12 Tidak Mencintaimu

Neptunus pergi ke kamar Vega usai buang air besar. Pintu kamar adiknya itu sedikit terbuka, jadi ia bisa mengintip ke dalam dan melihat Nuansa dan Vega sedang tertawa untuk hal yang tidak diketahui oleh Neptunus.

Pria itu kemudian mengetuk pintu kamar Vega.

"Ow." Vega menghentikan tawanya sembari menghampiri Neptunus.

"Kami sudah berkenalan dan bertukar cerita, dia gadis yang baik dan sangat cocok denganmu yang memiliki banyak kekurangan, aku menyukainya, dia juga asyik, aku sama sekali tidak keberatan jika dia menjadi iparku. Kau harus menceritakan tentangnya lebih lanjut padaku nanti. Good luck, big bro," sambung Vega, ia lantas pergi dari kamarnya dan membiarkan Neptunus dan Nuansa bersama.

"Jadi ... Kau di sini rupanya, aku mencarimu ke mana-mana," ucap Neptunus usai Vega pergi.

"Ya, aku berkeliling di sini dan berkenalan dengan para pekerja di sini," ujar Nuansa.

"Kenapa kau tidak menetap di kamarku saja? Kupikir kau akan berada di kamarku dalam waktu yang lama."

"Untuk apa? Menghabiskan waktu dengan majalah-majalah pria dewasa itu? Oh, ayolah, aku ini normal."

"Aku tidak memberitahumu tentang majalah-majalah itu, jadi kupikir kau hanya akan menonton film saja."

"Eits, jangan ketinggalan 'porno'nya."

"Sama saja, kan?"

Nuansa lalu menatap Neptunus dengan tatapan datar. "Tidakkah kau memiliki film panjang?"

"Film panjang?"

"Demi Tuhan, kalau aku menyebut film saja, kau pasti tetap akan berbicara tentang film porno."

"Yang dikamarku adalah semua koleksiku saat ini, sepertinya bakal bertambah."

Nuansa pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, karena ia paham bahwa Neptunus tetap tidak akan berniat untuk mengoleksi film yang sesungguhnya.

"Kau tidak pergi kuliah?" tanya Nuansa.

"Dua jam lagi, kau mau kuajak jalan-jalan? Kita tidak akan terus berada di rumah ini, kan?" kata Neptunus.

"Oh, tentu saja! Kita akan pergi ke mana? Taman? Wahana permainan?" Nuansa menyambut antusias ajakan Neptunus barusan.

"Kolam renang."

"Eh? Apa?"

"Iya, kolam renang."

"Tapi, kenapa harus kolam renang? Di saat panas terik seperti ini?"

"Kau tahu jika kolam renang selalu memiliki pemandangan yang indah."

"Hah?" Nuansa tampak bingung. "Oh, astaga." Gadis itu lalu keluar dari kamar tersebut dengan wajah kesal, sebab ia menyesal karena paham maksud dari Neptunus.

"Hahaha." Neptunus tertawa geli melihat sikap Nuansa. "Hei, tunggu," lanjutnya sembari menyusul Nuansa yang pergi keluar.

"Sebaiknya aku tidak pergi ke mana-mana denganmu. Kemanapun kau pergi, pasti selalu ada sisi kotor di matamu di semua tempat," ujar Nuansa.

"Memangnya apa yang salah dari kolam renang?"

"Aku sudah 21 tahun, Neptunus, aku paham betul jika kau hanya ingin melihat pakaian para perempuan menjadi basah dan mengetat di kolam renang."

"Itu hanya salah satu poinnya."

"Tidak, itu satu-satunya poinnya."

"Sok tahu."

"Grrrrh, jangan memulai hal itu lagi. Sudahlah, aku mau lanjut berjualan saja."

"Yasudah."

"Mana bayaranku?"

"Oh, iya, aku baru ingat akan hal itu." Neptunus lalu mengeluarkan sebuah amplop berisi uang dari sakunya, kemudian memberikannya pada Nuansa. "Enak ya jadi dirimu, berbicara dan diajak pergi saja langsung dapat lima juta." sambungnya.

"Maaf untuk pemerasannya, Tuan Kedelapan," canda Nuansa dengan sebuah senyuman dan mata sayu.

"Tuan Kedelapan?" Neptunus terlihat bingung.

"Kau kan Neptunus."

"Tentu saja aku Neptun-, oh, astaga. Kau ini bisa saja. Aku jadi ingin memerasmu juga."

"Hahahaha. Tunggu, apa? Memeras?"

"Aku tidak berpikir kotor kali ini. Tenang saja, aku tidak memaksudkannya untuk baksomu."

"Bakso?"

"Kau bukan semangka."

"Hah?" Nuansa terdiam sesaat. "Ya Tuhan."

"Jangan sok tahu kau!" kata Nuansa.

"Aku memang sok tahu, jadi biarkan aku tahu."

Mendengar hal itu, Nuansa secara spontan mencubit tangan Neptunus, membuat pria itu tak kuasa menahan tawanya. Nuansa kemudian mengambil keranjang keripik singkongnya.

"Mau kuantar?" tanya Neptunus.

"Tidak usah, aku akan berjalan saja, siapa tahu aku akan mendapatkan banyak pembeli di sini," tolak Nuansa.

"Ok. Besok aku ingin bertemu dengan orangtuamu, untuk membuat mereka tidak merasa kalau aku ini berbahaya sebagai orang yang baru kau kenal."

"Tidak masalah."

"Baiklah. Besok jadwalmu bersamaku akan lebih padat. Di siang hari sampai sore kau akan mengobrol dengan ibuku, malamnya kau akan ikut aku untuk menghadiri pesta ulang tahun salah satu temanku di rumahnya, meskipun aku tidak menyukainya, tapi kami tidak memiliki masalah, dia mengundangku dan aku tidak bisa menolaknya. Sekalian aku ingin memperkenalkanmu kepada teman-temanku, aku tidak akan membuat mereka terus menanyakan pasangan baruku padaku."

"Tidak masalah bagiku untuk semua itu, asalkan bayaranku tetap konsisten dan tidak pernah telat."

"Astaga kau ini."

"Hei, dengan itu kau bahkan bebas menghina ukuran dadaku."

"Iya, iya."

"Baiklah, sampai jumpa besok, Tuan Kedelapan." Nuansa melambaikan tangannya seraya berjalan mundur, lambaian itu lalu dibalas oleh Neptunus.

***

Nuansa sampai di rumah pada sore hari dengan keranjang yang sudah kosong. Hari ini ia tidak pergi ke kantor Polisi, sebab keripiknya sudah habis bahkan saat di siang hari tadi.

Gadis itu dikejutkan dengan kedatangan Reynand di rumahnya yang disambut baik oleh kedua orangtuanya.

"Itu dia!" ucap Durah pada Reynand sembari menunjuk Nuansa, Nuansa lantas membuat senyuman terpaksa di bibirnya.

"Jadi ini yang namanya Reynand ya, Nuansa? Dia laki-laki yang baik, kami benar-benar setuju jika kalian berpasangan kelak," ujar Arfan.

"Engh, iya, Ayah, hehe. Ayah, ibu, bisa kalian tinggalkan kami sebentar di sini? Aku perlu berbicara empat mata dengannya," kata Nuansa.

"Oh, iya, iya, tentu." Durah dan Arfan menyambut baik permintaan Nuansa, mereka berpikir kalau Reynand dan Nuansa akan berbicara mengenai 'hubungan percintaan' mereka. Keduanya lantas pergi ke belakang dan meninggalkan Nuansa bersama Reynand, mereka sangat menyukai Reynand meskipun baru ini mereka bertemu dengannya.

"Bagaimana kau bisa tahu rumahku?" tanya Nuansa pada Reynand usai kedua orangtuanya pergi.

"Rumahmu tidak jauh dari tempatku bekerja, jadi mudah saja bagiku untuk menemukannya. Pertanyaan sesungguhnya adalah, kenapa kau menghilang begitu saja?" ucap Reynand.

"Apa maksudmu?"

"Aku sudah berbicara dengan orangtuaku tentang hubungan kita, Nuansa. Tapi tiba-tiba kau menghilang tanpa kabar, kau tidak pernah datang ke kantor Polisi lagi."

"Itu hakku, bukan?"

"Apa yang kau bicarakan?"

"Apa aku sudah memberimu jawaban yang pasti?"

"Belum!" sambung Nuansa.

"Nuansa, aku benar-benar tidak mengerti, apa yang sedang kau bicarakan?" tanya Reynand.

"Aku menolakmu, Reynand, aku tidak mencintaimu."

Reynand terkejut mendengar hal ini.

"Tapi kau, kau memaksa perasaanku untuk mencintaimu. Tidak, aku tidak pernah bisa mencintaimu, aku bahkan tidak pernah berpikir untuk mencintaimu," lanjut Nuansa.

"Tapi waktu itu-"

"Aku selalu berusaha untuk menjaga perasaanmu. Kau sangat baik padaku, jadi aku tidak berani untuk terang-terangan padamu." Nuansa menyela.

"Nuansa, kau ..."

"Aku minta maaf, Reynand, inilah yang ingin kukatakan padamu sejak dulu, sejak kau menyatakan rasa sukamu padaku. Kau mendapatkan balasan yang sangat buruk untuk kebaikanmu padaku."

"Hal apa yang mengubahmu? Ini bukan Nuansa yang kukenal, katakan padaku, ada sesuatu yang membuatmu berubah, kan?"

"Tidak, Reynand, justru ini aku yang sesungguhnya, aku menahan semua ini sejak lama, maafkan aku."

Reynand hanya bisa diam dan benar-benar tidak menduga hal ini. "Aku butuh waktu." Pria itu kemudian pergi tanpa berpamitan pada Arfan dan Durah.

Orangtua Nuansa itu lalu menyadari jika terjadi sesuatu antara Reynand dan Nuansa, sehingga mereka kembali masuk.

"Apa yang terjadi, Nuansa? Kenapa Reynand pergi, dan dia bahkan tidak berpamitan," tanya Durah.

"Aku ... Aku hanya melalukan hal yang seharusnya kulakukan sejak dulu, ibu," jawab Nuansa.

"Hah?"

"Aku tidak mencintainya, tidak pernah mencintainya."

"Nuansa, jangan bilang ini karena pekerjaan barumu," ujar Arfan.

"Tidak, Ayah. Aku ... Aku ingin sendiri dulu, permisi." Nuansa kemudian masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan kedua orangtuanya dalam kebingungan.

avataravatar
Next chapter