1 Sebuah Mimpi yang terus terulang di tengah Realita

Ketakutan terbesarku saat ini bukanlah perang yang sedang terjadi di luar sana, tetapi ketika suamiku pulang dan melampiaskan kekesalannya kepadaku. Bukan karena perang yang belum juga berakhir, tetapi karena dia tidak cukup puas dengan hasil yang didapat dengan tangannya sendiri.

Dimas mempunyai kegembiraan tersendiri saat melakukan berbagai macam hal ketika menghabisi musuhnya, seperti menyayat kulit perlahan-lahan, mencongkel bola mata lawannya sampai menusuk kantong kemih musuh. Ketika aku menanyakan kenapa dia melakukan hal itu, Dimas tersenyum tipis dan berkata,

"Memang wajar di tengah peperangan seperti ini, kita para pasukan relawan yang menjadi prajurit di lini depan memerlukan hiburan masing-masing agar tidak termakan stress."

Kupikir tadinya di situlah kenyataanku, apakah peperangan yang kubayangkan hanyalah sebuah delusi? Buktinya sekarang zaman sudah damai dan tidak ada lagi pertempuran berdarah, hanya saja aku ditugaskan untuk mencari tumbal agar suatu saat bangunan yang akan didirikan di sini berdiri dengan kokoh dah megah. Tidak ada yang salah bukan, lagian semua uang yang ku dapatkan nanti, akan kuberikan kepada istri dan anakku yang sedang menunggu di rumah.

Namun, setelah kupikir-pikir lagi hal tersebut tidaklah juga nyata, Memang benar aku membayangkan semua hal tadi di dalam kepalaku. Hanya untuk lari sebentar dari kenyataan saat ini, di sebuah bangunan yang tersulut api keributan di luar dan dalam.

Aku mengarahkan sebuah senapan kepada orang tua yang sepertinya memohon ampun mati-matian kepadaku, mengapa aku harus mengampuninya pikirku. Mohon maaf kakek tua, orang-orang seperti kalian memang harus dihilangkan dari dunia ini, atau tidak, hal buruk akan menimpa keluarga dan saudara-saudaraku lainnya. Aku melakukan ini hanya untuk membantu kalian membayar dosa.

Kutarik perlahan pelatuk yang menahan peluru menggunakan jempolku, kenapa aku merasa sangat takut sekarang. Yang kulihat saat ini bukan hanya kakek tua di hadapanku, banyak orang-orang berdiri di sekitarku, persetan dengan kata "orang." Mereka semua adalah korban yang telah kubersihkan, ada beberapa yang tak mempunyai kepala, beberapa yang lainnya tidak memiliki kulit.

Suasana tiba-tiba berubah tanpa aba-aba, mulai dari keributan di sana-sini, menjadi sunyi hening tanpa suara sedikitpun. Seolah aku dipindahkan ke dimensi yang berbeda.

"SIAPA KALIAN, MAU APA KALIAN HAH? MUNDUR BAJINGAN! KALIAN SUDAH MATI, HAHAHAHA… BAGAIMANA RASANYA DI NERAKA SANA WAHAI PARA PENDOSA! MEMANG SEHARUSNYA ORANG-ORANG SEPERTI KALIAN ITU MATI, AKULAH UTUSAN TUHAN YANG BERHAK MEMBERSIHKAN HAMA-HAMA."

Sekencang apapun berteriak, suaraku terdengar seperti serak-serak basah. Beberapa detik kemudian akhirnya aku sadar, sesuatu sedang mencekik leherku sangat kuat.

"HAHAHAHAHA…" Entah saat ini aku sedang menangis, tertawa, sedih, marah, kecewa atau justru bahagia. Sebentar lagi aku akan mati ya, itulah yang ada di dalam benakku. Di saat aku benar-benar pasrah, akhirnya aku terjatuh, tersentak atau sebut apapun itu semaumu.

-Banjarmasin, 01 Mei 2010-

*tiiiiiiiiiiiiiiit… Bomb Defuse Bomb Defuse, Bomb Defuse Bomb Defu-

"Iya, iya iya. Gua udah bangun kok, nih gua matiin lu, bawel banget jadi alarm."

"Mungkin seharusnya gua berterima kasih kepada elu ya? Walau bunyinya agak aneh, sepertinya gua baru saja terbangun dari mimpi yang sangat sangat mengganggu, atau lebih tepatnya membingungkan? Bodo amat tentang mimpi, gua harus kerja."

Seperti pagi-pagi sebelumnya, rutinitasku saat ini sama dengan tanggal dan bulan lalu. Bangun dari ranjang empuk bagaikan meninggalkan singgasana, walaupun sangat berat untuk keluar dari tempat tidur, aku tetap memaksakan kehendak pemalas dalam diriku.

Sebuah rasa bangga yang luar biasa ketika berhasil minggat dari kamar, sambil berjalan menuruni tangga, aku sudah bisa mencium aroma kopi dan beberapa cemilan sarapan dari ibu.

"Sepertinya kamu agak telat bangun ya hari ini, pasti gara-gara kemarin begadang sama teman."

Untung saja aku disadarkan oleh ibu, ternyata hari ini bukanlah sebuah "Rutinitas" yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Jam delapan lewat lima belas menit, hebat-hebat, bagaimana bisa aku tidak mendengar sama sekali alarm ketika empat puluh menit yang lalu.

"Padahal ibu juga sudah membangunkanmu beberapa kali lho, kakek pikir, ibumu kurang mempunyai niat dan tekad karena sepertinya kamu sedang bermimpi indah hahaha."

Andai aku bisa menjawab kakek kalau malam tadi mimpiku tidaklah seindah itu, dan ternyata ibuku juga sudah berusaha membangunkanku? Memang hebat sekali diriku satu ini, yang patut disyukuri saat ini hanyalah satu.

Untunglah bukan kakek yang menggantikan posisi ibu, karena terakhir kali kakek membangunkanku, dia menyiram air panas ke kakiku dan mencoret wajahku dengan spidol permanen sebagai kenang-kenangan yang sebenarnya cuman usil semata.

"Aduuh, aku jadi bingung mau balas dialog ibu atau kakek, omong-omong sarapannya bungkus saja bu, biar makan di kantor. Aku habis mandi langsung cuss berangkat aja."

"Bisa ditangkap polisi lho fan, keluar rumah sambil telanjang begitu."

"Duh kek, mohon maaf Irfan sedang tidak dalam mode partner lawak."

Akhirnya aku sudah seratus persen tersadar selepas mandi bebek, kuserup kopi yang telah tersedia di meja makan. Entah apa merek kopi ini, katanya sudah diturunkan dari generasi ke generasi keluargaku. Mungkin kakek buyutku adalah seorang pahlawan yang lumayan berjasa bagi negara, makanya rasa khas kopi ini terasa sangat kuno namun elegan.

Di sela-sela menikmati rasa kopi, aku menemukan sebuah pesan dari teman kantorku. Muncul perasaan takut untuk membukanya, pasti semua orang juga pernah mengalami pagi yang buruk sepertiku kan? Dan semua orang pasti pernah kan, deg-degan ketika menerima email atau pesan. Sayangnya bukan dari perempuan cantik.

"Boy, cepetan boy, lu masuk gak hari ini? Client udah banyak banget pagi ini padahal kantor baru buka, bantuin gua cepet anjir. Shift pagi Cuma kita, si neng izin ke luar kota."

Sialan si Raihan, malah makin bikin gugup seorang pemuda yang sudah tergesa-gesa ini. Berarti tidak ada waktu lagi untuk menikmati kopi layaknya bangsawan, kita langsung cuss berangkat.

"Bu, kek, Irfan pergi dulu. Wassalamualaikum."

"Hati-hati nak, Waalaikumsalam."

"Kalo ketemu janda di jalan, embat aja ya atau kasih kakek."

"Oke kek, sebelum itu nanti kulaporin polisi dulu kalau ada orang mesum di rumahku."

Mohon maaf ya kek, aku benar-benar tidak ada waktu lagi memikirkan banyolan yang bisa bikin perut terguncang, mati dah kalau sampai ada bos di kantor. Semoga saja dewi fortuna masih berpihak kepadaku.

Padatnya trafik di jalan raya semakin membuatku bertanya-tanya, "apakah bulan ini aku akan tertimpa kesialan terus menerus?"

Polresta ku lewati dengan aman, sim dan kartu-kartu penting lainnya sudah kusiapkan di dompet. Beberapa menit ke depan, kemacetan mulai terjadi lagi, sangat menyiksa sekali berada di sini sambil memikirkan keadaan kantor sekarang.

Ku tenangkan pikiran perlahan, di saat seperti inilah ada sesuatu yang biasanya ku lakukan. Memikirkan dan menata ulang kejadian-kejadian dalam mimpiku semalam, walau hanya bekerja sebagai kurir pengantar barang. Salah satu impianku yang belum terwujud adalah menjadi penulis novel.

Kadang aku berusaha menuliskan ulang mimpiku menjadi sebuah cerita pendek yang ku upload ke forum blogspot, namun mimpiku malam tadi sepertinya pernah ku alami sebelumnya. Terlalu abstrak bila kugambarkan dengan kata-kata.

Setelah beberapa saat, akhirnya aku terlempar ke dunia nyata kembali. Tanpa sadar ternyata aku sudah hampir sampai kantor, melewati beberapa toko, pasar, lampu merah, toko lagi, pasar lagi dan lampu merah lagi.

Dengan cepat aku letakkan motorku di parkiran karyawan, perasaanku sudah tidak enak. Halaman kantor terlihat sangat sepi, lagian sejak awal aku pasti tahu kelakuan temanku satu ini bagaimana.

"Jadi dimanakah 'client' yang lu sebutin di Spam Chat itu?"

"Salah lu ndiri, kenapa pake acara terlambat segala, jadinya tangan gua gatel pengen ngirim pesan itu."

Dengan santainya dia menjawab seolah keterlambatanku tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Lagian alasanku terlambat bangun, karena dialah pelaku yang mengajakku nongkrong sampai tengah malam.

"Btw lu udah tau postingan yang lagi hanget dibahas di kaktus gak?"

"Dari pagi tadi gua belum ada nyentuh internet Han."

Karena kantor masih sepi, aku ngobrol dengan Raihan sambil memakan sarapan dengan hati lega, walaupun hanya terlambat dua puluh menit, gajiku pasti akan terpotong beberapa persen. Bodo lah, masalah itu kita pikirkan lain kali saja. Mari biarkan diriku menselebrasikan kesuksesan dengan menghabiskan makanan ini.

Tanpa banyak pikir, aku langsung login ke halaman kaktus menggunakan komputer yang berada di ruang resepsionis kantor. Karena hati kecilnya juga penasaran, selama aku tidur nyenyak, apa yang sedang terjadi di luar sana ataupun di dalam internet.

"Kasus bunuh diri lagi?" Sambil ku kunyah telur dadar dan beberapa sayuran yang kupaksakan masuk ke mulutku, perasaanku mulai tidak enak. Lagian siapa yang mau membahas hal seperti itu ketika makan? Pasti hanya orang yang terlambat makan dan penasaran dengan hal "Viral" di internet, kebetulan akulah orangnya.

"Iya, tapi yang lebih mengejutkannya lagi, coba lihat tempat bunuh dirinya."

"Buset, di Mitra lagi? Mitra Ramayana Lawas situ kan di dekat jembatan dewi?"

"Kau pikir dimana lagi di kota ini bangunan yang bernama Mitra atau yang memegang gelar Ramayana Lawas."

"Sudah ada postingan yang ngebecandain tragedi ini dah."

"Pasti tentang isu prostitusi di sana kan."

"Bentar, anjir elu yang bikin nih postingan Han?"

"Hahaha, butuh skill lebih untuk mencari celah dalam kejadian viral dan menjadikan postingan dark joke."

"Hati-hati lho, bisa-bisa lu kena kasus."

"Akun facebook gua aja udah 3x kena banned gara-gara banyak yang report post gua."

"Emangnya apa yang lu post sampe banyak orang yang benci lu?"

"Padahal gua cuman membahas topik-topik yang hangat."

"Iya, hangat menurut lu, panas di hati orang-orang, lagian lu terlalu cepat berdamai dengan keadaan."

Inilah rutinitasku, walaupun tidak banyak pelanggan yang datang, dan hanya beberapa kali keluar mengantarkan barang. Gaji yang kami dapatkan tiap bulannya lumayan besar dengan kerja santai-santai begini.

Kami lebih banyak ngobrol dibanding kerja, beberapa kali Raihan mengajakku untuk bermain game online, tentu saja ku tolak. Bagaimana jadinya kalau atasan melihat kelakuan anak buahnya yang memakai fasilitas kantor seperti warnet.

Tidak banyak hal yang terjadi hari ini, ada satu orang komplen barangnya yang pecah, ada ibu-ibu yang kesulitan membaca biaya pengantaran dan para bocah seperti biasa, bermain bola di halaman kantor ketika sore sudah tiba.

"Sampai jumpa besok han."

"Cih, ga usah sok formal gitu, kita nongkrong lagi ga boy malam nih?"

"Lu mau motong rezeki gua kah? Kalau esok, esok dan esoknya lagi gua telat terus, gimana?"

"Ciyah, tenang aja paling cuman hari ini lu telat."

"Skip dulu dah, nanti akhir minggu aja kita nongky nya."

"Sip lah, lagian gua juga ada jadwal ketemuan sama cewe gua malam ini haha, jomblo minggir dulu."

Kalau sudah ada janji, jangan ngajak ngajak gue. Ingin ku katakan hal itu, tapi aku sudah teralu lelah membalas semua perkataan bodohnya mulai pagi tadi. Untuk saat ini, aku hanya perlu cepat-cepat pulang ke rumah dan beristirahat dengan tenang.

Langit berwarna jingga dan serpihan cahaya matahari yang tersisa menyelip di antara awan-awan mendung. Mungkin malam ini akan hujan, nikmat Tuhan yang paling kusukai salah satunya adalah tidur di bawah selimut ketika hujan sedang terjadi di luar. Tapi mungkin Raihan akan menyumpah karena tidak bisa keluar.

Entah karena suatu alasan, aku melambatkan motorku dan menoleh perlahan ke kiri jalan, terdapat bangunan tua yang sudah tak pernah terpakai lagi.

"Setiap hari lalu Lalang di depan sini, baru kali ini aku memperhatikan bangunan tua ini dengan konsentrasi penuh."

Terdapat perasaan nostalgia ketika melewati Ramayana Lawas ini, apa waktu kecil ayahku pernah membawaku ke sini untuk berbelanja? Oh ngomong-ngomong bila ada yang bertanya mengapa bangunan tua ini disebut Ramayana Lawas, karena dulunya tempat ini memang Ramayana, tapi karena suatu alasan Ramayana yang baru dibangun walaupun hanya beberapa puluh kilometer dari sini.

Hanya sebatas itu yang ku ketahui saat ini, bila masih ada yang bertanya "apa alasan tepatnya tempat ini tidak dioperasikan lagi?" aku hanya akan menjawab "Meneketehe, emang gua Menteri pembangunan atau semacamnya."

Entah refleks tubuh atau memang keinginan hatiku sendiri, ku hentikan sejenak motorku di pinggir jalan dan memperhatikan lebih seksama bangunan itu. Masih terdapat police line yang bisa dilihat dari luar. Kemarin ada orang yang mengakhiri hidupnya di tempat itu? Sedangkan aku asik-asiknya menikmati malam dengan temanku.

Rasa penasaran akan selalu mengakibatkan dua hal, keberhasilan yang tak terduga atau malah keterpurukan dan penyesalan yang fatal. Andai saja seorang kakek yang kebetulan lewat itu tidak menghentikanku, mungkin aku sudah masuk ke dalam TKP kasus bunuh diri itu.

"Magrhib begini ngapain kamu di sini?" Sambil memegang pundakku yang masih haus dengan rasa penasaran, kakek berbusana muslim ini telah menyelamatku yang hampir tenggelam dalam sebuah masalah serius.

"Ah, tidak kek, cuman anu. Eh, enggak jadi kek. Maaf ya aku segera balik."

"Kamu tidak lihat, di situ masih ada batas polisi?"

"Maaf kek, aku cuman penasaran, apa memang itu kasus bundir atau semacamnya?"

"Dalam kepercayaan manapun, bunuh diri merupakan dosa yang besar. Jadi kusarankan untuk menjauh dari lingkungan yang mempunyai aura bunuh diri seperti contohnya tempat ini."

Memang seperti itulah keinginanku, sejak kapan aku mau masuk ke lingkungan seperti itu. Yang kupercayai saat ini, mengapa aku ingin masuk ke sana karena pembahasan Raihan yang mengundang rasa penasaran ke diriku. Sialan kau Raihan, ya tidak bisa juga seratus persen menyalahkannya.

Langit senja makin berulah, kini dibantu dengan angin dingin yang melibas menambah atmosfir "Jangan keluyuran" dan memang niatku untuk pulang sudah kembali, ku simpan sementara rasa penasaranku terhadap kasus di tempat itu. Mungkin dalam hati kecilku, aku hanya ingin melihat kejadian nyata yang selama ini hanya bisa kulihat dari novel misteri.

Malam itu benar-benar hujan cukup deras, ketika sampai di rumah, seperti biasa aku disambut dengan lelucon kotor kakekku dan sambutan hangat ibu. Di saat makan malam, aku selalu membahas kekesalan-kekesalan yang telah terjadi di kantor.

Satu-satunya hal yang tidak ku bahas adalah tentang rasa penasaranku. Termenung di dalam kamar sambil memikirkan berbagai macam hal, ku tutup mataku perlahan sambil mendengarkan alunan musik yang disajikan langsung oleh alam.

Masih banyak pertanyaan yang ingin kutemukan jawabannya di internet malam itu, tapi sekali lagi ku katakan, "Biarlah, aku di hari ini istirahat dan yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu adalah diriku di esok hari."

-???????????, ?? ??? ????-

"Dasar setan tanpa moral? Itu kata ayahmu, kau dengar?" Malam ini kuulangi lagi dosa-dosaku yang semakin menumpuk. Di ruangan yang hanya diterangi lilin, di hadapanku sekarang ada keluarga sedang memohon ampunan kepadaku.

Aku mengenal semua orang di hadapanku, gadis kecil itu namanya Yolan, dia sedang dipeluk ibunya si Amelia. Ayahnya si Ryan berdiri dan mencoba melindungi kedua orang tersayangnya, tentu saja seperti itu kan? Karena saat ini, kondisiku benar-benar sama bung. Andai Ryan berdiri di posisiku sekarang, pasti dia akan berpikiran sama denganku.

Ngomong-ngomong ada dua anggota keluarga yang belum kusebutkan, neneknya Yolan sudah kubersihkan dan dia tergeletak begitu saja di atas meja makan. Lihatlah darahnya yang mengalir perlahan ke lantai, itu merupakan dosa-dosa yang keluar dari dalam jiwanya kan? Nenek bernama Fatimah ini sedang menuju ke surga kan? Dan akulah orang yang membantu keluarga ini menghapus dosa-dosanya.

Satu orang terakhir, kakeknya Yolan tidak ada di sini. Apakah sedang di luar? Entah kenapa rasa takutku muncul apabila ada satu orang yang lolos malam ini. Di saat aku sedang memikirkan banyak hal, sang ayah berlari mendekatiku dan mencoba menamparku, untung saja refleksku sangat kuat. Ku Tarik pelatuk senapan di genggamanku dan dor.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAYAAAAH..!!"Seorang gadis berteriak dan beberapa detik kemudian diam tak berkata seolah nyawanya ikut terlempar bersama ayahnya yang baru saja meninggal tadi.

Tanganku bergetar sangat kuat, bahkan keringat dinginku mulai bercucuran. Ketika sang anak berteriak dan menangis, akhirnya aku sadar perbuatanku sangat mengecewakan diriku sendiri. Ku ambil botol di kantongku dan meminum kopi dengan nikmat, kemudian ku nyalakan rokok untuk menenangkan perasaanku kembali.

"huuuh, ha… huuh, kalian kaget tidak? Saya kaget loh. Laki-laki itu tiba-tiba berlari ke depan. Haha,"

Pria bertopi dan memakai seragam serba hitam ini masih duduk di hadapan dua orang yang masih menangis sambil memikirkan kenapa ini semua terjadi kepada keluarganya begitu saja. Siapa pria bertopi sialan ini? Diriku? Yang benar saja bajingan.

Mana mungkin aku melakukan hal sekeji itu, kenapa pria ini bisa sangat santai ketika merenggut nyawa seseorang? Dan saat ini aku sudah tersadar, apakah ini lanjutan mimpiku sebelumnya? Mungkin aku akan melupakan semua hal mengerikan ini ketika bangun nanti.

Namun, di sebuah tempat di dalam benakku terdapat pemikiran lain. Bagaimana kalau keseharianku yang biasa-biasa saja itu adalah mimpiku sebenarnya? Dan kenyataannya aku adalah pria bertopi hitam yang berdarah dingin ini.

Setelah aku sudah mulai bosan bermain dengan rokokku, entah darimana perasaan itu muncul. Aku harus menyelesaikan tugasku sebagai seorang pembersih. Di hadapanku ada gadis kecil memakai setelan putih lengkap dengan topi putih kecilnya dan sang ibu yang terlihat sederhana, mereka berdua terdiam membisu menunggu ajal yang terpaksa tiba di depannya.

Sekali lagi ku angkat senapanku dengan perlahan, mengatasnamakan keadilan ku lakukan semua hal ini, jadi tunggu ayah pulang ya, keluarga tercintaku. Ayah? Jadi aku sudah menjadi seorang ayah ya.

-Banjarmasin, 02 Mei 2010-

*tiiiiiiiiiiiiiiit… Bomb Defuse Bomb Defuse, Bomb Defuse Bomb Defuse, Bomb Defuse, Bomb Defuse, Bomb Defuse….

Kebiasaan baru muncul, kumatikan alarm berisik ini dengan cara melemparnya begitu saja dan rupanya cukup berhasil. Ku bangunkan diriku perlahan sambil melihat jam yang telah tergeletak di lantai, sepertinya aku tidak terlambat hari ini.

"Bukannya harusnya tidur itu untuk istirahat? Kenapa setelah bangun tidur rasanya capek sekali?"

Kutinggalkan kamarku setelah mengucapkan hal tadi entah dengan siapa, sebenarnya aku hanya ingin mengatakan itu untuk menyumpah pada tidurku yang sangat tidak tenang.

Di saat menuruni tangga, aku memikirkan suatu hal. Kalian ingat alasan mengapa aku sangat penasaran memasuki area TKP kemarin? Perasaan nostalgia yang tidak jelas, dan mempertanyakan apakah ayahku pernah membawaku ke Ramayana Lawas itu.

Sayangnya ingatanku tentang ayah tidak terlalu banyak, setiap kali kutanyakan dimana ayah sekarang. Kakek selalu memakai jawaban template sedari dulu.

"Ayahmu kan hobi jalan-jalan ke luar negeri, mungkin saat ini dia sudah menetap tinggal bahagia di suatu wilayah."

Walaupun pernah beberapa kali jawaban kakek sedikit berbeda, intinya ayah sedang berada di luar negeri, bahagia, dan sebagainya. Bila kutanyakan pada Ibu, maka jawabannya juga sudah disiapkan.

"Seperti kata kakekmu fan."

Sebelum-sebelumnya semua jawaban dan pertanyaan itu tidak terlalu penting, toh buktinya sekarang kita hidup damai di rumah ini. Tidak ada aksi teroris, pembunuhan atau hal mengerikan lainnya. Di saat itulah aku memikirkan lagi suatu hal mengenai kata "pembunuhan."

"Amelia? Ryan? Yolan? Kenapa nama-nama itu tiba-tiba melekat di kepalaku?"

Saat sarapan, kutanyakan pada kakek dan ibu apakah mereka mengenali orang-orang dengan nama yang baru saja kutemukan pagi ini. Jawabannya nol besar, harus kemana ku tanyakan kegelisahaanku ini? Setelah berkutat di dalam kepalaku beberapa menit, akhirnya ku selesaikan rutinitas pagi yang damai ini. Seingatku mungkin, pagi inilah yang menjadi 'pagi damai' terakhirku.

Semua orang pasti merasakan kebosanan yang tak bisa mereka hindari, contohnya diriku sekarang. Setiap hari melewati fly over, Polresta dan Rumah Makan Padang yang sama. Awalnya aku selalu bosan dengan perjalanan menuju kantor, sekarang ada hal yang sedikit berubah.

Ketika melewati Ramayana lawas, ku pelankan motor dan kuperhatikan bangunan tersebut secara mendetail bagaikan elang menerka mangsa, mungkin inilah kebiasaan baruku saat ini.

"Sebenarnya apa arti mimpiku dua hari ini yang sepertinya berkaitan satu sama lain, dan kenapa rasa penasaranku pada bangunan ini meningkat drastis."

Mungkin aku sudah bisa dipanggil orang bodoh, pagi ini masih sedikit pegawai yang datang ke kantor. Mencari arti mimpi "membunuh orang" di internet menggunakan komputer resepsionis adalah sebuah perilaku yang sangat konyol.

"Mari kita lihat di sini, ada yang bilang pertanda baik kalau tujuanmu segera tercapai, mendapatkan rejeki berlimpah? Jodoh akan segera datang, hmm…"

Sekitar beberapa menit kuhabiskan waktuku untuk membaca blogspot soal itu, apa benar pertanda baik? Di saat ku memikirkan kejadian di dalam mimpiku semalam, terasa seperti bukan sebuah mimpi.

Perasaan ketika mengingat momen-momen di masa lampau yang hampir terlupakan begitu saja akibat termakan waktu. Tapi aku tidak ingat sama sekali pernah melakukan hal sekeji itu, membantai satu keluarga? Memegang senapan saja mungkin aku tidak berani.

Ternyata aku tidak sebodoh yang kuperkirakan, ku buka kaktus dan memasang thread yang berisi,

"Vroh, Gua punya pengalaman aneh dan unik, bilang aja gua ga waras atau gimana. Aneh tapi nyata (ngakak lol). Gua mimpi ngebunuh orang, udah dua malam mimpi gua isinya gituan. Malam tadi yang kerasa nyata (Terserah mau percaya ato gak) Bahkan gua ingat nama-nama korbannya, Amelia, Ryan dan Yolan. Ada yang tau tiga orang yang merupakan satu keluarga dengan nama itu? Pesan pribadi ke Gua aja vroh."

Di saat ku tekan enter untuk mengirim ke forum kaktus, Raihan menyapaku dengan wajah malasnya. Ku tebak pasti dia mengeluh dengan alam semesta dan berkata "Hujan lebat gini gak bisa ditembus sialan!"

Tanpa banyak mulut dan bacotan pagi harinya, Raihan langsung pergi ke dapur untuk absen dan mempersiapkan diri beserta mentalnya. Apa memang kalau gagal kencan sedepresi itu? Atau dia cuman terlalu lebay saja.

Terjadi kejadian yang tak terduga, mengapa ibu menelpon? Padahal bekalku sudah ku bawa, perlengkapan tidak ada yang tertinggal. Atau ada masalah di rumah? Kemungkinannya bisa saja terjadi. Biarlah diriku sepuluh detik kedepan yang menjawabnya.

"Iya, ada apa bu?"

"Cewenya udah datang belum ke kantormu?"

"Hah? Cewe? Siapa?"

"Lah, Bukannya sudah janjian sama kamu?"

"Apaan bu, aku aja temen cewe bisa dihitung pake garis jari. Dan udah lama gak ngumpul, jadi gak ada cewe yang janjian samaku bu."

"Dia nanya kantormu, atau mungkin cewe itu cuman pelanggan kantormu ya? Aneh sih kalau sampai nyamperin rumah."

"Okelah bu, ku tutup dulu ya. Nanti ku tanyakan langsung sama dia."

"Cie, anakku sudah punya calon ye."

"Bu jangan macam-macam deh, ku tutup ya."

Yang kudapatkan bukan jawaban justru pertanyaan lagi, apakah ibuku melakukan sebuah kesalahan? Tidak mungkin, perempuan yang akan datang antara pelanggan kantor atau memang temanku. Tapi siapa? Anni, Mawar atau si Fitri teman dekat smp ku? Sayangnya dari ketiga nama yang kusebutkan tadi hanyalah sebatas teman. Aku jadi penasaran bagaimana orang-orang menembak gebetannya biar tidak terkesan lebay.

Tidak ada waktu lagi memikirkan siapa yang akan datang, perempuan yang dimaksud sudah berada di luar kantor. Karena pintunya terbuat dari kaca gelap, aku bisa samar-samar melihat penampilan gadis itu.

Pakaiannya terkesan dinamis, dari atas sampai bawah berwarna putih, dia juga berkacamata dan memakai topi bundar yang berwarna putih juga. Bila kuperhatikan lagi dia juga membawa tas gandeng putih, apa putih memang warna favoritnya? Yang lebih penting lagi, wajahnya putih halus dan matanya yang terlihat seperi putri kerajaan.

Sejak kapan aku mengenal gadis cantik bak putri singgasana ini? Pupus sudah harapanku mengenai teman perempuanku yang rindu dengan si Irfan yang tampang biasa-biasa saja ini.

Ketika memasuki ruangan, pasti tidak akan ada orang yang mengabaikannya. Hawa keberadaannya benar-benar seperti putri raja yang memasuki istana. Dia datang ke hadapanku dan memandang wajahku, karena aku tidak mau dikira salah tingkah, akulah yang pertama kali membuka percakapan.

"Mohon maaf, ada yang bisa dibantu mba?"

"Wa-wajahmu, mi-mirip sekali."

Saking halusnya suaranya, ku kira aku sedang memakai earphone music yang ternyata tidak.

"Na-mamu?"

"Nama saya Irfan Wirgana, ada yang bisa saya ban-??" Tepat sebelum kuucapkan kalimat tadi, aku sebenarnya melihat gerakan tangan gadis ini, namun kuabaikan. Dan tepat setelah ingin kuakhiri kalimat pertanyaanku sesuatu kurasakan di bagian perut bagian kanan, hangat? Dingin? Terasa panas juga. Sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Wajah gadis itu sepertinya gelisah dan panik, apa dia takut melihat wajahku yang pucat? Hah? Pucat? Siapa yang pucat sialan. Akhirnya aku sadar, seluruh badanku mulai gemetar dan kulihat kedua tanganku sudah mulai memutih. Nafasku mulai terengah-engah yang padahal aku sedang tidak lari marathon.

Raihan muncul dari ruangan kanan, ingatanku mulai kabur, tapi ku yakin teman kantorku itu keluar dari dapur.

"YOLAN?? DARIMANA KAU TAU AKU KERJA DI SINI? HAH? APA INI! IRFAN!! IRFAN!!"

Tidak biasanya si brengsek ini kepanikan, oh ternyata dia mengenal gadis cantik itu ya. Namanya Yolan? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu waktu dulu dulu sekali, kapan ya?.

Beberapa pegawai lain juga keluar dan mereka memegang tangan dan tubuh Yolan seenaknya, hey hey mau apa kalian di kantor pagi-pagi begini? Tetapi ada satu hal yang mengingatkanku pada kejadian sepuluh detik lalu. Ada satu pegawai memegang sebuah benda tajam, mungkin pisau dapur yang cukup besar.

Pisau tersebut terlihat sangat tajam dan seperti diasah setiap hari, yang jadi masalah bukan itu. Sebuah corak darah tertempel di mata pisau tersebut. Bila kuikuti jejak darah yang tercecer di lantai, sumber darah itu dari perutku sendiri?

Mataku mulai terpejam dan yang kuinginkan saat ini malah kopi buatan ibuku. Beberapa kali ku dengar teriakan Raihan memanggil namaku, beberapa saat kemudian terdengar juga bunyi ambulan di luar. Dan sayang sekali aku sudah mulai lelah menjelaskan semua hal saat ini, karena kesadaranku juga sudah mulai seenaknya lari entah kemana.

"Di pagi yang cerah itu, seorang pemuda baru saja mengalami kejadian yang tak pernah dia duga dalam hidupnya. Siapa yang patut disalahkan? Ibunya yang memberitahu alamat kantornya? Atau Gadis yang niatnya masih tidak karuan? Atau justru yang salah adalah dirinya sendiri tanpa sepengetahuannya? Atau ada tokoh lain yang bisa ditunjuk sebagai pelaku?"

-Banjarmasin, 22 Mei 1997-

Perkenalkan namaku Rudy, suatu saat anak cucuku akan mengetahui kejadian di hari ini, sejarah keluarga kami yang tak akan terlupakan. Keributan di luar memang bukan karena ulahku, tapi kamu tahu? Selama satu minggu ini, Sudah tidak terhitung nyawa manusia yang kuambil seenaknya. Hanya karena kita tidak sepaham, hanya karena perbedaan pendapat. Sebuah peristiwa mengerikan ini terjadi.

Kondisi kota saat ini memang sangat kelabu, tapi aku yakinkan pada diri sendiri. Suatu saat, masa depan kota ini akan cerah dengan banyaknya pengorbanan yang telah kita lakukan. Namun, sekali lagi kutegaskan,

"Ini bukanlah perang, ini hanyalah sebuah aksi pembantaian yang tidak berperikemanusiaan."

Ku ketuk pintu rumah itu sebanyak tiga kali dan berharap hanya ada satu orang sebatang kara di dalamnya. Namun perkiraanku salah, ternyata ada empat anggota keluarga yang terlihat sedang berbahagia.

avataravatar
Next chapter