10 Ukuran Neptunus

"Sejak kedekatan ibuku dan Detektif itu, aku berpikir kalau aku tidak membutuhkan keluarga lagi untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, jadi aku menjadi seorang laki-laki yang mungkin bisa dikatakan sebagai playboy, tapi pada kenyataannya memiliki hati banyak perempuan bukanlah kebahagiaan sejati bagiku, karena satu-satunya yang bisa menyempurnakan hidupku hanyalah keutuhan keluargaku. Jadi aku ingin berpesan kepadamu, sayangilah kedua orangtuamu selagi giliran mereka untuk 'kembali' belum datang," ujar Neptunus.

"Jadi sekarang kau akan pensiun untuk menjadi seorang playboy?" tanya Nuansa.

"Entahlah, aku benar-benar tidak bisa menerima Detektif itu sampai sekarang, dan hal itulah yang kurasa mendasari penyebab hubunganku yang kurang dekat dengan adik dan ibuku. Kupikir jika ibuku dan Detektif itu tidak saling jatuh cinta, aku tidak akan semakin menjauh dari keluargaku, tapi kenyataannya berbeda. Dan mereka tidak kunjung melakukan pernikahan karena tidak mendapat restu dariku."

"Mereka akan menikah?"

"Hahaha." Neptunus tertawa, pertanda ia menjawab 'ya' namun dengan berat hati. Nuansa lalu hanya bisa tersenyum.

"Seburuk itukah calon ayah sambungmu di matamu?" ujar Nuansa.

"Entahlah, yang kulihat dia adalah orang baik-baik, tapi entah kenapa sesuatu di dalam diriku menolak keberadaannya untuk menjadi bagian di keluargaku, padahal dia adalah seorang Detektif, yang bekerja sebagai pengungkap kejahatan, sudah pasti dia adalah orang baik-baik dan mungkin pantas untuk dicintai ibuku, tapi, aku pun tidak mengerti kenapa aku menolaknya dan merasa sedih di saat yang sama ketika melihatnya begitu bahagia bersama ibuku."

"Itu wajar kurasa, apa lagi kau adalah laki-laki, pastilah sulit melihat ibumu jatuh cinta kepada lelaki yang bukan ayahmu. Kau hanya butuh waktu untuk mengerti perasaan ibumu, karena sepertinya bibi Bulan sangat mengerti bagaimana perasaanmu, jadi kau juga harus memahami perasaannya."

"Apa maksudmu?"

"Ya ... Aku pikir bibi Bulan memang butuh seorang pria lagi yang bisa melindunginya dan anak-anaknya."

"Jadi menurutmu ayahku gagal untuk melindungi kami?"

"Apa? Aku tidak mengatakan dan tidak bermaksud seperti itu. Ayahmu adalah orang yang luar biasa, dan dia juga sadar kalau kalian butuh seseorang untuk menggantikan posisinya, agar setidaknya kalian punya perisai yang melindungi kalian dari kejahatan, pahamilah soal itu. Aku tahu kalau kau sangat menyayangi ayahmu, tapi memang ini yang diinginkan olehnya, dan semua ini juga untuk kebaikanmu."

"Tapi ayahku tidak mengatakan kalau dia ingin ibuku menikah dengan Detektif itu."

"Oh, ayolah, jangan hanya paham soal ukuran BH."

Neptunus lantas terdiam.

"Apa kau tidak berpikir kalau ibumu pasti memiliki rasa trauma akibat kejadian itu? Dia pasti merasa harus dilindungi setelah semua itu. Kau juga harus paham betul bagaimana trauma itu bisa terjadi dan bekerja, karena sepertinya kau tidak paham akan efek yang ditimbulkan oleh kejadian mengerikan di kemudian hari oleh orang yang mengalaminya selama dia masih bernapas," ucap Nuansa.

"Mungkin karena hidupku selalu berjalan lancar selama ini. Tapi, kau berbicara seolah kau juga pernah merasa trauma, atau masih memiliki trauma akan suatu hal, apa aku benar?" kata Neptunus.

"Yah, itu benar. Aku adalah korban bully ketika SMP, padahal semuanya berjalan normal selama aku SD, dan aku tidak pernah menduga kalau aku akan menjadi bagian dari bully, sebagai korban pastinya."

"Kau dibully?"

"Jangan kau pikir karena aku ini rakyat kelas bawah, maka teman-teman sekolahku dulu bisa membullyku seenaknya. Sebenarnya mereka semua baik, tapi masalah cinta mengubah semuanya."

"Kupikir kau dibully karena ukuranmu yang kecil."

"APA?!"

"Eh? Tidak, tidak."

'Aku harus sabar, pria ini memang 'sekilo kurang satu ons',' batin Nuansa sembari mengusap-usap dadanya yang menurut Neptunus agak rata bagi seorang gadis yang tidak tomboi.

"Kau bilang masalah cinta mengubah segalanya, itu artinya kau terlibat masalah percintaan di usia belasan awal, padahal sebelumnya kau mengatakan kalau kau tidak pernah berpacaran, jadi yang mana yang benar?" tanya Neptunus.

"Hei, aku memang tidak pernah berpacaran sebelumnya, apa lagi di usia SMP, aku tidak pernah kepikiran untuk berpacaran di usia segitu, masih kecil sudah memanggil 'sayang' kepada lawan jenis yang disukai, itu menjijikkan, kau tahu?"

"Itu tidak menjijikkan, selama tidak melakukannya dengan sesama jenis."

"Keduanya menjijikkan, hanya beda tingkat."

"Mhm, dan kau ada di tingkat yang lebih tinggi."

"APA MAKSUDMU?!"

"Apa?"

"Aku ini perempuan normal! Kau-! Argh! Pembicaraan kita terlalu melebar ke mana-mana!"

"Suruh diet saja."

Nuansa lalu terdiam dengan ekspresi datar.

"Jadi, soal bullying yang kualami dulu, semua bermula saat ada siswa laki-laki yang menyukaiku, padahal dia sudah disukai oleh seorang siswi perempuan yang juga seorang ketua geng yang lumayan terkenal di sekolahku dulu, tapi anak laki-laki itu tidak membalas perasaan si ketua geng itu." Nuansa menyambung pembicaraan mereka yang sebenarnya dan melupakan lelucon garing Neptunus.

"Lalu kau ditindas oleh satu geng?" Neptunus menebak.

"Ya, kau tidak akan bisa membayangkan rasanya, sakitnya tak seberapa, tapi rasa traumanya yang menjadi masalah bagiku sampai sekarang. Aku memutuskan untuk berhenti sekolah karena hal itu, selain memang karena orangtuaku juga tidak sanggup untuk membiayaiku untuk bersekolah. Aku jadi kurang mau berteman lagi, karena jujur semua anggota geng yang membullyku dulu adalah teman-teman dekatku, makanya sekarang aku nyaris tidak memiliki teman selain langganan keripikku."

"Segitunyakah trauma itu?"

"Begitulah. Yang kutahu, trauma itu bisa hilang jika orang yang mengalaminya memiliki mental yang kuat dan keinginan kuat untuk menghilangkan trauma itu, tapi tergantung seberapa parah penyebabnya juga, semakin ringan penyebab trauma, maka sembuhnya rasa itu juga akan semakin cepat."

"Lalu, kenapa kau di bully?"

Nuansa secara spontan membuka mulutnya lebar-lebar mendengar pertanyaan Neptunus barusan.

'Aku tahu pikirannya kotor, tapi sekotor itukah sampai dia menjadi lemot?' batin Nuansa.

"Maksudku, si fuck boy itu tidak memacarimu, kan? Pada akhirnya kau tidak membalas perasaannya, kan?" tanya Neptunus.

"Fuck boy?"

"Dia pantas mendapat julukan itu, dia yang membuatmu terbully."

"Kau yang lebih pantas kurasa."

"Hei!"

"Ok, kau klienku, jadi aku harus bersikap sopan padamu, walaupun kau terus menyinggung ukuran dadaku, tapi aku harus tetap sopan padamu," ucap Nuansa dengan sangat terpaksa.

"Kau ingin kita membicarakan soal dada?"

"Grrrh."

"Oh, iya, geng anak perempuan itu membullyku karena ketua mereka tidak suka kalau si 'fuck boy' itu suka padaku, meskipun pada akhirnya kami tidak berpacaran. Hei, adakah julukan yang lebih bagus dan lebih enak di dengar untuknya?" sambung Nuansa.

"Bagaimana kalau 'Si kalah tampan dari Neptunus'?" usul Neptunus.

"Hah, lupakan saja, itu malah terdengar lebih menjijikkan. Tak kalah menjijikkannya darimu."

"Apa?!"

"Tidak! Tidak!"

"Itu julukan yang bagus, asal kau tahu saja."

"Ya, aku tahu. Puas kau?"

"Kau harus paham maksudnya, kau pasti tidak paham maksudnya, kan?"

"Iya, aku tidak paham artinya. Wah, artinya sepertinya bagus, ya. Aku jadi penasaran apa artinya. Memangnya apa artinya?" tanya Nuansa dengan nada bicara yang sangat menunjukkan bahwa ia bertanya dengan sangat terpaksa.

"Kau tidak menerimanya sebagai kekasihmu, kan? Itu artinya dia jauh lebih jelek dari pada aku."

"Kalau tidak dibayar, aku mana mau berpasangan denganmu. Wanita mana yang mau dengan pria yang selalu menyinggung soal BH dan dada dalam pembicaraannya."

"Hmm, benarkah? Kalau begitu mari kita bertaruh. Kalau sampai kau benar-benar suka padaku nanti, maka kau harus memberitahu ukuran BHmu padaku."

"Bagaimana kalau aku justru semakin jijik padamu nanti?"

"Kuberitahu 'ukuranku' padamu."

"Astaga."

avataravatar
Next chapter