terjatuh. Aku langsung meraih pisau yang tadinya terlepas darinya.

     Kini dua pria menggunakan balok yang menghampiriku. Dengan santai aku melempar pisau hingga menancap ke paha salah satu dari mereka, darah mengalir dari pahanya. Pria yang satu lagi hendak memukulku dengan baloknya, tapi ku tepis tangannya. Kutahan tangannya dan kuputar dengan kuat. Ia meringis kesakitan, ku tolak tubuhnya. Lalu kuraih pisau yang masih menancap pada paha pria yang ada dibelakangku, ia semakin kesakitan. Pria yang tadinya kutolak kembali menyerangku, tapi langkahnya terhenti karena aku menodongkan pisau kearahnya. Pria yang terluka pahanya terduduk tak kuat menahan sakit.

    Aku melangkah maju sambil terus menodongkan pisau, ia yang ketakutan menghindariku dan berlari kearah pria berwajah Chinese yang ternyata juga sedang menodongkan pisaunya kepada Chanyeol hyung. Aku pun mematung. Hyung terlihat ketakutan dengan pisau yang sudah menempel di lehernya.

"Kau, haha.. Daebak! Kau menghabisi semua anak buahku." ia tertawa tak menyangka, tetapi aku gelisah melihat pisau yang menempel dileher hyung. "baiklah, tidak masalah. Sekarang aku tanya kembali kepadamu." ia semakin menekan pisaunya hingga menggesek kulit hyung. "kau akan tetap menolongnya atau beralih menjadi anak buahku?" aku terus mengamati pisau yang mulai melukai kulit leher hyung, darah telah mengalir pelan, hyung meringis kesakitan. Aku sudah tidak bisa menolak pilihan itu. Sepertinya aku harus menerimanya.

"Yakk!" teriak seorang gadis. Ia yang entah datang dari mana tengah berlari kearah pria berwajah Chinese lalu menghantam kepala pria itu dengan sebuah batu berukuran besar. Tentu si Chinese terjatuh dan pingsan. Dan anak buahnya yang tersisa langsung berlari keluar gedung. Aku tidak lagi menghiraukan mereka, melainkan gadis itu. Wajahnya..

--

♥ Yoona Pov

     Pekerjaanku hari ini sungguh melelahkan. Jessika anak dari si pemilik kafe terus mengganggu pekerjaanku. Berkatnya aku hingga memecahkan sebuah piring, tentu ayahnya akan memotong gajiku lagi. Aku baru saja selesai membersihkan kafe. Tak lupa aku menutup pintunya lalu menguncinya. Pekerjaanku belum seutuhnya selesai. Karena aku harus menaruh kotak bekas ke gudang yang ada di belakang perkarangan kampus. Sebelum melangkah, ku amati rumahku yang berada di atas kafe, ya, pemilik kafe tidak sejahat itu, dengan baik hati ia meminjamkan ruangan yang ada dilantai dua untukku, dengan gratis. Aku tersenyum memikirkan itu.

"Baiklah, aku harus cepat menaruh ini, agar setelah itu aku bisa langsung istirahat." aku mulai mengangkat goni besar yang berisikan kotak bekas.

     Sialnya untukku yang takut kegelapan. Aku harus berlarian melewati gedung kampus yang terlihat sepi dan kurang akan penerangan. Kurasakan keringat dingin yang mengalir di keningku, tanganku gemetaran hingga tanpa sengaja aku melepas goni dari tanganku. Aku mencoba menenangkan diriku. Aku kembali berjalan dengan goni yang ku genggam erat. Kulihat gudang yang tidak jauh dari dihadapanku. Gelap sekali. Jantungku berdetak dengan cepat, membayangkan gelapnya didalam sana.

     Pintunya terkunci. Tidak, tepatnya terkunci dari dalam. Aku merasa aneh. Hanya aku dan petugas kampus yang bisa masuk kedalam gudang ini. kulihat ada batu besar disampingku. Ku ambil batu itu, aku juga tidak tahu akan kugunakan untuk apa. Lalu aku berjalan kebelakang gudang, aku memilih masuk kedalam melalui pintu lainnya. Aku berhasil masuk. Dan setelah itu aku mematung.

     Kulihat perkelahian yang ada dihadapanku. Pria itu melawan banyak pria seorang diri. Tanpa sedikitpun mendapat pukulan balasan. Aku sampai terpana melihatnya. Namun aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas dikarenakan kurangnya penerangan pada gudang itu. Kulihat juga tidak jauh darinya, kulihat seorang pria berwajah Chinese sedang mengangkat tubuh seorang pria yang sedang terikat di sebuah kursi. Kukira orang tersebut hendak menolongnya, namun ternyata ia malah menodongkan pisau kepada pria yang terikat itu. Tidak hanya terikat, wajah pria itu juga dipenuhi banyak luka.

     Ku amati dengan baik apa yang ada dihadapanku. Siapa yang baik dan siapa yang bersalah. Ya, itulah yang kupikirkan. Tetapi ketika aku mendengar sesuatu dari mulut si Chinese, jelas sudah. Si Chinese lah yang bersalah. Entahlah, menurutku seperti itu. Pisau yang ia todong juga semakin menghimpit kulit leher pria yang terikat itu, aku merasa gelisah melihatnya, maka dari itu. Yang kulakukan adalah berlari kearah si Chinese lalu ku hantam kepalanya dengan batu yang ada digenggamanku. Ia tersungkur lalu pingsan.

     Aku terdiam melihatnya. Syukurlah tidak banyak darah yang mengalir dari kepalanya. Aku langsung melangkah menuju pria yang terikat. Kubuka ikatan tersebut. Walau sulit, aku terus berusaha hingga ikatannya benar-benar terbuka. Pria itu berterimakasih kepadaku.

"Khamsahamnida.. Khamsahamnida.." ucapnya kepadaku yang tengah berusaha berdiri.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku yang khawatir melihatnya, ia terlihat lemah.

"Oo, gwenchana." namun ia malah tersungkur dan pingsan.

"Hyung!" suara itu menyadarkanku, bahwa masih ada seorang pria lagi disana. Ya, dia pria yang tadinya membuatku terpana. Dan kini wajahnya terlihat jelas olehku. Wajah itu.. "hyung!" nada bicaranya terdengar sangat panik. Akal pikiranku masih sulit digerakkan. Tapi dengan santai mulutku berbicara.

"Bawa kerumahku saja." karena rumahku yang terdekat.

--

     Aku terus melangkah membawa mereka menuju rumahku. Langkahku memang terlihat gelisah, itu dikarenakan pria itu, pria yang sedang berjalan disampingku. Aku genggam tanganku yang mulai terasa dingin, dan perlahan mulai gemetaran. Sesekali aku meliriknya, sungguh, aku semakin meyakini itu. Bahwa ia adalah Sehun, kekasihku.

"Apa kau tidak bisa berjalan lebih cepat?" tegurnya yang masih terlihat panik.

"Aa, ne." baiklah, kupikir saat ini yang terpenting adalah keadaan pria yang terluka itu. Aku semakin mempercepat langkahku, begitu juga dengan pria itu.

     Menaiki tangga yang terdapat disamping kafe, tentunya untuk menuju rumahku yang terletak di lantai dua. Aku membuka pintu rumahku dengan terburu-buru. Kunci terjatuh hingga dua kali. Aku terus berusaha untuk tetap tenang, namun sulit untukku melakukannya. Kulirik pria itu, raut wajahnya terlihat kesal, tentunya kesal kepadaku. Aku mencoba untuk tenang dan kembali membuka pintu rumahku. Berhasil.

    Pria yang terluka itu terbaring lemah di atas kasurku. Aku membersihkan lukanya. Sedangkan pria yang kuyakini sebagai Sehun, ia pergi untuk mengambil motornya. Namun hingga kini ia tidak juga kembali. Aku yang juga sudah kelelahan pun tertidur di lantai.

--

♥ Sehun Pov

     Duduk diatas motorku, aku tidak juga pergi dari sana. Masih dimana motorku terparkir tadinya. Kenapa? Ada apa denganku? Kenapa wajah gadis itu terus terlintas dipikiranku? Aku sama sekali tidak mengenalnya. Tapi mengapa ketika aku menatap matanya, aku seperti merasakan suatu getaran dalam hatiku, dan anehnya, aku bahkan sempat berkeinginan untuk menciumnya. Aku sungguh dipusingkan oleh hal ini.

     Setelah berlamaan disana dan puas berunding dengan pikiranku sendiri. Aku pun memutuskan pergi dari sana. Aku tidak langsung kerumah gadis itu, aku lebih dulu pergi untuk membeli obat di klinik, dan setelah mendapatkan obatnya. Setelah itu aku melesat pergi menuju rumahnya.

     Baru aku sadari, banyak bunga mawar putih yang menghiasi teras gadis itu. Semuanya tersusun rapi didalam pot berwarna biru langit. Biru langit? Itu warna kesukaanku. Aku mendekati mawar itu, mengamatinya hingga lupa waktu. Aku tidak mengerti, mengapa kini aku tersenyum. Tetapi yang pasti, aku merasa senang ketika melihat mawar putih itu dan juga warna potnya. Menghela nafasku dalam, benar-benar aneh. Aku merasa kebahagian hendak menghapiriku.

     Masuk kedalam rumah itu. miris melihat gadis itu yang tertidur di atas lantai. Aku letakkan obat yang baru saja ku beli di atas meja yang ada disamping hyung. Lalu aku mengangkat tubuh gadis itu dan membaringkannya di sebuah sofa. Tak lupa ku selimutkan tubuhnya dengan jaket kulitku, itu karena aku tidak melihat keberadaan selimut disana selain yang dipakai hyung. Aku kembali merasa aneh, bahkan sungguh aneh. Aku ingin mengecup keningnya.

     Merasa ada yang tidak beres dengan diriku, aku langsung melangkah keluar dan memilih duduk di kursi lesehan yang ada di teras rumahnya. Aku kembali disuguhi pemandangan yang tadinya berhasil membuatku tersenyum. Mawar putih. Aku kembali menghela nafas, seakan merasa adanya sesuatu yang tersendat didalam hatiku, entah apa itu, tapi itu sungguh membuatku gelisah. Hanya berdiam diri, mengamati bunga mawar itu dari tempat dudukku.

Continued..

(Komentarnya rame baru up)

Next chapter