2 Realita dari Serpihan Masa Lampau

Kubuka perlahan pandanganku, sepertinya sudah sangat lama sekali aku memejamkan mata. Pikiranku kembali tersadar, di situlah ku mulai memikirkan suatu hal,

"Mimpi yang lainnya lagi ya…?"

Bulan setengah purnama terlihat samar-samar di atas sana terselimut awan-awan, ketika cahaya redupnya mulai tersibak, aku sudah bisa melihat beberapa pemandangan di sekitar. Di sebuah lapangan yang sepertinya dipakai untuk parkiran, di belakangku terdapat sebuah Gedung yang lumayan tinggi berwarna putih. Sepertinya aku mengingat nama bangunan itu, tapi entah dari mana ingatan itu muncul.

Sejak tadi aku sedikit terganggu dengan suara kecil di depan, di hadapanku saat ini ada seseorang yang kondisinya sangat menyedihkan. Dia diikat di sebuah tiang dan kepalanya dibungkus dengan karung. Jeritan yang kudengar dari tadi ternyata berasal dari orang ini.

Nafasku mulai terengah-engah, rasanya kepalaku mau meledak ketika semua informasi ini masuk ke dalam pikiranku. Andai ini adalah mimpi, pasti aku sudah terbangun dari tadi. Tangan kiriku terus-terusan menampar pipiku, rasa sakitnya benar-benar terasa. Kalau bukan mimpi, apa arti semua ini?

Ketika ku buka karung yang menutupi kepalanya, pemuda yang terikat ini mengerang lebih keras kepadaku,

"Tunggu sebentar, aku akan melepaskan ikatan mulutmu terlebih dahulu, tunggu sebentar."

Setelah ku buka tali yang mengikat mulutnya, bukannya ucapan terima kasih yang kuterima, justru sebaliknya.

"DASAR SETAN-SETAN TERKUTUK, APAKAH KALIAN MEMANG TAKUT DENGAN ORANG-ORANG SEPERTI KAMI HAH? DASAR PENGECUT, SIALAN!! BIADAB!! KALIAN BUKAN MANUSIA!!"

Tersentak ke belakang karena terkejut, aku benar-benar belum mengerti apa yang dikatakan pemuda ini,

di saat aku kembali ke kursiku yang berada tak jauh di seberang pemuda terikat itu, terdengar suara radio atau mungkin orari yang berada di kantong baju kiriku.

"53C.. 53C.. Apakah tugasmu sudah selesai?"

"Ku ulangi… Apakah tugasmu sudah selesai? 53C.. 53C..?"

Aku benar-benar tidak memahami apa yang dikatakan suara dari orari milikku ini, atau mungkin aku hanya berpura-pura tidak mengerti? Untuk memastikannya, ku tanyakan kepada sumber suara tadi, sementara pemuda di depanku masih menyumpah dan berbicara beberapa hal yang tidak kumengerti juga, seperti keluarganya, rekan seperjuangannya atau rencana mereka.

"Kalau boleh memastikan pak, boleh Anda terangkan lagi tugas saya?"

"53C… Lakukan sesuai instruksi kami, karena ini hari pertamamu jadi bersikap baiklah dalam melakukan pembersihan, kamu pasti sudah tahu juga konsekuensinya kalau gagal atau melarikan diri kan."

Setelah itu, tidak ada lagi sahutan di panggilan entah dari mana tersebut. Tugasku sangat sederhana, kugunakan senapan di genggaman tangan kananku untuk 'membersihkan' pemuda di depan yang masih berteriak menyumpah.

Bila kulepaskan pemuda ini, dia pasti langsung membunuhku karena dendam membaranya. Pilihan yang kumiliki saat ini hanyalah kabur dari situasi mengerikan ini. Ku lempar senapan tadi entah kemana dan segera berlari menuju arah depan.

Kakiku terasa lemah dan lariku semakin pelan, mataku juga mulai lelah. Di saat aku berlari ditemani cahaya rembulan redup, terdapat label di samping jalan bertulisan "HOTEL A BANJARMASIN"

Akhirnya aku sampai di jalan raya, saking sunyinya jalanan. Aku bisa mendengar nafasku sendiri yang sangat keras. Seketika juga aku berhenti berlari di tengah jalan dan terbaring, rasa kantuk semakin merajalela dan akhirnya akupun menyerah dengan mataku sendiri.

Kubuka perlahan pandanganku, sepertinya sudah sangat lama sekali aku memejamkan mata. Pikiranku kembali tersadar, di situlah ku mulai memikirkan suatu hal,

"Bukankah aku mengulangi hal yang sama lagi?"

Di sebuah lapangan parkir di belakang Hotel A Banjarmasin, aku ditugaskan untuk membunuh pemuda yang telah diikat di tiang itu. Entah dari siapa atau atas dasar apa aku harus melakukannya, tentu saja aku sangat menentang perbuatan ini.

Sambil duduk di kursi yang sepertinya sudah disediakan untukku, ku ambil botol berisi kopi yang ternyata dapat menenangkan sedikit pikiranku. Ku nyalakan juga seputung rokok sambil menunggu panggilan yang sudah kuprediksi.

Ternyata benar, suara orari mulai berbunyi dan semua orang pasti sudah tahu, dialog apa yang akan keluar dari benda ini.

"53C.. 53C.. Apakah tugasmu sudah selesai?"

"Ku ulangi… Apakah tugasmu sudah selesai? 53C.. 53C..?"

Dengan lantang kuucapkan penolakan kasar dengan sangat keras.

"BODO AMAT, MANA MAU GUA NGEBUNUH ORANG SEENAK JIDAT. LU PIKIR GUA PEMBUNUH BERDARAH DINGIN? SIAPA LU BODOH AMAT!!! GUA KELUAR DARI TUGAS."

Seketika juga diriku berteriak sangat kencang bahkan lebih keras daripada suara pemuda yang masih terikat di depanku, kejadiannya hanya beberapa mili detik. Kepalaku terasa tertusuk jutaan jarum bahkan aku bisa mendengar suara ledakan kecil dari arah belakang.

Sesuatu keluar dari mulutku sendiri, saat terbaring akhirnya aku sadar. Sesuatu yang keluar itu adalah lidahku sendiri yang terjatuh ke tanah. Kupikir aku akan benar-benar mati, atau aku sudah lama mati?

Kubuka perlahan pandanganku, sepertinya sudah sangat lama sekali aku memejamkan mata. Pikiranku kembali tersadar, di situlah ku mulai memikirkan suatu hal,

"Jadi berapa ratus juta kali aku harus mengulangi seluruh kejadian konyol ini?"

Ku lihat ke atas hotel yang dominan gelap, terdapat satu kamar di atas sana yang masih mempunyai penerangan lampu. Mungkin bila aku melakukan sesuatu hal yang menyimpang atau melarikan diri, seseorang dari balik jendela tersebut akan meledakkan kepalaku dengan sesuatu.

Cahaya rembulan sudah mulai terlihat, beberapa saat kemudian terdengar suara dari balik kantongku.

"53C.. 53C.. Apakah tugasmu sudah selesai?"

"Ku ulangi… Apakah tugasmu sudah selesai? 53C.. 53C..?"

Ku buang orari tersebut entah kemana, sehingga aku tidak lagi mendengar suara-suara itu. Di sebelah tangan kananku masih ada senapan, ku Tarik pelatuknya dan kutodongkan ke kepalaku sendiri. Ku persiapkan dulu diriku dengan mengatur nafas perlahan.

Nafas terakhir ini adalah harapan terakhirku, semoga semua mimpi buruk ini segera berakhir. Kalau bukan mimpi, berarti ini juga akan membuatku tenang untuk selamanya.

Kubuka perlahan pandanganku, sepertinya sudah sangat lama sekali aku memejamkan mata. Pikiranku kembali tersadar, aku sudah tidak tahan dengan semua ini, kau pikir aku manusia berhati besi?

Meringkup di kursi seperti bayi yang baru saja dilahirkan, sepertinya ini adalah air mata pertamaku setelah sekian lama aku tidak menangis. Ketika cahaya rembulan mulai menerangi sekitar, terdengar suara yang sudah kudengar beberapa kali.

"53C.. 53C.. Apakah tugasmu sudah selesai?"

"Ku ulangi… Apakah tugasmu sudah selesai? 53C.. 53C..?"

"53C..? 53C..?"

"Baiklah pak, Saya selesaikan segera."

Menarik pelatuk adalah hal yang mudah bagiku sekarang, saat kutembak orang ini. Tidak peduli kalau ini adalah mimpi atau kenyataanku. Pasti semua masalah akan berakhir, tidak akan lagi yang namanya pengulangan. Itulah pemikiranku yang kuyakini sepenuh hati.

*DOOR!! DOOR!!

Mungkin wajahku saat ini seperti pria paling jelek sedunia, air mata terus mengalir entah kenapa. Ku buang senjata terkutuk ini ke samping mayat yang baru saja kurenggut nyawanya. Perlahan ku pergi ke jalan raya yang sunyi.

Perasaan lelah dan ngantuk berpadu menjadi satu dalam diriku. Ku tutup mataku perlahan seroya merayakan kemenangan dalam hati kecilku.

Kubuka perlahan pandanganku, sepertinya sudah sangat lama sekali aku memejamkan mata. Pikiranku kembali tersadar, serius?

Serius?

Serius?

Serius?

Serius?

Serius?

"53C.. 53C.. Apakah tugasmu sudah selesai?"

"Ku ulangi… Apakah tugasmu sudah selesai? 53C.. 53C..?"

"Woy sialan, tugasku setelah membunuh bajingan di depan ini sudah selesaikan?"

"Dimana sopan santunmu, ingat keluargamu di rumah, kalau sampai macam-macam…"

"APAKAH TUGASKU SELESAI SETELAH MEMBUNUH BAJINGAN DI DEPAN INI?"

"…."

Hanya terdengar suara noise setelahnya, karena tidak ada jawaban, kutembakkan lagi senapan ini ke arah pemuda di depan yang terikat.

*DOOR!!

Tugasku selanjutnya adalah mengubur jasad pemuda ini, ku lempar senapanku dan segera mengambil sekop yang berada di Gudang yang tak jauh dari parkiran. Karena keadaan ruangannya gelap, ku nyalakan penerangan untuk membantuku.

Beberapa menit kemudian, aku kembali ke TKP, ku lepaskan ikatan jasad ini perlahan dengan penuh hormat. Di saat aku menggali tanah, terdengar suara gesekan kecil di depanku, mungkin hanya imajinasiku?

Penggalian telah kulakukan, sekitar dua atau tiga meter sudah tersedia. Ku masukkan mayat yang masih memakai karung di kepala tersebut. Namun, ternyata 'mayat' ini belum sepenuhnya mati. Ternyata dia dari tadi masih hidup.

Segera keluar dari lubang, dan kucari senjataku yang ku buang tadi dengan perasaan panik.

"Tunggu sebentar, aku akan mengakhiri penderitaanmu."

Walau sudah sekuat tenaga mencari, tetap tidak ada sebuah senapan yang tergeletak di tanah. Satu-satunya cara hanyalah benda yang ku pegang saat ini. Apakah tidak apa-apa mengakhiri nyawa seseorang dengan sekop seperti ini?

Ku Tarik napasku perlahan, sambil berkata dalam hati, "Mohon maaf kawan, bila satu-satunya cara untuk mengakhiri mimpi buruk ini adalah menghabisimu, akan ku lakukan dengan sepenuh hati."

Teriakan balas teriakan telah terjadi, seorang pria bajingan telah menusuk, menyayat dan menghempaskan sekop ke seluruh tubuh pemuda malang yang telah sekarat dalam lubang berukuran 2x0,5 meter. Yang kubenci dari itu adalah, "Pria Bajingan" tersebut adalah diriku.

Cahaya bulan mulai semakin menerangi bumi, sudah berapa puluh menit berlalu? Aku terus menutup tanah-tanah sampai membentuk sebuah kuburan tak kasat mata di belakang lahan parkir Hotel. Kulihat kembali kedua tanganku yang penuh noda darah.

Resah, lelah, marah dan pasrah tercampur dalam lautan pikiranku, siapa yang patut disalahkan dengan ini? Tiba-tiba aku terjatuh ke belakang, dan di saat itu juga kesadaranku mulai menghilang.

"Apakah sudah berakhir? Atau akan terus terulang sampai selamanya?"

Kubuka perlahan pandanganku, sepertinya sudah sangat lama sekali aku memejamkan mata. Pikiranku perlahan tersadar, terlihat di sebelahku ada seorang kakek tua dengan wajah terkejutnya yang sudah tidak asing bagiku.

Kakek mesum itu berbicara sesuatu kepadaku, kemudian pergi ke luar ruangan yang serba putih ini.

"Mimpi yang lainnya lagi ya?"

Sekejap aku memikirkan hal itu, namun setelah beberapa saat akhirnya aku mengingat sebuah fenomena menakjubkan yang kulewatkan dalam hidupku. Bayangkan ketika kau sedang asik-asiknya santai di pagi hari saat bekerja, tiba-tiba datang seseorang gadis cantik yang menghampiri dan tanpa banyak pembicaraan. Dia langsung menusukmu dengan pisau tajam.

Tunggu dulu, sebelum aku terlalu bersemangat membahas hal itu lebih lanjut, ada hal yang lebih penting. Tanganku masih bergetar akibat melakukan hal sekeji itu.

"Sekeji itu?"

Bukankah aku hanya rebahan di rumah sakit ini yang entah sudah berapa hari aku berada di sini. Tetapi kejadian yang kualami sebelumnya sangatlah nyata. Menembak dan mengubur seseorang di belakang parkiran A Hotel.

Duduk dengan perlahan dan memeriksa perut adalah hal pertama yang harus kulakukan, terdapat perban di sekeliling perutku. Berarti, kejadian pagi itu benar-benar nyata.

Terdengar seseorang membuka pintu, sepertinya sudah lama sekali aku tidak melihat wajah ibu. Ku lihat dengan seksama, ada tersisa jalur air mata di wajahnya.

"Irfan, kamu sudah bisa duduk?"

"Sudah bu, ga usah alay gitu. Ini cuman luka ringan biasa. Ngomong-ngomong sudah berapa lama aku berbaring di sini?"

Sebuah jawaban yang tak ku sangka, beneran? Apakah Lukaku separah itu? Hanya karena tertusuk di bagian perut?

"Sudah sepuluh hari, ibu dan kakek khawatir dengan kondisimu, untuk sekarang istirahat saja dulu jangan memikirkan hal-hal lain. Intinya Ibu dan kakek sudah sangat bahagia melihat kamu sadar seperti ini."

Beberapa detik, aku terlihat seperti orang linglung yang kehilangan akal sehat.

"Oh? Benarkah bu, pantas saja kalian berdua terlihat khawatir sekali. Biaya rumah sakitnya gimana bu?"

"Sudah tenang aja, beberapa persen ditanggung kantor kamu. Kan sudah ibu bilang, istirahat saja dulu."

Mungkin 'istirahat' adalah hal yang mudah dikatakan, banyak pertanyaan-pertanyaan yang melesat dalam kepalaku, salah satunya berkaitan dengan kejadian yang kualami, apakah itu hanya sebatas mimpi?

Hanya ada satu cara untuk memastikannya, yang kuperlukan hanyalah sekop. Tapi dalam kondisi sekarang, aku belum bisa berlari atau melakukan aktivitas berat. Mungkin sekarang, tubuhku harus memerlukan istirahat lebih banyak.

Beberapa hari setelah tubuh dan pikiranku sudah siap, akan kupastikan apakah di belakang A Hotel memang terdapat mayat yang dikubur atau tidak.

-Banjarmasin, 19 Mei 2010-

Tidak ada alarm aneh berisik yang membangunkanku, tidak ada juga email ataupun pesan yang menyuruhku untuk segera berangkat ke kantor.Kira-kira sudah seminggu aku mengalami rutinitas di rumah sakit ini.

Tidak buruk juga kupikir, pagi hari dimulai dengan sarapan bubur, menjelang siang ada beberapa test Kesehatan dan kami, para pasien diberi bubur sebagai imbalan. Sore adalah waktu bermain dan santai dengan ditemani bubur sebagai makanannya. Makan malam adalah yang paling ku tunggu sebelum kembali beristirahat, kalian tahu makan malamnya apa? "Exactly!! Bubur."

Lihat? Aku sangat suka makanan yang sangat variasi di sini.

"Emangnya kamu ga mati rasa tiap hari bubur terus?"

AAAAAAH, Muncul orang sialan yang menyadarkanku dengan realita. Siapa orang brengsek itu? Saat kulihat ke samping, ada sesosok pria tua yang ternyata adalah kakekku.

"Sudah kubilang kek, jangan menjatuhkan semangat juangku, tidak apalah. Lagian hari ini aku sudah boleh pulang kan kata dokter?"

"Iya maaf, soalnya kakek juga bosan ketawa ngeliat kamu makan bubur-bubur itu dengan senyuman terpaksa selama satu minggu ini."

Setelah melakukan beberapa masalah administrasi yang ribetnya minta ampun, akhirnya aku bisa keluar dari tempat ini. Walaupun perbanku harus masih diganti tiga hari sekali, aku sudah diperbolehkan untuk pulang.

Sesampainya di rumah pun, aku masih tetap tidak membicarakan beberapa hal yang kuanggap penting kepada kakek ataupun ibu. Ada hal yang harus kupastikan terlebih dahulu sebelum bertanya pada mereka.

Saat hari sudah mulai siang, aku segera menyiapkan diri dan tentu saja alasan kepada kakek dan ibu.

"Bu, ada sekop atau semacamnya gak?"

"Hah? Buat apa fan? Baru aja keluar dari rumah sakit."

"Bu, tubuhku sudah lumayan sehat, aku cuman mau ikut partisipasi gotong royong di kantorku, katanya mau menanam lebih banyak tumbuhan biar lebih hijau."

"Hmm…"

"Paling sore atau maghrib sudah pulang, ya bu? Gak enak nanti dikira ngambil kesempatan, mentang-mentang sakit jadi ga bantuin ke kantor."

"Baiklah, ambil sana di Gudang belakang."

"YESS", kata itulah yang terbesit dalam benakku, untuk sekarang aku belum boleh merayakan kemenanganku ini. Karena masih ada kakek yang sedang nonton tv di ruang tamu yang harus kulewati.

Sekarang aku sudah siap untuk pergi, saat aku menghadapi kakek ternyata dia mengizinkanku dengan mudah. Ku kira bakal lebih susah berhadapan dengan kakek.

Namun, saat aku sudah berada di sepeda motorku, dia berbicara suatu hal dengan wajah yang cukup serius,

"Ketika suatu saat kamu sudah mengetahui beberapa kebenaran kecil, kakek akan bersedia menjawab semua pertanyaanmu itu. Untuk sekarang berjuanglah mencari serpihan itu, Irfan."

Aku hanya mengangguk dan pergi sambil menggendong sekop yang lumayan berat. Mungkin suatu saat aku akan mengerti apa yang dibicarakan tua bangka itu.

"Di sinilah tempatnya, mau itu masa lalu atau masa depan. Kejadian pembunuhan itu sepertinya terjadi di sini."

Entah karena lagi beruntung atau memang seperti ini, tidak ada penjaga ataupun orang yang lalu Lalang di sekitar Hotel yang telah terbelangkai ini, perlahan ku berjalan memasuki area parkiran belakang dengan sekopku. Mungkin orang-orang melihatku seperti petugas kebersihan atau semacamnya.

Kuteguk air liurku selama beberapa kali, terdapat beberapa fakta yang berada di kepalaku muncul di hadapanku sekarang. Sebuah tiang yang fungsinya entah apa berada di pinggir parkiran.

Tepat di depannya adalah lokasi penguburan mayat pemuda, tolong seseorang katakan padaku kalau aku adalah orang gila yang sudah kehilangan kewarasannya.

Ku tancapkan ujung sekop ke tanah untuk memulai pembongkarannya, mengapa aku begitu yakin kalau di sini terdapat makam seseorang? Apakah aku pelakunya? Mungkin jawabannya akan segera kutemukan.

Langit sudah mulai berganti menjadi senja kekuningan, aku terus menggali perlahan, sampai akhirnya ku temukan sesuatu di balik bongkahan tanah ini. Sebuah karung dan mulai tercium bau yang sangat menyengat.

Ku gali lagi untuk memperjelas, terdapat sebuah tubuh kering dengan beratus-ratus belatung yang hinggap di sekujur tubuhnya. Bergegas aku keluar dari lubang itu dan karena tidak dapat menahannya lagi, akhirnya aku muntah di tepi parkiran.

"UEEGGHHHLLHH… HAAAH… HHAAAAAH… Siapa sangka kalau di sana benar-ben- benar ada mayat?"

Satu pertanyaanku sudah terjawab, jauh di masa lalu ada seseorang yang telah melakukan pembunuhan di sini, siapa? Aku masih mengingat jelas, "53C" seseorang dengan kode atau inisial 53C adalah pelakunya. Apakah dia juga pelaku pembunuhan-pembunuhan lain di dalam mimpiku itu?

Sejenak aku beristirahat di pinggir jalan untuk bersiap-siap ke kantor polresta malam ini.

"Aku mulai berpikir, kalau masalah ini tidak kuselesaikan dengan cepat, mungkin akan terjadi suatu musibah lagi ke depannya."

-Banjarmasin, 22 Mei 1997-

Hari ini adalah hari spesialnya, gadis itu memakai pakaian serba putih bagai putri raja. Ayahnya berjanji akan mengadakan pesta ulang tahunnya yang ke-5 dengan mewah. Namun, ternyata mereka hanya bisa menggelar kemewahan itu di dalam rumah sederhana. Karena persiapannya yang memakan waktu, pestanya akan dimulai sehabis isya.

Kakeknya pergi ke langgar, bukan untuk sembahyang, ketua RT memerintahkan minimal satu anggota keluarga dari masing-masing rumah untuk mengadakan rapat singkat di sana.

Dengan penerangan lilin yang ditemani cahaya bulan purnama dari balik jendela, gadis kecil yang terlihat senang itu sudah tidak sabar lagi dengan kedatangan kakeknya. Ayah dan ibunya berusaha menenangkannya, namun putri rumahan mereka masih tak sabaran.

Neneknya pun berkata, "Yolan, putri kerajaan itu harus elegan dan tidak boleh terlihat seperti kekanak-kanakan"

Yolan mengangguk dengan mantap seolah memahami perkataan neneknya tersebut, kemudian dia duduk dengan tenang seperti seorang tuan putri yang menunggu pangerannya datang.

Terdengar tiga kali ketukan dari pintu depan yang hanya berjarak beberapa meter dari ruang tengah yang sekaligus ruang makan juga. Neneknya segera berdiri dan menjangkau ganggang pintu.

Dengan perasaan gembiranya, si tuan putri rumahan bernama Yolan itu duduk manis menyambut kehadiran kakeknya.

"Hari paling bahagia dalam hidup gadis kecil itu, sampai ayahmu yang mengikis sendi-sendi kebahagiaan sampai ke akarnya."

avataravatar
Next chapter