29 Buang Air

Kenapa Reynand bisa menjadi seperti ini? Bagaimana bisa Reynand berubah? Mengapa dia menyudutkanku dan mencapku sebagai wanita matre? Itulah yang dipikirkan Nuansa sekarang.

Napasnya jadi tidak beraturan, gadis itu benar-benar tidak menyangka kalau semuanya akan jadi seperti ini. Reynand yang dulu dikenalnya sangat sopan dan baik kepadanya, kini mengatakan padanya kalau ia matre dan murahan. Nuansa sedikit syok, bahkan mungkin hampir bisa disamakan dengan saat Emma menumpahkan jus ke atas kepalanya.

Nuansa benar-benar tidak menyangka semua ini terjadi, hanya karena ia menjadi pacar sewaan Neptunus, ia mendapatkan banyak sekali rasa sakit dalam waktu yang berdekatan. Pertama ia dipermalukan di pesta Emma, kedua kata-kata menyakitkan dari Reynand, sahabat yang sangat disayanginya, sebagai seorang sahabat tentunya.

Gadis tersebut kemudian memutuskan kembali ke rumahnya dan mencoba untuk tidak menunjukkan perasaannya pada kedua orangtuanya.

"Kenapa kau lama sekali?" tanya Durah saat Nuansa kembali.

"Anak-anak itu lari, mereka sangat nakal, ya?" kata Nuansa, entah sudah berapa kali ia berbohong pagi ini pada ibunya.

"Ya, terkadang kita memaklumi mereka karena mereka hanya anak-anak ingusan, tapi terkadang mereka memang kelewatan, untuk beberapa waktu mereka juga perlu merasakan hukuman sebenarnya."

"Tapi mereka adalah anak orang, hahaha."

"Hahaha, benar sekali. Bisa panjang urusannya kalau kita mengusik anak orang."

***

Menjelang siang, Neptunus akhirnya datang ke rumah Nuansa di saat pacar sewaannya itu sedang mengobrol dengan kedua orangtuanya. Nuansa terlihat sudah melupakan apa yang terjadi tadi pagi antara dirinya dan Reynand, dan ia terlihat sudah siap untuk langsung pergi dengan Neptunus.

Neptunus mengetuk pintu rumah Nuansa saat ia berada di depan rumah tersebut.

"Eh, Neptunus. Silakan masuk," ucap Durah.

"Terima kasih, bibi." Neptunus lalu masuk.

"Kalian akan langsung pergi?" tanya Arfan. Neptunus dan Nuansa lalu saling melirik.

"Ya," jawab Neptunus.

"Baiklah, aku bersiap dulu," ujar Nuansa.

"Kau terlihat sudah siap."

"Pria tahu apa." Nuansa lantas pergi ke kamarnya, membuat kedua orangtuanya terkekeh.

Saat Nuansa berada di dalam kamar, Neptunus mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Ternyata ia mengeluarkan amplop coklat yang berisi uang, gaji Nuansa kemarin.

"Ini gaji Nuansa kemarin, paman, aku lupa memberikannya padanya semalam," ujar Neptunus sembari memberikan uang-uang itu kepada Arfan.

Arfan terkejut melihat amplop itu karena amplop itu sangat tebal. Ia langsung mengerti kalau Neptunus tetap memberikan Nuansa gaji 5 juta untuk kemarin.

"Tapi, Nuansa bilang gajinya tinggal 500 ribu lagi, bukankah ini sangat banyak?" tanya Arfan.

"Sudah, tidak apa, ambil saja."

"Eh, tidak boleh begitu, kami tetap harus fair," ucap Durah.

"Bibi, rezeki kalau ditolak sangat dilarang loh, bisa seret nanti rezeki bibi," kata Neptunus. Mendengar itu, Arfan dan Durah kemudian saling melirik, mereka mempertimbangkan apakah ingin mengambil 5 juta itu atau tidak. Pada akhirnya mereka mengambilnya.

"Terima kasih ya, kau sangat baik," ujar Arfan.

"Sama-sama, paman, tapi aku minta sesuatu, ya?" kata Neptunus.

"Apa itu? Teh? Kopi?" tanya Durah.

"Hahaha, bukan. Tolong jangan beritahu Nuansa tentang ini, katakan saja padanya kalau aku tetap memberikan 500 ribu ke kalian. Gajinya hari ini akan kuberikan padanya langsung nanti."

"Kenapa?"

"Aku tidak mau dia mengembalikan 4 setengah jutanya, dia cukup keras kepala, tidak seperti orangtuanya, aku akan kesulitan menghadapinya nanti untuk memaksanya menerima semuanya."

"Hahaha, baiklah. Dia memang cukup keras kepala dan berpegang teguh pada satu pendirian, jadi, ya, kadang memang menyebalkan. Tapi untunglah kau tahan dengannya."

"Bagaimanapun, dia tetap sangat baik, sifat menyebalkannya hanya muncul beberapa saat."

Durah lalu hanya tersenyum. Beberapa saat kemudian Nuansa keluar dari kamarnya dengan dandanan lebih lengkap. "Ayo," ajak Nuansa.

"Ok. Paman, bibi, kami pamit ya, aku pinjam Nuansa sampai malam," ucap Neptunus sambil menyalami Arfan dan Durah.

"Iya, hati-hati di jalan, ya," ujar Arfan.

"Siap."

"Ayah, ibu, aku pergi dulu." Nuansa ikut berpamitan seraya menyalami kedua orangtuanya itu.

***

Dalam perjalanan, Nuansa menyadari bahwa sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Neptunus, bukan kampusnya, karena rute ini sangat familiar baginya, ia melewati jalan ini hampir setiap hari belakangan ini.

"Loh? Kita akan pergi ke rumahmu?" tanya Nuansa.

"Ya," jawab Neptunus secara singkat, padat, cepat dan tepat, untungnya tidak sambil makan ketupat.

"Kau bilang kau akan mengajakku ke kampusmu."

"Iya, tapi aku masuk satu jam lagi, jadi aku akan membawamu ke rumah dulu sambil menunggu satu jam lagi."

"Astaga."

"Tidak apa, kan?"

"Tidak apa. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk sampai ke kampusmu dari rumahmu?"

"45 menit."

"Itu sangat jauh."

"Kalau jalanan macet, kalau tidak hanya 30 menit."

"Itu artinya kita hanya punya waktu sekitar 15 menit di rumahmu?"

"Bisa jadi hanya 5 menit."

"Kalau begitu, untuk apa kau pulang?"

"Aku ingin buang air kecil, tiba-tiba aku merasa ingin membuang air kesenianku ini."

"Di pom bensin kan bisa."

"Tidak mau, aku ingin di rumahku saja, sekalian aku ingin mengambil kedelai goreng."

"Oh, tidak. Jangan memakan itu di dalam mobil."

"Memangnya kenapa?"

"Kau lupa dengan kejadian saat aku muntah?"

"Ew, aku ingat. Baiklah, aku tidak akan memakannya di dalam mobil."

"Aku malah ingin muntah lagi jika mengingatnya."

"Tidak usah lebay."

"Serius."

"Halah."

"Kenapa?"

"Kau benar-benar serius?"

"Tentu saja."

"AKU TIDAK PUNYA PERSEDIAAN PLASTIK, JANGAN MUNTAH SAMPAI KITA SAMPAI DI RUMAHKU YA, SAYANG."

"Santai saja bicaranya, aku tidak benar-benar akan muntah."

"Kau ini bagaimana sih?!"

"Sekarang sudah tidak ingin muntah lagi sebenarnya karena teringat cerita Vega tentang kau."

"Tentangku?"

"Ya, waktu aku menunggumu di kamar Vega di hari pertama aku datang ke rumahmu, dia bercerita banyak hal tentang masa kecil kalian."

"Jangan katakan-"

"Kau pernah buang air besar di celana saat TKmu sedang mengadakan pertunjukan seni, kan? HAHAHAHA."

"Oh, tidak, anak itu memang senang mengumbar aib orang."

"Dan, dan saat itu seluruh peserta dan tamu merasa kebauan, tapi kau bukannya jujur malah pura-pura kebauan juga, astaga, hahaha." Nuansa tertawa sangat geli. Neptunus lantas hanya bisa diam menahan malu, sekarang ia benar-benar menyesal karena pernah jujur pada keluarganya akan hal itu.

avataravatar
Next chapter