3 Gadis Pendosa yang Malang

Sudah tiga hari berlalu semenjak aku melakukan dosa terbesar dalam hidupku, berada dalam ruangan sempit ini bukanlah hukuman yang cukup untukku. Walaupun tidak luas, kamar ini sangat terawat dan bersih. Daripada sel tahanan rehabilitasi, ruangan ini lebih pantas disebut kamar hotel.

Setiap pagi sekitar jam Sembilan, aku diperbolehkan keluar menghirup udara bebas di taman utama bersama tahanan lain. Di saat berada di sana, aku selalu memandangi langit yang sama tanpa alasan sambil berpikir dalam hati,

"Sebenarnya apa yang ku lakukan di sini?"

Saat jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang, kami para tahanan mendapatkan jatah jenguk yang digunakan untuk berbicara kepada orang dekat yang datang kemari. Banyak orang sepertiku sangat semangat ketika mereka bisa ngobrol panjang lebar dengan saudara-saudara mereka atau orang tua mereka.

Sayangnya di rumahku hanya ada kakek tua dengan kakinya yang pincang sebelah kiri dan sudah mulai pikun. Mungkin sekarang, dia mengira kalau aku sedang menginap di rumah temanku seperti biasanya.

Walaupun biasanya aku juga berbohong mengenai "teman" ku itu. Selama ini aku telah menghabiskan waktuku untuk melakukan observasi mengenai kasus yang terjadi 13 tahun lalu saat aku masih berumur 5 tahun.

Banyak dokumen-dokumen yang ditutup-tutupi oleh pihak kepolisian, sehingga hanya bukti samar-samar yang kudapatkan dari berbagai sumber. Sampai akhirnya aku bertemu dengan pria bernama 'Raihan' yang ternyata dia adalah kunci terhadap masalahku.

Irfan Wirgana adalah nama anak dari pelaku yang telah merenggut nyawa keluargaku, dia bekerja satu kantor dengan Raihan, beberapa minggu aku telah dekat dengan pria yang terlihat selalu ceria itu. Sepertinya kami juga sudah dalam status hubungan dekat atau sebut saja pacaran.

Namun, setiap kali aku membahas teman sekantornya, dia langsung mengalihkan topik atau mengabaikanku. Bahkan dia tidak pernah memberitahu dimana kantornya berada, yang padahal aku sudah menjadi pacarnya.

Sampai suatu ketika aku memberanikan diri meminjam akun fb nya dan kutemukan pesan yang berisi pembahasan-pembahasan konyolnya dengan orang bernama Irfan W., di sela-sela topik tidak penting tersebut, aku mendapatkan informasi alamat rumah Irfan Wirgana.

Dari sana lah aku membulatkan tekadku untuk membalaskan seluruh dendam keluargaku yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh kakek. Betapa naifnya ketika ku melihat kondisi keluarga Irfan yang terlihat bahagia-bahagia saja, seolah melupakan seluruh kejadian di masa lalu.

Aku selalu berpikir, seluruh kerja kerasku selama ini adalah untuk hari itu kan? Ku tusukkan bilah pisau yang selalu ku asah setiap hari ke perut orang itu walaupun penuh keraguan. Akibat ketidakyakinanku itulah dia masih selamat sampai saat ini.

Ketika aku melamun di kamar rehabilitas selama beberapa jam, akhirnya tiba waktuku untuk melakukan konseling harian. Tugasku sangat mudah, aku hanya perlu menjawab beberapa pertanyaan yang sama setiap harinya.

"Untuk apa kamu di sini?"

"Memperbaiki dan merenungkan kesalahan yang telah saya perbuat."

"Apakah anda merasa nyaman berada di sini?"

"Iya."

"Apakah anda sudah memikirkan rencana ke depannya, apabila diperbolehkan pulang?"

"Minta maaf dengan keluarga korban dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi."

"Terakhir, apa alasan anda melakukan kesalahan tersebut?"

Hanya pertanyaan terakhir lah yang masih belum bisa ku jawab dengan benar, bila ku katakan karena dendam, maka nilaiku akan berkurang sehingga masa pembebasanku akan lebih lama lagi.

Kadang-kadang aku berpikir, apa mungkin lebih baik aku di sini saja sampai mati nanti?

Esoknya juga berjalan dengan sama seperti hari-hari sebelumnya, sehingga aku sudah terbiasa dengan lingkungan yang asing ini. Pagi adalah waktuku untuk meratapi Mentari di taman, saat siang aku hanya rebahan di kamarku sampai giliran konseling harianku dimulai.

Hari demi hari, pertanyaan-pertanyaan dari ibu konseling sudah berada di luar kepala. Aku sudah bisa menjawab semua soalnya dengan mudah tanpa kesalahan sedikit pun, ku pikir tidak apa-apa membohongi diri sendiri untuk saat ini.

Malam di sini juga sangat tenang dan tentram, tidak seperti di rumah ketika kakek menyalakan radionya bahkan sampai dia tertidur. Ketika kumatikan radionya, dia terbangun dan malah membentak-bentakku seolah itu adalah salahku.

Ketika ku pikirkan perasaan kakek saat ini, mungkin ada sedikit kekhawatiran di benakku karena telah banyak melakukan kebohongan-kebohongan. Aku memang gadis pendosa yang sangat keji, tapi sampai sekarang pun tidak ada yang memberitahu bahkan kakek sekalipun. Siapa yang patut aku benci dalam lingkaran dendam ini?

Ketika aku membalaskan dendam keluargaku kepada Irfan, mungkin suatu saat keluarganya akan membalaskan dendam lagi kepadaku. Ku tutup mataku untuk menyudahi hari ini sambil terus memikirkan berbagai macam hal.

"Apakah kesalahanku karena telah melukai orang itu dan membuat khawatir keluarganya, atau kesalahanku yang sebenarnya adalah tidak mampu membunuh orang itu dan membuat keluargaku kecewa di atas sana?"

-Banjarmasin, 12 Mei 2010-

Tempat Rehabilitasi Pelaku Kriminal

Sepuluh hari yang lalu aku menusuk seseorang yang mengakibatkanku menjalani proses hukum walaupun hanya di tempat ini, kalau menurut keputusan yang ku tahu, memerlukan waktu seratus hari untuk bisa keluar dari sini.

Berarti aku harus sepuluh kali lagi mengulangi sepuluh hariku seperti sekarang, mungkin untukku tidak ada masalah, tapi bagaimana dengan kakekku di rumah? Apa dia masih dalam keadaan baik-baik saja? Atau yang kutakutkan adalah dia berjalan kemana-mana sendirian mencariku sampai sekarang.

Namun bukan hanya itu yang kukhawatirkan, bagaimana kondisi Irfan sekarang? Bila dia meninggal di rumah sakit, tugasku sudah selesai yang berarti tidak ada fungsinya lagi diriku saat ini. Aku sudah tidak bisa menemukan 'Yolan' yang ceria seperti dahulu lagi dalam diriku.

Setiap malam aku selalu mengingat kejadian 13 tahun lalu, agar motivasiku tidak hilang begitu saja. Namun, saat ini apakah keinginanku masih sama?

Ada yang sedikit berbeda siang ini dari hari-hariku sebelumnya selama berada di tempat ini. seseorang mengunjungiku, namun sayangnya bukan kakekku. Wanita yang wajahnya sudah pernah ku lihat sepuluh hari lalu, tahi lalat di pipi kirinya membuatku tambah yakin kalau dia adalah wanita yang kupikirkan.

Di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas dan terdapat dua kursi dan satu meja di tengahnya untuk para tahanan dan pengunjung bertemu. Aku hanya bersama Ibunya Irfan dengan suasana yang sedikit canggung.

Tiba-tiba wanita ini langsung bersujud di hadapanku seolah sedang menyembahku, aku tersentak langsung berdiri dan mundur beberapa langkah ke belakang.

"Tolong maafkan suamiku, walaupun aku tahu kau tidak akan memaafkannya. Sudah terlalu lambat meminta maaf, kami kira dengan berdiam diri saja selama ini bisa menyelesaikan masalah yang telah dibuat suamiku."

Aku benar-benar kehabisan kata-kata, apa yang harus kulakukan? Untuk sekarang aku membujuk ibu ini untuk kembali duduk.

"Bu, saya juga sebenarnya juga mau minta maaf karena telah memberikan masalah kepada anak ibu."

Dia masih sibuk menyapu air matanya, kemudian wanita ini memegang tanganku. Aku masih bisa merasakan basah di jarinya.

"Yolan, aku tau yang dilakukan ayah Irfan sangat kejam sekali. Tapi bila aku boleh melakukan sebuah pembelaan sepihak, keluarga kami juga diancam dan ayahnya Irfan adalah korbannya yang dipaksa melakukan hal-hal keji seperti itu."

Aku hanya bisa meneguk air liurku dan mengangguk pelan seraya memberi kesempatan untuknya melanjutkan pembicaraan.

"Karena tidak ada lagi yang bisa kita lakukan, kita hanya bisa menjalani apa yang sudah terjadi di masa lampau, aku berharap nanti suatu saat kita berdua bisa menyelesaikan konflik ini tanpa ada pertumpahan darah lagi."

Mungkin itu adalah senyuman paling tulus yang pernah ku lihat semasa hidupku. Saat itu yang terbesit di benakku hanyalah perasaan tenang dan damai.

Ternyata tujuan Ibu Rose menghampiriku bukan hanya memberitahu kondisi anaknya yang sudah mulai membaik, tetapi dia juga memberikan izin untuk membebaskanku hari ini.

Tempat yang harus kutuju pertama kali adalah rumah, sudah terasa sangat lama sekali aku tidak naik taksi kuning. Aroma dan suasana di dalamnya membuatku seakan bernostalgia, mengingat selama seminggu lebih ini aku hanya berputar-putar di sekitar tempat rehab yang monoton dan tidak terlalu luas.

Saat sampai di rumah, kakekku dengan santainya hanya menyambut kedatanganku dengan kalimat,

"Oh, Yolan. Gimana tugasnya sudah selesai?"

Tanpa banyak bicara, aku langsung pergi ke kamarku dan merebahkan diri. Ternyata tidak ada acara penyambutan spesial atau semacamnya. Dan kalau kupikir-pikir bila aku rebahan seperti ini, tidak ada bedanya dengan di tempat rehabilitas itu.

Aku menghubungi Raihan dan segera mengajaknya ke kafe seperti biasanya, untuk sekarang aku hanya harus menenangkan pikiranku dengan santai.

Seorang gadis termenung di sudut kafe sambil menunggu kedatangan pacarnya, dan gadis itu adalah diriku. Bahkan aku sendiri sudah lupa bagaimana Raihan menembakku, tapi yang lebih penting lagi bagaimana ekspresinya sekarang ketika melihatku?

Sedih? Marah? Resah? Atau gelisah? Itulah yang ingin kutahu sekarang.

"Yo… Gile udah serasa lama banget ya kita ga nongky di sini."

Sambil melambaikan tangan dia datang menghampiriku, wajahnya terlihat ceria seperti biasanya. Bahkan dari cara berbicaranya juga terdengar cerewet seperti sebelumnya.

"kamu kerjaan kayak gimana?"

"Seminggu ini bisa dibilang sedikit repot, ada pegawai baru yang cerewetnya minta ampun. Banyak bacotnya daripada kerjanya, sedikit sedikit nanya. Sedikit sedikit nanya lagi, emangnya gua Pembina magang kah."

"Padahal kamu sendiri juga cerewet minta ampun."

"Kalau itu ga papa."

"Yaelah."

Percakapan demi percakapan bermunculan, tak ada satupun di antara kami yang memulai membahas kejadian sepuluh hari yang lalu. Hari sudah mulai senja dan kami memutuskan untuk segera menghabiskan makanan dan pulang.

Saat di perjalananlah aku bertanya kepadanya,

"Kamu tidak khawatir dengan sahabatmu?"

"Hah? Maksudmu Irfan? Tenang saja, dia gak bakalan mati hanya karena ditusuk begitu kok hahaha."

Apakah aku harus ikut tertawa atau justru hanya diam saja? Sepertinya Raihan memanglah orang seperti ini, aku ragu kalau dia pernah mengalami keadaan depresi atau semacamnya.

Raihan mengantarku sampai ke rumah menggunakan motornya, di saat sudah mau berpisah dia mengatakan sesuatu hal lagi,

"Bila ada masalah lagi, mending kita bicarakan baik-baik terlebih dahulu lain kali ya."

Aku hanya membalasnya dengan anggukan dan senyuman.

Nah, sekarang pikiranku sudah mulai tenang. Yang kutanyakan sekarang adalah, 'apakah fungsi hidupku saat ini?' Perasaan dendam mulai menghilang sedikit demi sedikit akibat bertemu dengan Ibu Rose tadi siang.

Seolah seluruh kerja kerasku selama ini tidak membuahkan apa-apa, justru penyesalan yang tersisa di hati. Mungkin nanti aku harus berbicara langsung dengan Irfan dan meminta maaf, setelah itu? Apakah ibu, ayah dan nenekku puas?

Malam ini aku melakukan rutinitasku yang telah lama kulakukan ketika berada di rumah, mengasah pisau dapur yang kupakai untuk menusuk seseorang.

" Dalam pikiran gadis itu terlintas sebuah solusi yang menurutnya bisa menyelesaikan segala permasalahan hatinya. Saat ini yang perlu kita khawatirkan yaitu akan kemana lagi mata pisau itu tertancap?���

-Banjarmasin, 22 Mei 2010-

Gadis berparas indah tak seharusnya berada di atas Gedung yang merupakan TKP kasus bunuh diri beberapa minggu lalu. Langit berawan yang membuka tirainya sedikit demi sedikit, seolah bersedia menjemput kedatangan sang gadis itu.

Yolan telah menemukan solusi terbaik bagi dirinya tanpa meminta pendapat kepada Irfan, Raihan, Ibu Rose, kakeknya atau siapapun yang dia kenal. Karena dia meyakini tidak akan ada yang bakal menerima keputusannya tersebut.

avataravatar
Next chapter