4 Titik Temu dan Jenuh  

-Banjarmasin, 21 Mei 2010-

Dinginnya malam mulai menyelimuti rongga-rongga tulang, sekarang aku masih berdiri di parkiran depan polresta untuk mempersiapkan diri. Terlihat beberapa orang lalu lalang melewatiku begitu saja, ada yang menatapku dengan perasaan curiga, ada juga yang acuh tak acuh. Mungkin mereka semua mempunyai urusan dan masalah tersendiri, yang hanya bisa diselesaikan oleh diri mereka juga. Sama seperti kondisiku sekarang.

Setelah memeriksa mayat yang berada di parkiran belakang Hotel A dua hari lalu, tujuanku selanjutnya adalah memastikan kasus di tahun 1997 yang berkaitan dengan kode '53C'.

Kenapa 1997?

Ketika berada di rumah sakit, beberapa kali aku mengulangi sebuah mimpi yang sama. Bahkan kala itu lebih nyata seperti saat aku mengubur seorang pemuda. Karena kemungkinan besar semua yang kualami dalam mimpi itu adalah petunjuk, maka ku sempatkan untuk menulis jurnal mimpi dari hari ke hari.

-Jurnal Mimpi Harian-

*14 Mei 2010

Lorong panjang adalah penglihatan pertamaku, kualihkan pandanganku ke sudut 45 derajat ke bawah, seorang kakek sedang memohon ampunan kepadaku. Sepertinya dia tidak bisa berjalan dengan benar lagi. Salah satu dari kakinya telah kutembak menggunakan senapan di tangan kananku.

"Nama kakek siapa?"

Ku usahakan untuk berbicara selembut mungkin kepada kakek itu.

"kalau rumahnya kek?"

Tetap tidak ada jawaban yang kuterima, seperti biasa ku tenangkan lagi pikiranku dengan meminum seteguk kopi yang berada di dalam botol yang terletak di saku celana.

Ku hiraukan kakek yang masih berusaha untuk bangkit itu, berjalan menuju akhir Lorong yang merupakan sebuah pertigaan. Di ujung dinding, tepat di tengah pertigaan Lorong terdapat jendela kaca.

Di luar sana banyak orang berbaris dengan berbagai macam sorakan yang saling sahut-sahutan. Ada sekelompok yang mengangkat spanduk tulis berisi,

'Kala nanti kebenaran 22 Mei 1997 akan diwariskan'

Apa yang diwariskan? Dan kebenaran yang bagaimana? Saat aku mulai merenungi nasibku sekarang, terdapat bayangan gelap yang menyelimuti tubuhku seakan mencekik dari belakang.

Perasaan kantuk dan sakit terpadu sangat rapih seperti ditusuk seribu jarum sambil dinyanyikan lagu nina bobo.

*16 Mei 2010

Lorong panjang adalah penglihatan pertamaku, kualihkan pandanganku ke sudut 45 derajat ke bawah, seorang kakek sedang memohon ampunan kepadaku. Sepertinya dia tidak bisa berjalan dengan benar lagi. Salah satu dari kakinya telah kutembak menggunakan senapan di tangan kananku.

"Kek, dimana keluarga kakek? Apa kakek sedang mencari mereka?"

"Tidak ada gunanya lagi mencari orang yang sudah mati."

Dua hari lalu aku memimpikan kejadian yang sama. Namun, kali ini si kakek mau menjawab pertanyaanku walaupun dengan jawaban yang sedikit abstrak.

"Jadi maksudnya, semua keluarga kakek sudah dibersihkan?"

"Cucuku … Yolan, dimana Yolan."

Dengan tatapan penuh penyesalan dan dendam, kakek itu memegang celanaku yang sudah berlumuran darah. Mungkin aku sudah bisa menarik sebuah benang merah dari untaian kejadian abstrak selama ini.

Ku arahkan senapan ke kepala kakek itu, sebelum sempat menarik pelatuknya. Lagi-lagi sebuah bayangan hitam pekat menyelimuti tubuhku dan mulai mencekik leherku perlahan-lahan semakin kencang. Ditambah sebuah keinginan untuk tidur.

Namun, kali ini aku mendengar suara di detik-detik terakhir, sepertinya aku pernah mendengar suara tersebut entah kapan dan dimana.

"Memang beginilah seharusnya …"

*17 Mei 2010

Kali ini aku langsung mengarahkan senapan ke kakek yang berada di hadapanku, anehnya aku selalu tidak sempat menembakkan sebiji peluru. Sebuah bayangan hitam pekat langsung mencekikku dan mengatakan sesuatu yang semakin jelas terdengar di kepalaku.

"Memang beginilah seharusnya, alur yang tidak bisa kita ubah-ubah. Sejarah hanya bisa digali, kita tidak bisa mengubah sejarah sesuai kehendak kita …"

Perlahan-lahan suaranya menipis, begitu juga dengan kesadaranku yang mulai memudar. Sepertinya mimpi hari ini hanya sampai di sini. Apa yang kudapatkan? Hanya sebuah pernyataan sejarah tidak bisa diubah.

*18 Mei 2010

Tempat dan kondisi yang sama, bila kutembakkan peluru ke arah kakek ini, aku akan langsung disergap oleh sebuah bayangan hitam pekat. Tapi bila aku berdiam diri saja, beberapa menit kejadian yang sama akan tetap terjadi.

Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menunggu sampai aku bangun kembali. Kakek di hadapanku masih berusaha menutupi luka yang berada di kaki kanannya.

Ku lepas jaketku dan kuikat di kaki beliau untuk mengurangi pendarahan, sepertinya si kakek itu sangat kebingungan dengan sikapku sekarang, terlihat dari ekspresi wajahnya.

"Tenang saja kek, sebentar lagi kakek akan bertemu dengan cucu kakek, namanya Yolan kan? Aku tahu suatu saat, dia bakalan jadi seorang perempuan yang bisa dibanggakan."

Tidak lama kemudian, aku segera terbangun dari mimpiku dengan akhiran yang sama.

-Banjarmasin, 21 Mei 2010-

Ku tutup kembali jurnal mimpi harianku dan kusimpan dalam saku celana, sejak siang tadi aku belum pulang ke rumah karena sibuk mengurus pekerjaan di kantor, tapi aku tidak melihat Raihan dimanapun. Dan pakaianku tentu sudah mulai tercium aroma "belum mandi" yang pekat.

Hanya dengan memakai kaos lengan pendek dilapisi jaket berwarna biru malam dan celana levis hitam. Aku berlagak seperti seorang mahasiswa yang berkeinginan untuk menyelesaikan tugas akhir kampus.

Walaupun hanya lulusan SMA, aku tidak sebodoh yang kukira. Tidak mungkin tiba-tiba seorang pemuda masuk tanpa permisi dan berkata seenaknya kepada para petugas yang mengurus dokumen dengan wajah acuh tak acuh.

Sebisa mungkin aku berjalan dengan sopan menuju resepsionis dengan ekspresi ramah, kemudian aku disambut ramah dengan petugasnya.

"Selamat malam dek, ada yang bisa dibantu?"

"Eh… Jadi begini pak, eh sebelumnya saya minta maaf dulu ya. Soalnya datang malam-malam begini."

"Oh, tidak apa-apa dek, kita sebisa mungkin untuk tetap terjaga selama 24 jam."

Baguslah pikirku, petugas di resepsionis ini terlihat ramah dan tidak terlalu sulit untuk diatasi.

"Kalau boleh tau pak, berkas-berkas untuk semua kasus 10 tahun lalu atau sebelumnya dimana ya?"

"Kamu ada tugas kampus atau ada urusan lain?"

"Iya pak, jadi saya mau bikin tugas akhir kampus, saya tertarik sama kasus-kasus di masa lalu sepeti pencurian atau kasus kecil lainnya yang tidak tersorot media."

"Waduh, lumayan juga ya semangat kamu untuk seukuran pemuda. Pemuda zaman sekarang sudah sibuk main game online. Mereka punya dunianya masing-masing, jarang ada anak muda kayak kamu gini. Kamu terus saja dari sini, ada pertigaan belok kanan. Tepat di ujung Lorong ada ruangan khusus penyimpanan berkas."

"Oke, terima kasih dulu pak."

Mungkin dari sinilah hal paling sulit dalam hidupku dimulai. Saat membuka pintu dengan perlahan, kesan ku lihat dari isi ruangan itu adalah 'rapi dan modern'. Ku kira aku akan menemukan tumpukan buku yang berdebu atau sejenisnya.

Terdapat beberapa komputer yang tersusun rapi beserta kabel-kabel yang diletakkan dengan sempurna yang menambah kesan dinamis. Ada empat rak buku di masing-masing sudut ruangan, dengan adanya dua AC dan satu kipas angin di sini, membuat aku sangat betah dan ingin segera terlelap sekarang juga.

Tepat di sebelah kanan pintu masuk, terdapat meja dan penjaga yang bertugas. Dengan wajah garangnya, pak polisi itu langsung menyambutku dengan tegas.

"Mau apa kamu ke sini? Sudah izin dengan Pak Roziq di resepsionis?"

"Eh … Umm … Sudah izin pak tadi di depan. Saya mau a…-��

Sebelum seorang pemuda yang gugup menyelesaikan jawabannya, pak polisi yang berada di depannya langsung menyuruhnya diam dan segera mengangkat telepon. Sepertinya dia mencoba menghubungi Pak Roziq tadi.

Tanpa banyak bicara, Pak Polisi garang ini langsung membawaku ke pintu di ujung ruangan ini. Setelah sampai di depan pintu, dia mengeluarkan kunci sambil berbicara lagi kepadaku.

"Untuk kasus-kasus sebelum 2005, kami masih menggunakan manual. Beda dengan sekarang, semua data kasus bisa kami simpan di hardisk-hardisk komputer. Jadi, mau kasus tahun berapa atau kasus yang bagaimana mau kau baca?"

Sesaat aku sempat ragu Dengan diriku, apa yang akan dikatakan Pakpol ini bila aku mengetahui kombinasi angka lima dan C. Kuteguk dua kali air liurku sambil menyerahkan segala urusan kepada diriku sepuluh detik ke depan. Untuk saat ini, aku hanya harus mengatakannya.

"Tahun 1997 pak, kalau bisa kasus yang berhubungan dengan 53C"

Pak Polisi berwajah garang itu langsung mengarahkan pandangannya ka arahku. Wibawanya yang sangat tinggi membuatku tambah gemetar. Apa aku harus mundur saja untuk kali ini? Sempat terbesit pilihan itu di kepalaku, tapi aku sudah sampai sejauh ini. Harus tetap kulanjutkan apapun konsekuensinya.

"Mungkin ada kasus pencurian kecil yang tidak disebar di media, itu yang membuat saya tertarik pak."

Bapak itu menghela napas panjang dan mengatakan,

"Tunggu sebentar di situ, aku ambilkan dulu berkasnya."

Selang beberapa menit, akhirnya aku mendapatkan sebuah pencerahan, bapak polisi yang sepertinya bernama Varhan itu telah memberikanku sebuah buku tebal bertuliskan "dokumen 1997 – 53C"

Sama halnya perpustakaan, aku membolak-balik lembaran dengan pelan dan berpura-pura menulis catatan di buku kecilku.

Semua yang tercatat di dokumen ini hanyalah kasus-kasus tidak penting, seperti kehilangan uang, orang tersesat, atau pencurian kecil di pasar.

Ini bukanlah dokumen yang kucari, tentu saja berkas sefatal pembunuhan sadis tidak akan diserahkan begitu saja ke publik. Pak Varhan masih melotot kepadaku untuk memperhatikan gerak-gerik ku, padahal sudah ada cctv. Tapi polisi satu ini masih saja sangat waspada.

Selang beberapa puluh menit, kesabaranku sudah mulai terkikis. Sedangkan CCTV hidup di belakangku masih saja terlihat bugar. Aku tutup buku tebal yang katanya dokumen 1997-53C, ketika kulihat labelnya terdapat lapisan lain yang menutupi tulisan di bawahnya.

"Sudah selesai ya?"

"Eh, iya pak. Ada beberapa kasus pencurian makanan di pasar yang kusalin dan satu kasus uang hilang."

Pak Varhan segera mengecek isi catatanku di buku kecil yang juga berisi jurnal mimpiku. Untuk jaga-jaga, sebelum memasuki kantor polisi tadi, lembaran tentang mimpi itu sudah kusobek dan kusimpan dalam saku ku.

"Saya kembalikan dulu ya pak dokumen ini ke asalnya, terima kasih sudah membantu saya."

Ku lemparkan senyum kepada polisi menyeramkan yang sedang fokus membaca tulisanku. Dia sepertinya setuju dengan usulku dengan mengangguk pelan.

Walaupun masih ada perasaan ragu dan takut dalam melangkah, tanpa sadar aku sudah berada di ruangan yang bertulisan Gudang.

Inilah tempat yang tadinya kubayangkan setelah mendengar kalimat "Ruangan penyimpan dokumen" Lampu yang setengah redup dan sarang laba-laba menambah kesan tua dari ruangan ini.

Kadang terdengar decit tikus si sela-sela rak buku yang berdebu, ada sekitar lebih dari sepuluh rak buku yang sudah termakan waktu.

Tidak lama aku sudah bisa menemukan rak khusus kasus 1997, dan di kolong ketiga terdapat dokumen yang label depannya tertampal sesuatu. Ku buka perlahan lapisan itu dan Binggo!!

"Ini nih dokumen 1997-53C yang bener" aku hanya bisa merayakan keberhasilanku dengan berbisik pelan.

Meskipun aku sudah mendapatkan apa yang kumau, berlama-lama di sini hanya akan menambah kecurigaan Pak Polisi itu. Ku ambil entah berapa lembar dokumen dari buku itu dan kuselipkan dalam bajuku.

Saat aku meletakkan buku dokumen 1997-53C yang asli ke asalnya, tiba-tiba ada suara dari arah pintu masuk Gudang,

"Letakinnya sembarang saja, jarang juga ada yang mencari dokumen-dokumen lama."

"I… Iya pak."

Aku berjalan meninggalkan Gudang dan segera pergi juga dari ruangan dokumen itu sambil memasang wajah senyum kepada pak Varhan.

Sial, sial, sial, sial, sial, sial. Tidak ada kata lain yang tepat selain 'sial'.

Aku berlari pelan menuju pintu depan kantor polresta, ada pemandangan yang menarik perhatianku. Seorang anak sedang memainkan kotak rokok di dekat resepsionis, sepertinya dia adalah anaknya Pak Roziq.

Beberapa orang memanggilku, tapi tidak kuhiraukan, aku harus terus melangkah tanpa menoleh ke belakang.

"Oy, Kamu sepertinya menjatuhkan catatanmu."

Sayang sekali beberapa polisi berkumpul untuk melihat 'catatan' yang kujatuhkan, bahkan aku sendiri pun sangat penasaran apa isi catatan itu. Beberapa detik kemudian, banyak polisi yang saling bersahutan berteriak,

"WOYY MALING!! SIAPAPUN BANTU TANGKAP DIA!!!."

Siapakah maling yang berani masuk ke kantor polisi? Pasti hanya orang bodoh yang tidak tahu arti kata bunuh diri, sayangnya sekali lagi orang itu adalah aku.

Anak yang sedang asik bermain kotak rokok itu melambaikan tangannya sambil tertawa polos. Memang sangat enak menjadi bocah sepertinya. Suatu saat kamu pasti mengalami kejadian seperti kakak juga dek.

Atau aku harap jangan sampai mengalami seperti ini.

Karena tidak bakalan sempat memakai sepeda motorku, aku terus berlari menuju jalan raya dan saat tiba di bawah fly over, dua orang polisi sudah menjagaku. Sial.

Karena panik, aku mengangkut tanah memakai tangan kananku dan melemparkannya ke arah polisi di hadapanku. Walaupun aku berhasil kembali berlari menghindari mereka, para polisi itu sudah mengetahui posisiku.

*DOOR

Refleks lah yang menyelamatkanku, ketika mendengar suara tembakan, tubuhku langsung terlempar ke gorong-gorong yang kering. Kesialan dan keberuntunganku berputar sangat drastis.

Namun, tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi sepuluh detik ke depan.

Setelah memeriksa seluruh tubuhku, sepertinya tidak ada luka tembak. Aku melanjutkan pelarian menyusuri gorong-gorong berbau kotoran sampah yang sangat menyengat, bahkan aku sudah mengeluarkan bubur yang ku konsumsi siang tadi lewat mulutku.

Terdengar bunyi mobil polisi lalu lalang di atasku, apakah sepenting itu serpihan dokumen yang kubawa?

Terlihat cahaya di ujung gorong-gorong, sekarang yang perlu kuandalkan adalah keberuntungan gachaku. Apakah ada polisi di ujung sana atau malah bidadari cantik yang sedang menungguku.

Sayangnya kedua jawabanku meleset, bahkan ini adalah sebuah perkiraan yang tidak terpikirkan olehku. Ternyata gorong-gorong yang telah kulewati itu berakhir di samping Gedung Ramayana lawas atau mitra.

Sebuah bekas taman bermain atau timezone yang telah lama ditinggalkan berada di seberangku. Perasaan ngeri dan nostalgia tergabung menjadi satu, banyak mobil-mobilan yang sudah berlumut dan berkarat.

Berjalan sedikit lebih dalam di halaman Mitra, aku menemukan sebuah lampu sorot yang sudah mulai berkelip-kelip menandakan kalau dayanya sudah mulai habis.

Rasa lelahku dikalahkan oleh rasa penasaranku terhadap dokumen yang kubawa.

Duduk perlahan di bawah lampu sorot kedap kedip, ku buka selembaran dokumen 1997-53C.

-Dokumen 1997-53C. Biodata-

Nama : Rudy Wirgana

Nama Kode : 53C

Wilayah Kerja : Banjarmasin Timur – Barat

Umur Saat ini : 35 Tahun

Masa Kerja : 14 Mei – 21 Mei 1997

Subject of Memorial : [true]

Catatan : Semua yang dicantumkan dalam dokumentasi ini bersifat tertutup, dari kesaksian yang diperoleh dari agensi. Terdapat beberapa kesalahan kecil yang dibuat oleh Rudy yang tidak bisa dimaafkan.

-Jadwal dan laporan hasil Kerja-

14 Mei = (I) Marwan

15 Mei = (I) Yohansyah, (K) Marfattah, (K) Imanuel, (I) Verza

16 Mei = (K) Rivan, (I) Rifhael, (I) Varsa, (K) Mawardah, (K) Afip

17 Mei = --------------------------(K) Vany-----------------SIR

-------------------MEI???

20 Mei = (K) Ryan, (I) Fikri, (I) Sannah, (K) Rama

21 Mei = [dihapus]

Ket : (K) = Keluarga

(I) = Individu / Sendiri

Lembar pertama dari catatan jurnal 53C – Segala bukti fisik Memorial telah diserahkan kepada pihak keluarga.

Ingin ku tertawa terbahak-bahak sekeras mungkin, tapi perutku masih terasa sakit apabila kulakukan itu. Oh jadi begini, cuman begini? Tidak, masih banyak yang belum kupahami.

Ironis bukan? Selama ini aku mencari sosok yang telah menghantui mimpiku. Yang ternyata adalah ayahku sendiri, bisa kusimpulkan kalau korban pertama ayahku berawal pada 14 Mei 1997, seorang pemuda bernama Marwan telah dikubur hidup-hidup oleh ayahku di belakang Hotel A Banjarmasin.

Tidak sampai di situ, pembunuhan terus berlanjut sampai akhirnya tanggal 20 Mei, keluarga Ryan atau Yolan juga ikut terkena imbasnya.

Itulah yang menyebabkanku berada di titik ini, aku penasaran kemana semua anggota keluarga yang tersisa dari daftar ini. Bahkan banyak tanggal dan nama yang tidak dicantumkan di sini.

"Ayah, ayah, ayah… Sebenarnya apa maksudmu melakukan semua ini? Bila kuingat-ingat aku pernah mendengar dalam mimpiku kalau dia sedang diancam, apakah keluarganya? Berarti jawaban yang selama ini kucari sudah terkunci rapat di tangan kakek dan ibu ya."

Mungkin saat ini polisi sibuk mencari selebaran dokumen ini beserta diriku, untung saja aku memakai tudung jaket saat kabur tadi sehingga wajahku tidak terlihat jelas. Sekarang aku hanya bisa berharap kalau CCTV di sana tidak bisa mendeteksi wajah dengan baik.

Untuk sekarang, aku memilih tidur di samping Gedung tua ini. Keyakinanku sudah berada di tingkat tertinggi, malam ini aku pasti akan memimpikan sesuatu yang bisa mengantarkanku kepada sebuah jawaban.

Mulai kupejamkan mataku perlahan dengan harapan besok akan baik-baik saja.

-?? ?? ????-

Aku berdiri tepat di depan ayahku yang sedang dipukul massa, perasaan marah dan kecewa menyelimuti seluruh pikiranku.

Seorang kakek berteriak kepada rombongan yang sibuk menampar, menyayat dan menusuk ayah.

"AWALI PERLAWANAN KITA DENGAN MENGUBUR ORANG INI HIDUP-HIDUP!!"

Banyak teriakan yang saling sahut dengan semangat yang membara, dari arah belakangku ada orang yang membawa cangkul dan sekop.

Tidak lama kemudian lantai yang awalnya berlapis keramik sudah dibongkar menjadi bongkahan tanah, aku mendengar suara ayahku yang tertawa atau menangis. Sekitar enam orang sedang menguburnya hidup-hidup.

Aku berjalan perlahan melewati mereka semua ketika melakukan aksi perlawanan itu, Namun, sang kakek memperhatikan gerak-gerikku sambil tersenyum tipis.

Aku tidak bisa menanyakan apa-apa kepada kakek itu, saat mencoba bersuara, yang keluar dari mulutku hanyalah teriakan serak tidak jelas.

Mereka telah berhasil mengubur ayahku di lantai itu, Sebagian dari mereka meletakkan sekop ke dalam lemari di dekat jendela. Kakek itu kembali bersorak memberi semangat kepada semua orang yang berada di Lorong.

"KITA LANJUTKAN AKSI PERLAWANAN KITA UNTUK KETIDAKADILAN INI!!"

"HIDUP DEMOKRASI!!"

"HIDUP!!!"

Saat keadaan lorong sudah sepi, tinggal aku sendirian di sini memperhatikan bercak-bercak darah di lantai, terdapat tulisan di sana, walaupun lumayan abstrak tapi masih bisa dibaca.

'KUBUR DI SINI & LAWAN'

Kemudian, kesadaranku mulai hilang. Tubuhku terjatuh ke samping dan kulihat saat ini bukanlah lorong penuh darah, melainkan pemandangan kota dari atas Gedung.

Ternyata aku terjatuh ya, atau menjatuhkan diri?

Terus jatuh menunggu tanah di bawah menghempas kepalaku terlebih dahulu.

Di detik-detik terakhir aku mengingat kalau di sini pernah terjadi beberapa kali aksi bunuh diri.

-Banjarmasin, 22 Mei 2010-

Tidak ada alarm aneh ataupun seseorang yang membangunkanku dari tidur, melainkan rasa laparlah yang merenggut istirahat tidurku yang sebenarnya bukan istirahat. Aku masih mengingat jelas apa yang terjadi dalam mimpiku, bahkan aku bisa mengatakan seluruh detail dari cerita tidak masuk akal itu.

Kusimpan lembaran dokumen 1997-53C yang kuubah menjadi gumpalan kertas dalam kantong celanaku. Ku buang jaket biru gelapku ke gorong-gorong untuk mengurangi kecurigaan warga sekitar, mungkin saja para polisi telah menyebarkan ciri-ciri maling malam tadi.

Saat hampir berada di halaman Mitra, aku melihat sebuah kejadian yang sangat tidak terduga.

Gadis cantik berpakaian serba putih lengkap dengan topinya berjalan ke dalam Gedung kumuh ini.

"Yolan?"

Kusingkirkan sejenak keinginan makanku untuk mengikuti kemanakah tujuan gadis ini.

Kusingkirkan juga rasa kekecewaan yang mendalam tentang pelaku pembunuhan berantai yang mengakibatkan dendam sampai sekarang.

avataravatar